03
Selama beberapa jam berikutnya, Yusuf dan Naysila tidak saling menyapa. Mereka juga tidak berinteraksi sedikit pun dan berpura-pura tidak peduli.
Zijl yang menemani Naysila jalan di belakang, mengetahui penyebab perempuan itu menekuk wajah sejak tadi. Zijl memahami tindakan darurat yang diambil Yusuf. Namun, dia juga mengerti penyebab kemarahan Naysila, pada pengawal lapis tiga yang jalan paling depan.
Zijl nyaris terkekeh, ketika mereka berhenti untuk istirahat, Naysila duduk di dekat Hao Dustin dan Tian Everett, demi menjauhi Yusuf.
"Sabar, Bang," ucap Zijl. "Setelah dia paham, Naysila pasti minta maaf ke Abang," lanjutnya.
"Aku pikir dia nggak akan mau mengakuinya," kilah Yusuf.
"Kenapa?"
"Dia, kan, rada sombong. Beda sama Utari, Mbak Sekar dan Kak Maudy."
Zijl manggut-manggut. "Dimaklumi aja. Dia putri bungsu."
"Hu um." Yusuf menyugar rambutnya. "Aku justru khawatir, Mas Damsaz atau orang tuanya akan marah," lanjutnya.
"Semoga saja nggak. Aku akan membela Abang. Aku rasa, Bang Hisyam dan Kak Tari juga akan begitu."
"Kamu nyebut Hisyam, aku yakin, dia yang akan menyiksaku lebih dulu. Sebelum yang lainnya ngeroyok aku."
"Enggaklah. Mereka nggak akan begitu. Paling ngomel, doang."
"Aku kenal karakter Hisyam. Dia lebih ekspresif dibandingkan Ari dan Aditya. Kalau lagi kesal, Hisyam nggak akan segan-segan buat mukul."
"Ehh, Bang Ari, apa sudah keluar dari penjara?"
"InsyaAllah, akhir bulan nanti dia bebas."
"Alhamdulillah."
Yusuf terdiam sejenak. "Aku sama teman-teman tim lapis tiga berencana berangkat ke Sydney, untuk ikut menyambutnya keluar dari penjara. Setelah itu, Bang W mau ngadain syukuran di sana."
"Pasti seru banget."
"Iya." Yusuf terdiam sesaat, sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Enggak sabar aku pengen ketemu Ari. Misah 5 bulan aja, aku ngerasanya kayak misah setahun," ungkapnya.
"Kalian sehati."
"Begitulah. Apalagi setelah Hisyam di London. Aku sama Ari makin lengket. Tapi, Aditya sering jadi orang ketiga di antara kami. Rese pisan."
Zijl terkekeh, sedangkan Yusuf tersenyum lebar. Tidak berselang lama, keduanya serentak berdiri, lalu menjinjing tas masing-masing dan meneruskan perjalanan.
Naysila menyusul bersama Hao Dustin dan Tian Everett. Mereka tidak bisa jalan cepat, karena tebalnya salju yang menutupi area.
Kala melihat bukit, Yusuf mempercepat langkahnya untuk menaiki bukit. Zijl mengikuti langkah Yusuf sambil mengangkat ponselnya untuk mencari sinyal.
Keduanya berseru ketika muncul 1 garis pada layar ponsel masing-masing. Yusuf segera menelepon Zhiao Fillbert, yang telah berada di lokasi proyek sejak minggu lalu.
Ketika mendengar suara Fillbert, Yusuf segera menerangkan posisinya dan meminta Fillbert untuk mencatatnya. Sementara Zijl menghubungi Ekyavan, yang masih berada di pusat kota.
"Kita tetap di sini," ujar Yusuf saat kembali ke bawah bukit. Dia menggunakan bahasa Inggris supaya semua orang memahaminya.
"Apa kamu sudah berhasil mencari bantuan?" tanya Hao Dustin.
"Ya." Yusuf memindai sekitar, lalu menunjuk pohon besar di tepi kanan. "Kita ke sana," ajaknya.
Kelompok kecil itu bergerak menuju pohon yang terlihat lebih rimbun dibandingkan pohon lainnya. Mereka duduk di akar pohon, sembari memerhatikan sekeliling.
Naysila menggosok-gosokjan telapak tangannya. Walaupun sudah memakai sarung tangan, tetapi dinginnya udara masih terasa.
