“Keluar! Aku bilang keluar!”
Teriak seorang perempuan yang mengenakan seragam seorang dokter—jas putih—sambil berdiri di depan sebuah ruang praktek, beberapa pasang mata yang berada di sana segera mengalihkan mata mereka melihat insiden seru yang akan terjadi kemudian.
“Apa Anda tuli? Sekarang keluar! Atau saya panggilkan security rumah sakit!” teriaknya lagi lebih lantang dan keras hingga beberapa perawat datang mendekat, menghampiri dokter tersebut.
“Oke, kami akan keluar, tapi beri kami kepastian, kapan Anda akan melunasi hutang-hutang Anda!”
Suara laki-laki itu juga tidak kalah keras, berat dan menggelegar. Dilihat dari penampilannya yang hanya mengenakan celana jeans belel dengan setelan kaos oblong dan jaket jeans yang warna birunya juga sudah memudar, ditambah gambar tattoo yang ada di lengan kirinya, jelas sudah kalau pria ini adalah seorang debt collector alias penagih hutang, laki-laki lain yang bersamanya pun mengenakan dandanan yang serupa, dandanan seorang preman.
“Kami datang ke sini butuh kepastian!”
“Dengar ya! Seperti yang aku bilang tadi, aku pasti akan membayar, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Anda mengerti, ‘kan? Saya butuh waktu!” sahut sang dokter lantang hingga kedua bola matanya melotot, nyaris melompat keluar dengan kedua tangannya menekan pinggang.
“Anda kira uang itu tinggal dipetik dari pohon?”
“Anda kan seorang dokter specialis anak, Dokter Hyra Danurdara!” bentaknya lantang dengan menekankan kata ‘dokter’ dalam ucapannya.
“Memangnya kalau dokter, lalu harus punya uang banyak gitu?”
“Dokter Hyra, ini ada apa?” sela salah seorang security yang berjalan menghampiri mereka bersama beberapa security yang lain, rupanya ada pegawai rumah sakit yang melaporkan insiden ini. “Apa mereka mengganggu Dokter?”
“Nah, ini dia Pak Rudy! Antar kedua orang ini ke luar! Kedua bapak ini sangat mengganggu saya dari tadi!” sahut Dokter Hyra sambil menunjuk ke arah kedua preman tersebut tanpa ragu. Sorot matanya yang tajam, seolah-olah menunjukkan kalau sang dokter tidak takut dengan kedua preman yang berada di depannya.
“Baik, Dok! Mari, Pak! Ikut dengan saya, kami harap kalian berdua tidak membuat gaduh di rumah sakit ini,” tukas Pak Rudy sambil mengajak kedua preman tersebut.
“Kami tidak membuat gaduh! Kami hanya ingin menagih hutang Dokter Hyra!”
“Iya, saya tahu. Dokter Hyra pasti juga sudah menjelaskan saya yakin Dokter Hyra pasti akan membayarnya--”
“Iya, tapi kapan? Kami butuh kepastian!” Preman tersebut kembali menyela ucapan Pak Rudy dengan suara yang semakin lantang, semua orang yang berada di sana menatap heran ke arah mereka sambil berbisik-bisik.
“Kalian dengar nggak sih? Apa yang aku bilang tadi?” sela Dokter Hyra dengan ekspresi wajah yang kesal, tanpa mempedulikan orang-orang yang menatap heran ke arahnya.
“Saat ini aku nggak bisa kasih kepastian! Tapi sedang aku usahakan, aku pasti bayar! Tapi tolong jangan tagih hutang di sini!”
“Lalu di mana kami harus nagih? Kalau bukan di sini! Anda tidak bisa kami temui di rumah.”
“Anda punya nomer telfon saya, ‘kan? Anda bisa telfon di situ!”
“Sudah, Pak! Jangan membuat kegaduhan lagi, ini rumah sakit!” sela Pak Rudy yang tampak mulai kesal dengan tingkah kedua preman ini. “Kami mohon lebih baik Bapak turuti peraturan rumah sakit ini, jadi silakan pergi!”
Belum juga preman itu mengatakan sesuatu, security rumah sakit yang memiliki tubuh tidak kalah kekar dengan kedua preman itu langsung memberikan kode ke anggotanya seraya berkata, “Tidak usah berbelit-belit, Pak! Anda kami geret keluar atau Anda keluar sendiri?” bentaknya lantang dengan kedua bola matanya yang melotot hingga nyaris keluar.
“Iya, iya! Kami keluar!” sahut salah satu preman yang tidak suka dengan cara Pak Rudy menggeretnya keluar dengan mencengkram kerah jaket jeansnya ke atas.
“Tapi awas ya, kami pasti akan menagih lagi!” lanjutnya sambil merapikan jaket jeansnya dengan ekspresi wajah yang kesal dan pergi berlalu meninggalkan rumah sakit dikawal oleh beberapa security yang lain.
“Terima kasih, Pak Rudy! Untung ada Pak Rudy, kalau tidak para preman itu bisa berbuat yang tidak-tidak--”
“Itu sudah menjadi tugas saya, Dokter Hyra,” sela Pak Rudy cemas, “tapi Dokter Hyra tidak kenapa-kenapa, ‘kan?”
