Sejak malam itu, Arga tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat siluet pintu yang sama—dua pohon dadap yang berdiri tegak, dan di antaranya sebuah celah gelap yang tampak berdenyut, seperti napas makhluk hidup. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dimas. Gubuk itu berdiri di bukit hutan karet, di bawah dua pohon beringin kembar yang seakan menjadi gerbang dunia sendiri. Dimas sudah menunggunya di serambi, seperti tahu Arga akan datang. > Arga: “Mas… makhluk itu bilang pintu berikutnya sudah menunggu. Maksudnya apa? Jalur keenam?” Dimas: “Semua jalur saling terhubung. Menutup satu bukan berarti akhir. Jalur keenam berbeda—lebih tua, lebih berbahaya. Kau tak bisa menutupnya dengan keris lagi.” Arga: “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Dimas: “Cari sumbernya. Jalur keenam punya penjaga, dan penjaga itu tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.” Arga mengernyit. > Arga: “Siapa penjaganya?” Dimas tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan, waja
Arga masih duduk di bale-bale rumahnya, pikiran berkecamuk memikirkan pertemuan tadi sore dengan penjaga Gong. Sosok tua itu berbicara pelan namun penuh tekanan, setiap kata seolah membawa bobot bertahun-tahun pengetahuan tentang batas dunia.> “Yang kamu lihat malam itu bukanlah makhluk biasa. Itu sisa dari apa yang sudah kamu lewati di Jalur Kelima. Gong ini… hanya bisa menjaga desa kalau pintunya tidak terbuka terlalu lama,” kata penjaga itu sambil menatap gong kuningan besar di balai desa.“Sekarang, ada yang sudah terlanjur keluar. Dan itu terikat padamu, Arga.”Arga hanya mengangguk, merasa darahnya berdesir.> “Kalau itu terikat padaku, berarti aku juga yang harus menahannya.”> “Benar. Tapi jangan berpikir kamu bisa melakukannya sendiri. Makhluk itu punya satu tujuan: mencari pintu baru. Kalau dia berhasil… semua yang kita kenal bisa hilang.”Malam itu, Arga pulang dengan kepala penuh beban. Di rumah, Ningsih sudah menunggu, wajahnya pucat.> “Mas… aku ngerasa ada yang aneh di
Pagi itu, suasana desa masih terasa berat. Arga duduk di beranda rumah neneknya, memandangi jalan setapak yang masih basah oleh embun. Semalam, tangan hitam itu hampir menerobos keluar dari jalur kelima, dan satu-satunya hal yang menghentikannya hanyalah dentang gong misterius.Ningsih muncul membawa dua cangkir teh hangat.> “kamu nggak tidur sama sekali ya, mas?”Arga menggeleng pelan.> “aku nggak bisa. Suara gong itu masih kedengeran di kepala ku. aku yakin, ada seseorang—atau sesuatu—yang nyelametin kita.”Tak lama kemudian, Pak Lebe datang. Wajahnya lebih kusut dari biasanya, matanya merah tanda kurang tidur. Ia duduk di kursi bambu di depan mereka dan langsung bicara tanpa basa-basi.> “Kita harus cari tau siapa yang mukul gong itu. Kalau dia benar-benar penjaga jalur, mungkin cuma dia yang bisa bantu kita nutup pintunya selamanya.”Arga menatap Pak Lebe serius.> “bapak punya petunjuk?”Pak Lebe menghela napas panjang.> “Sedikit. Ada cerita lama tentang seorang penjaga yang t
Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti
Arga, Ningsih, dan Pak Lebe akhirnya berhasil melewati lorong gelap jalur keenam. Tangan-tangan hitam yang tadi meraih mereka menghilang begitu saja ketika cahaya kebiruan dari keris Arga semakin terang, membentuk semacam perisai di sekeliling mereka. Dengan napas terengah-engah, mereka bertiga akhirnya keluar dari lorong sempit itu. Udara berubah—lebih hangat, lebih nyata. Di hadapan mereka terhampar hutan biasa, basah oleh embun malam. Tidak ada lagi langit kelabu, tidak ada lagi bisikan yang meracuni pikiran. Ningsih terduduk di tanah, memeluk lututnya sambil menangis pelan. “Aku… aku pikir kita nggak bakal bisa keluar.” Arga berjongkok di sampingnya, mengusap punggungnya. “Kita sudah di luar. Sudah selesai. Jalur itu sudah kita lewati.” Pak Lebe berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah hutan dengan wajah serius. “Tidak, ini belum selesai,” katanya pelan. “Jalur keenam hanya satu dari banyak gerbang. Setiap kali kita menutup satu, yang lain akan mencari celah untuk terbuk
Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun