Keesokan hari, Matahari merangkak naik, membawa serta harapan baru—atau setidaknya, secercah kesempatan. Hyra memutuskan untuk bertindak. Ia tidak bisa terus-menerus diam seperti ini. Saat menjemput Oma Dayana di rumah sakit, ia mencoba menghubungi Profesor Zamar, psikiater pribadi Ghaidan. Hyra tahu kalau ini berisiko, melanggar privasi. Namun, nalurinya mengatakan ia harus melakukannya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara lembut seorang sekretaris terdengar di ujung sana. “Dengan Profesor Zamar, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” “Selamat pagi. Saya Dokter Hyra Danurdhara,” jawab Hyra, mencoba terdengar profesional dan tenang. “Saya ingin membuat janji temu dengan Profesor Zamar. Ini tentang salah satu pasien Profesor.” “Mohon maaf, Dokter Hyra. Profesor Zamar sedang sangat sibuk minggu ini. Jadwalnya sudah penuh. Ada banyak pasien darurat yang membutuhkan penanganannya,” jelas sekretaris itu dengan sopan. Namun, tegas. “Apa ada pesan yang ingin disampaikan?”
Malam harinya, Suasana di kediaman Sumitra berubah menjadi lebih hening. Lampu-lampu kristal di koridor utama memancarkan cahaya kekuningan yang lembut. Di kamar tidur Ghaidan dan Hyra, tampak Ghaidan sedang sibuk di depan laptop sambil duduk di atas tempat tidur, bersandarkan bantal yang bertumpuk di belakang punggung.Layar laptop yang memancarkan cahaya biru, tampak menerangi sebagian wajahnya yang serius dan tegas. Kedua bola matanya yang berwarna coklat tampak sesekali menatap serius ke berkas yang tergeletak di kasur dari balik kacamata minusnya. Hal ini menandakan intensitas pekerjaannya.Kamar itu sendiri adalah sebuah karya seni minimalis modern. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu gelap, berpadu serasi dengan lantai parket kayu. Ranjang berukuran king size tampak mendominasi ruangan, tertutup seprai sutra berwarna navy yang elegan. Di sisi sisi ranjang, ada sebuah meja kecil dengan lampu tidur berdesain unik yang tampak berdiri kokoh. Di atas salah satu meja terdapat bebe
Pertanyaan yang tak terucapkan menggantung di udara, pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, setelah semua rahasia kelam itu kini terkuak di hadapan mereka. Bapak dan Ibu Sumitra saling menatap satu sama lain, gurat kesedihan dan empati tergambar jelas di wajah mereka yang mulai renta. Pasangan suami istri itu memahami betapa berat beban yang dipikul Hyra selama ini , sebuah masa lalu yang seolah tak pernah usai mengejar.Bapak Sumitra menghela napas panjang, tatapannya beralih pada Ghaidan. "Ghaidan, Papa dan Mama bisa memahami kenapa kamu mengambil keputusan seperti ini. Kamu pasti sangat ingin melindungi Hyra kan?" Ghaidan mengangguk cepat, sementara Ibu Sumitra juga ikut mengangguk sambil menghampiri Hyra lalu menggenggam tangan dokter muda itu yang masih dingin, mencoba memberikan kehangatan seorang ibu yang telah lama tidak Hyra dapatkan. "Kami nggak pernah tahu kalau kamu harus melewati semua ini, Sayang. Seharusnya kamu nggak perlu memendamnya sendiri. Kamu ad
Hiruk pikuk suasana rumah sakit masih terdengar di lorong-lorong yang memanjang, bau antiseptik juga masih menguar di udara, memenuhi atmosfer setiap ruangan. Termasuk ruang tunggu keluarga untuk pasien yang melakukan operasi. Tampak keluarga Sumitra masih terlibat sebuah percakapan yang cukup serius tentang kejadian di pesta pernikahan putra.“Ghaidan, kami menghargai perasaanmu,” ujar Pak Sumitra pelan. Namun, nadanya tidak bisa disanggah. “Tapi kamu harus tahu, kami, Mama dan Papa nggak suka kalau ada rahasia di antara keluarga. Kami ingin Hyra menceritakan semuanya, sekarang.”Hyra merasakan jantungnya berdetak kencang, nyaris melompat keluar dari dadanya. Gadis itu memejamkan mata, membayangkan betapa hancurnya perasaan kedua orang tua angkat Ghaidan ini jika ia harus mengungkap satu per satu detail kehancuran keluarganya. Ayah yang korupsi, ibu yang meninggal karena syok, dan adik yang kecanduan narkoba. Semua itu terlalu berat. Rasanya ingin sekali ia menghilang saja dari san
“Cukup, Herman!” Ghaidan meraung, suaranya penuh ancaman. “Aku nggak akan membiarkan siapa pun menghina istriku di depan mataku. Apa pun masa lalunya, apa pun keluarganya, itu adalah bagian darinya. Dan aku menerima Hyra seutuhnya, apa adanya. Sekarang, keluar sebelum aku benar-benar hilang kesabaran!” Herman tersentak mundur, terkejut dengan raut wajah Ghaidan yang menakutkan. Namun, matanya yang merah karena pengaruh obat justru memancarkan kilatan putus asa yang berbahaya. Pemuda itu tidak mau pergi. Ia merasa dunia memperlakukannya tidak adil, dan Hyra adalah target yang sempurna untuk melampiaskan semua kekesalannya selama ini. “Kamu membela dia?” Herman berteriak lagi, lebih keras. “Kamu nggak tahu bagaimana dia membuangku! Bagaimana dia nggak pernah peduli sama aku! Dia hanya peduli pada dirinya sendiri dan uangmu! Dia— ” Tiba-tiba, Herman menarik sesuatu dari balik pinggang celananya. Sebuah pisau dapur yang mengilat di bawah cahaya lampu ballroom. Mata semua orang mem
Di ballroom yang dihias dengan berbagai macam bunga dan tirai berjuntai tampak begitu megah dan mewah. Gema janji suci masih menggantung di udara, meresapi setiap sudut ruangan yang dipenuhi aroma bunga lili dan kemewahan. Warna putih gading mendominasi dekorasi ruangan tersebut, memancarkan aura kesucian yang kontras dengan gejolak batin kedua mempelai. Hyra, dalam balutan gaun pengantin putih bersih rancangan desainer ternama, terlihat bagai seorang bidadari. Rambutnya disanggul rapi, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah cantiknya yang dipoles tipis, memancarkan pesona alami yang memukau setiap mata yang memandang perempuan muda itu. Gadis itu berdiri di samping Ghaidan yang tinggi menjulang, pria yang kini resmi menjadi suaminya, seorang CEO muda yang aura protektifnya tak mampu menyembunyikan kerapuhan masa lalu. Laki-laki tampan itu mengenakan tuksedo hitam yang pas di tubuh tegapnya. Sorot matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini memancarka