Dokter muda itu menggeleng tegas sambil tersenyum manis, tanpa dia duga di kejauhan ada sepasang mata elang yang menatapnya tajam, setajam mata pisau seorang ninja yang dilesatkan langsung mengenai target.
Sosok berjenis kromosom Y itu mengikuti semua insiden pertengkaran Dokter Hyra dengan kedua preman tersebut dari awal sampai akhir dengan seksama.
“Jadi namanya Dokter Hyra Danurdara, dokter specialis anak, cantik dan cerdas,” gumamnya lirih sambil tersenyum tipis dan berbalik ke tempatnya lagi menunggu giliran panggilan dokter psikiater pribadinya.
“Rasanya Dokter Hyra bisa menyelesaikan masalahku. Thanks God, you always hear my pray,” lanjutnya sambil mengambil benda pipih warna hitam berbentuk persegi panjang dari balik saku jasnya. Laki-laki itu tampak menghubungi seseorang melalui ponsel.
Penampilan laki-laki ini begitu formal dan tampak sangat memesona dengan setelan jas dan kemeja, dasi plus celana kain yang menghadirkan nuansa warna yang sama, biru.
Rambutnya yang hitam legam dan lurus nyaris menyentuh kerah kemeja membuatnya semakin menawan, dengan sorot mata yang tajam, bibir tipis merah merekah alami dan hidung mancung yang mampu menopang kacamata hitam yang dikenakannya tidak melorot ke bawah, mampu membuat para wanita dan perawat menengok ke arahnya untuk sekedar tersenyum atau menikmati pahatan Tuhan yang begitu indah.
“Tuan Ghaidan Ravindra!” Pria itu mendongak, menatap sang perawat yang memanggil namanya. Bergegas dia berdiri dan masuk ke dalam ruang praktek sang dokter.
Hari ini Ghaidan Ravindra harus menemui dokter psikiater pribadinya yang dijadwalkan bertemu sebulan sekali. Profesor Zamar Abidin, seorang pria lanjut usia tampak sibuk menulis-nulis sesuatu di buku jurnalnya saat Ghaidan memasuki ruangan yang sudah sangat familiar bagi laki-laki itu, tempat menumpahkan semua keluh kesah dan menjadi dirinya sendiri. Ruangan bernuansa monocrom ini telah merekam dan menyimpan semua rahasia yang disimpannya selama ini.
“Selamat siang, Prof!”
Laki-laki tua itu mendongak dan melambaikan tangan sambil memberikan kode ke Ghaidan untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya, lalu berkata “Just wait a minute! I have to write it down, kalau nggak nanti lupa.”
“With my pleasure, Sir. Go head,” balas Ghaidan sambil duduk di kursi yang ditunjuk sang Profesor lalu menyilangkan kaki kanannya ke atas kaki kiri.
Tak berapa lama kemudian lelaki tua dihadapannya mendongak dan menatap ke arah Ghaidan sambil memicingkan matanya yang mulai mengecil di balik kacamata persegi empat.
“Apa kabar, Ge? Hari ini kamu terlihat sangat berseri-seri. Ada apa?”
Ghaidan tersenyum kecil seraya berkata, “Profesor tahu aja,” ujarnya malu. “Yang pasti hari ini aku sudah mendapatkan apa yang aku mau.”
“Oh ya, apa itu?”
“Hyra, kamu kenapa? Kamu kelihatan pucat, kamu sakit?” suara Bu Sumitra memecahkan keheningan dan semua mata kini tertuju padanya.“Ada apa, Hyra? Kamu baik-baik saja?” sela Ghaidan sebelum dokter muda itu sempat menjawab. Hyra menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Aku baik-baik saja. Maaf, Ma. Saya... saya baru saja dapat pesan mendadak dari rumah sakit. Ada sesuatu yang perlu saya urus,” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Rumah sakit?” tanya Pak Sumitra sambil mengerutkan dahi. “Kamu perlu pergi sekarang?” Hyra menggeleng cepat. “Belum, Pa. Saya hanya perlu memastikan semuanya sudah terkendali dengan baik.” Ghaidan, yang menyadari perubahan ekspresi Hyra sejak pesan itu masuk, menyentuh lengannya pelan. “Apa ada yang serius?” bisiknya. Hyra mengangguk pelan, lalu membisikkan jawabannya. “Aku harus keluar untuk menelpon.” Sementara itu, Onella yang memperhatikan interaksi mereka, melontarkan komentar sinis. “Hyra, kalau kamu butuh bantuan, kenapa nggak langsung bil
Ketika mereka tiba di mansion keluarga Sumitra, Hyra terkesima dengan kemegahannya. Bangunan tiga lantai itu berdiri anggun di atas lahan yang luas, dikelilingi pagar tinggi dengan pintu gerbang besi yang berukir mewah. Jalan masuknya yang panjang diapit oleh pohon palem yang berjajar rapi, memberikan kesan megah sejak pandangan pertama. Begitu mereka masuk, interior rumah itu semakin memukau. Ruang tamunya luas, dengan lantai marmer putih yang berkilauan. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung kristal besar yang memancarkan cahaya keemasan. Sofa besar berlapis beludru biru tua tertata rapi di tengah ruangan, mengelilingi meja kaca dengan vas tinggi berisi bunga mawar segar yang dirangkai dengan bunga sedap malam. Aroma lembut bunga mawar dan bunga sedap malam menguar dari sudut ruangan. Ibu Sumitra, wanita paruh baya yang anggun, menyambut mereka dengan hangat. “Selamat datang, Hyra. Senang sekali akhirnya bisa bertemu,” katanya sambil merangkul Hyra dan memberikan kecup