Naysila meringis ketika perutnya berbunyi. Dia berpura-pura berdeham ketika keempat pria tersebut serentak mengamatinya.
Yusuf mengajak Zijl mencabut dahan pohon yang kering. Kemudian Hao Dustin yang menyalakan api unggun. Sedangkan Tian Everett mengumpulkan salju dan menampungnya di tiga cangkir seng.
Terbiasa melakukan perjalanan ke tempat proyek, Yusuf, Hao Dustin dan Tian Everett, selalu membawa cangkir seng. Selain tidak mudah pecah, benda itu bisa langsung digunakan untuk merebus air.
Naysila memandangi ketika Yusuf mengulurkan cangkir di hadapannya. Gadis tersebut ragu-ragu sesaat, sebelum meraih cangkir dan memeganginya dengan kedua tangan, untuk menghangatkan telapaknya.
Sementara itu di tempat berbeda, dua kelompok bergerak menuju lokasi yang telah diinformasikan oleh Yusuf dan Zijl.
Cheung Chyou Jaden, memimpin tim penyelamat dari Kota Guangzhou. Sedangkan Zhiao Fillbert memimpin tim-nya dari lokasi proyek.
Mereka berusaha bergerak cepat untuk menyelamatkan kelima korban jatuhnya helikopter kemarin siang. Selain mereka, tim penyelamat di sekitar lokasi yang dihubungi Fillbert, juga ikut bergerak menuju titik terakhir para korban.
Matahari telah melewati kepala, ketika Yusuf melihat mobil besar pemecah salju bergerak mendekat dari ujung kiri.
Yusuf berdiri dan melambaikan baju merahjya, supaya terlihat oleh para penjemput. Zijl dan yang lainnya mengikuti gerakan Yusuf, sambil berteriak dengan semangat.
Empat mobil besar itu berhenti beberapa meter dari tempat tim Yusuf berada. Kelompok Fillbert keluar dari mobil dan segera mendatangi kelima korban sambil membawa selimut.
Fillbert mendekap Yusuf dengan erat. Dia sangat senang, karena berhasil menemukan sahabatnya.
"Aku sangat cemas, saat kamu tidak juga sampai ke tempat proyek," tutur Fillbert seusai menjauhkan diri. Bahasa Indonesia-nya sudah cukup lancar, karena dia berlatih langsung pada Chyou, Kakak iparnya.
"Terima kasih sudah datang dan menyelamatkanku," jawab Yusuf.
"Apa kamu terluka?"
"Hanya lecet dikit."
Fillbert beralih untuk menyalami Zijl. "Lenganmu masih sakit?" tanyanya sembari memeluk pria tersebut dengan hati-hati.
"Ya, walaupun tidak sesakit kemsrin," jelas Zijl.
"Naysila, are you okay?" Fillbert mendekati gadis yang rambutnya dikepang.
"Ini, sakit, Ko," rengek Naysila sembari menunjuk lengan kirinya.
"Nanti kita periksa," tukas Fillbert. "Sekarang, kita masuk ke mobil. Ambulance sudah menunggu di tepi jalan raya," ajaknya.
Kelompok itu jalan menuju empat mobil. Fillbert membukakan pintu dan mempersilakan ketiga rekannya memasuki mobil pertama. Sementara Hao Dustin dan Tian Everett menumpang di mobil kedua.
Puluhan menit terlewati, Naysila, Zijl dan Tian Everett telah berada di ambulance. Mereka diperiksa tim medis secara bergantian. Kemudian mereka berpindah ke dua mobil MPV hitam, yang bergerak menuju Kota Guangzhou.
Yusuf menelepon Wirya dan keluarganya, untuk mengabarkan kondisinya. Naysila juga menghubungi keluarganya. Namun, dia tidak menerangkan tentang sakit di lengan, karena khawatir jika orang tuanya akan panik.
Selanjutnya, Naysila menelepon kakaknya. Dia manggut-manggut ketika Damsaz menyebutkan akan segera berangkat ke Guangzhou untuk menjemputnya.
Sementara Zijl berusaha mencegah ayahnya untuk datang. Pria tersebut meyakinkan sang ayah, jika dirinya akan pulang paling lambat minggu depan.
Setibanya di hotel milik 4 klan, kelompok tersebut disambut keluarga Yang dan anggota tim PC serta PCD yang bermukim di sekitar China.