Malam itu, Ghaidan menghentikan mobil tepat di depan mansion keluarga Sumitra, setelah mengantar Hyra pulang ke rumahnya. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Lampu taman yang tersebar di halaman mansion memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan dramatis pada pilar-pilar tinggi yang menghiasi bangunan megah tersebut.Bangunan itu berdiri dengan pilar-pilar tinggi yang megah, dikelilingi taman luas yang dihiasi air mancur meliuk seperti naga. Jendela-jendelanya besar, dengan tirai tebal yang memancarkan kehangatan dari dalam. Pintu utama terbuat dari kayu jati berukir rumit, memberikan kesan kekokohan dan keanggunan sekaligus. Setelah memarkir mobil, Ghaidan masuk melalui pintu utama. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit ruang tamu, memancarkan cahaya keemasan. Ibunya, Nyonya Sumitra, tengah duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangan, sementara Tuan Sumitra berdiri di dekat perapian dengan alis sedikit terangkat saat melihat
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Ghaidan berbicara di telepon dengan wajah serius. Tangannya sesekali mengepal, lalu melonggarkan kembali, menunjukkan bahwa pembicaraan itu mungkin tidak mudah. Tak lama kemudian, Ghaidan kembali, menghampiri Hyra yang masih setia menunggu. Wajahnya sudah tenang, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang sedang ia pikirkan. “Maaf menunggu lama. Ayo, kita masuk,” ujarnya, mencoba mencairkan suasana sambil mengajak Hyra masuk ke dalam restaurant. Tubuhnya yang menjulang tinggi, membimbing Hyra masuk ke dalam restaurant sambil memegang pundak dokter muda itu. Mereka lalu masuk ke dalam restoran, disambut oleh pelayan dengan senyum ramah. Restoran itu luas dengan dekorasi modern namun tetap hangat. Sebagian dindingnya dihiasi lukisan abstrak bernuansa emas dan hitam, sementara lampu gantung kristal memberikan pencahayaan yang lembut. Di sudut ruangan, terdengar suara piano yang dimainkan secara live, menciptakan suasana elegan dan romantis. Gha
“Memastikan mereka tidak bisa mengikuti kita lagi,” jawab Ghaidan singkat, sebelum menekan pedal gas hingga mobil mereka melesat ke depan.Suara deru mesin mobil menggema di antara gedung-gedung kota. Ghaidan mengarahkan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya tajam mengawasi jalan. Beberapa mobil di depan disalipnya dengan begitu mudah, membuat Hyra serasa bermain roller coaster.Pria tampan itu lalu memasuki jalur yang lebih sepi, menghindari keramaian malam. Mobil hitam di belakang mereka berusaha keras mengejar, tetapi Ghaidan tetap selangkah di depan.Hyra mencengkeram pegangan di pintu sambil menahan napas, matanya melebar saat melihat bagaimana Ghaidan memutar setir dengan penuh percaya diri, menghindari kendaraan lain dengan presisi sempurna.“Ghaidan, hati-hati!” seru Hyra saat mobil mereka nyaris menyenggol sebuah truk besar. Namun, Ghaidan hanya mengangguk singkat, menunjukkan bahwa ia sepenuhnya menguasai situasi. “Percayalah padaku,” katanya singkat, dengan senyum keci
Raut wajah Profesor Zamar berubah sejenak, tapi ia segera mengangguk sambil tersenyum kecil. “Kenal. Tentu saja. Dia salah satu pasien istimewaku.”Hyra terdiam, mencerna jawaban itu. “Jadi, Anda tahu tentang rencana pernikahan kami?”Zamar menghela napas, lalu menjawab, “Ya, saya tahu. Ghaidan sudah menceritakan semua. Dia bilang kalau kamu adalah ibu yang tepat untuk anak-anaknya kelak, karena kamu seorang wanita yang mandiri, cerdas dan cantik.” Sesaat Hyra tertegun dan terdiam mendengarkan semua penjelasan Profesor Zamar. Dokter muda itu lalu menegakkan tubuhnya, penasaran. “Apa ini berkaitan dengan permasalahan dia sehingga dia membutuhkan bantuan Anda?” Laki-laki tua itu mengangguk membenarkan ucapan Hyra. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan dia, Prof? Kenapa dia begitu terobsesi dengan pernikahan dan anak, bahkan melalui proses bayi tabung? Secara terus terang dia bilang kalau dia tidak akan menyentuhku sama sekali setelah kami menikah nanti.”Zamar menatap Hyra dalam-dalam,