Sesamlainya di kamar lantai 3, Naysila mengadu pada Yang Earlene, istri Chyou, tentang tindakan Yusuf yang dianggapnya tidak sopan. Earlene tertegun sesaat, kemudian dia berjanji akan membicarakan masalah itu dengan Chyou, dan Wirya yang akan segera datang.
"Sekarang, kamu istirahat dulu, Nay," cakap Earlene, dengan bahasa Indonesia berlogat unik. "Makananmu nanti diantarkan ke sini," lanjutnya.
"Aku mau mandi dulu, baru makan," jelas Naysila.
"Okay. Kopermu sudah dipindahkan." Earlene menunjuk benda di dekat meja rias. "Dua jam lagi, akan ada shinshe yang datang untuk memijatmu," sambungnya.
Naysila meringis. "Aku nggak mau diurut."
"Tidak bisa begitu. Nanti tanganmu makin sakit. Pengobatannya harus ditunraakan."
"Ehm, shinsenya, perempuan, kan?"
"Ya, dia langgananku dan Mama." Earlene mengamati gadis berparas cantik yang tengah meneguk susu cokelat hangat dari cangkirnya. "Apa ada hal lain yang kamu butuhkan?" tanyanya.
Naysila menggeleng. "Enggak ada, Ci."
"Kalau perlu sesuatu, telepon aku."
"Ya."
"Kamarku di sebelah kanan."
"Oh, Cici nginap di sini juga?"
"Ya, suamiku tidak mau jauh-jauh dari teman-temannya. Apalagi semua ketua pengawal dari tiap unit kerja sudah berkumpul di sini. Mereka menunggu Bang Wirya tiba, katanya mau rapat intern PBK."
83Ratusan orang berkumpul di ruang tunggu khusus pesawat pribadi dan carteran, di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka berkumpul sesuai tujuan masing-masing. Tim Australia yang mengenakan baju putih, berangkat terlebih dahulu menggunakan pesawat milik Timothy Arvhasatys. Disusul tim Kanada. Pasukan pimpinan Aditya yang kompak menggunakan baju hitam, menaiki pesawat carteran berukuran besar. Sebab mengangkut banyak pengawal muda yang hendak dinas di sana. Selanjutnya, tim Eropa yang menumpangi pesawat pribadi milik keluarga Baltissen, dan satu pesawat carteran. Seperti halnya rombongan Kanada, pesawat carteran juga mengangkut banyak pengawal muda angkatan terbaru, yang akan menggantikan posisi senior mereka. Rombongan China yang dipimpin Nawang, menjadi penumpang terakhir yang meninggalkan bandara. Mereka berduyun-duyun menaiki pesawat carteran berukuran cukup besar. Supaya bisa menampung semua orang yang jumlahnya banyak. Yusuf memastikan semua barang bawaan masuk
82Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Yokohama. Setelah terparkir sempurna, petugas membukakan pintu dan menurunkan tangga. Semua penumpang melepaskan sabuk pengaman. Lyon menyalami Tanaka Hideyoshi dan asistennya, kemudian Lyon berbalik dan keluar dari pesawat. Tanaka Hideyoshi turut menuruni tangga bersama asisten dan semua kru pesawat. Mereka bersalaman, lalu Hideyoshi dan tim-nya menaiki mobil sedan mewah yang telah menunggu sejak tadi. Kelompok Lyon memasuki ruang tunggu kecil yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang berada di sana, termasuk asisten Lyon, yakni Jemmy. Lyon hendak mendatangi sang asisten. Namun, beberapa orang menghadangnya. Pria terdepan membuka masker yang dikenakan, lalu dia menunjukkan kartu identitas. "Kami interpol. Anda ditangkap atas tuduhan berlapis," tukas pria beralis tebal dengan bahasa Inggris berlogat aneh. Lyon hendak menyanggah, tetapi beberapa orang lainnya telah menodongkan senapan laras pendek ke arahnya, dan anak buahnya.
81Malam beranjak larut. Suasana di kediaman Gamal Dewawarman telah sepi. Semua penghuni sudah berpindah ke kamar masing-masing guna beristirahat, sejak satu jam silam. Naysila keluar dari kamar mandi sembari merapikan jepitan rambut. Dia berhenti di depan meja rias untuk mengecek kebersihan wajah. Yusuf yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, mengamati Naysila sembari membatin, jika perempuan itu sepertinya sengaja berlama-lama di depan cermin.Yusuf mengangkat alis, ketika Naysila berbalik dan menjauh. "Mau ke mana?" tanyanya. "Matiin lampu," jawab Naysila. "Enggak usah. Nanti aja." "Aku nggak bisa tidur kalau terang, Bang." "Tidur?" "Hu um." Yusuf melengos. "Aku sudah nungguin kamu dari tadi, tapi kamu malah pengen tidur." Naysila menggigit bibir bawah. Dia memahami maksud Yusuf. Namun, Naysila masih ngeri untuk berdekatan dengan lelaki berkaus putih. Yusuf menyalakan lampu kecil di sisi kanan dan kiri kasur. "Oke, sekarang lampunya boleh dimatikan," ujarnya. Nay
80Seorang pria berpakaian ala pendekar zaman dulu, hadir dari pintu kanan panggung dengan diiringi lagu khas Sunda. Dia berhenti di tengah-tengah panggung, lalu berbalik menghadap panggung kecil. Lelaki berbaju merah itu, mengambil kedua kipas dari dalam pakaian, lalu mengembangkannya di masing-masing tangan. Yìchèn yang berdiri di panggung kecil, meniup serulingnya untuk mengiringi gerakan silat Hendri, yang dipadukan dengan jurus halus olah napas Margaluyu. Yìchèn bergegas turun dan mendampingi Hendri. Yìchèn mengeluarkan dua kipas, lalu dia berpose bak pendekar China, sambil mengembangkan kedua benda di tangannya.Musik berganti dengan genderang perang. Hendri dan Yìchèn berlakon bertarung. Keduanya mengeluarkan jurus olah napas masing-masing, sembari berganti posisi. "Haiyya! Lu olang, ngalangin jalan owe!" seru Wirya yang datang dari pintu kiri panggung, sambil menuntun sepeda ontelnya. "Engkoh lewat sana aja," balas Hendri yang terpaksa berhenti bertarung. "Ooo, tidak bi
79Ruangan luas yang dihias dengan indah, siang itu tampak banyak orang. Mereka menduduki kursu-kursi di sekitar meja bundar, sesuai dengan kategori tamu. Tatapan hadirin mengarah pada tepi kanan panggung, di mana Fikri dan Rinjani tengah bertugas sebagai MC. Pasangan tersebut menyapa hadirin dengan salam, kemudian menyebutkan semua nama tamu penting, yang menempati ruang VIP 1, 2 dan 3. Sekian menit berlalu, seluruh lampu dipadamkan. Beberapa lampu sorot mengarah ke pintu utama. Lagu rock menghentak terdengar dari pengeras suara. Pintu terbuka dan Yusuf maju beberapa langkah, lalu dia salto berulang kali. Hadirin berseru ketika pengantin laki-laki tersebut berhenti di tengah-tengah area. Yusuf menyambar tongkat gemerincing yang dilemparkan rekannya, kemudian dia menaiki tangga hingga tiba di panggung. Kesembilan tim lapis tiga lainnya muncul dari sisi kanan dan kiri panggung. Mereka membentuk formasi di belakang Yusuf yang tengah berpose bak pendekar. Suitan Nanang menjadi kode.
78*Grup Konvoi Pengantar Pengantin* Haryono : Ladies and guys, piye kabare? Darma : Alhamdulillah. Pangestu, @Haryono.Bambang : Apik, @Yono. Hans : Aku lapar. Di mobil nggak ada stok kue. Fuad : Suruh sopirnya menepi dulu, kukasih bagianmu. Seunit mobil MPV putih menepi. Ilyas yang menjadi sopir, membuka kaca untuk mengambil kotak kue yang diberikan Fuad dari mobil sebelah. Setelah mobil Fuad melaju, Ilyas mengekori sambil mengunyah kue yang diulurkan Hans Daus : Mobil nomor 9, mohon izin belok kiri. Penumpangnya kebelet. Jaiz : Siapa yang kebelet? @Daus. Daus : Jingga. Dia nyaris ngompol, karena dicandain sopir gelo. Syuja. Nasir : Syuja tambah usil sekarang. Kalau dia muncul di kantorku, para karyawati dikerjain.Rusli : Kata Yoga, Syuja stres. Kebelet nikah. Ridwan : Dia dilewat 2 Adik sepupunya yang laki-laki, dan 4 yang perempuan. Jadinya, gitu. Yusri : Kayaknya para pengawal kita, banyak yang bujang lapuk. Aswin : Mereka seleranya tinggi. Sulit dapat calon istri.