Perempuan itu duduk bersila di emperan toko, tangannya sibuk mendekap bayi kecil di pangkuannya. Matanya tak henti menangis, kesal pada diri sendiri. Kesal pada takdir yang begitu kejam mempermainkannya.
Bukan masalah jika orang-orang membencinya. Menyumpahi dia dengan kalimat buruk dan kotor tiada berjeda. Keyra akan terima. Tapi hari ini, mereka berbuat keji pada seorang bayi.
Seminggu sudah Keyra merawat bayi itu. Bayi cantik yang diberi nama Naina. Sejumlah uang yang harusnya dibayarkan padanya ditahan oleh Yulia. Alasannya tentu saja karena Keyra membawa serta bayi itu saat menghadap.
"Bawa ke panti asuhan aja, Key. Atau juak tuh bayi sama orang. Lu itu udah susah, jangan nambahin beban!" teriak Yulia padanya siang itu.
Keyra terhenyak. Wanita itu biasanya lembut padanya, bertutur kata semanis gula. Namun, saat Keyra menyatakan bahwa dia akan mengurus dan merawat bayi itu, Yulia mendadak murka.
"Tapi aku bisa ngurus dia, Mam. Key nggak bisa lepasin gitu aja."
"Oke, kalau gitu jangan pernah kembali ke Bar sebelum bayi itu kamu singkirkan." Yulia berkacak pinggang.
Keyra menatap tak percaya. Matanya berkaca-kaca demi melihat ekspresi wajah Yulia yang dingin.
"Kenapa?" lirih Keyra di sela gemuruh kecewa di dalam dada.
"Key, gue ngomong ini demi kebaikan Elu. Bayi itu bukan di sini tempatnya. Elu cewek kotor Key, cewek nggak bener. Tangan Lu kotor, kaga pantes pegang bayi yang masih bersih kayak dia. Lu mau jadiin dia pelac*r kayak Elu?" Kali jni suara Yulia melunak. Meski kalimatnya masih terdengar menyesakkan.
Keyra terdiam. Yulia benar tentang tangannya yang kotor, tentang dirinya yang tak layak menyentuh bayi suci di pelukannya. Tapi bagaimana lagi? Keyra seolah sudah terpatri hatinya mencintai bayi ini. Keyra sudah jatuh cinta, merasa harus bertanggung jawab membesarkannya.
Berakhirlah dengan Keyra yang terusir dari rumah kontrakannya. Hal mudah bagi Yulia menyingkirkan orang yang baginya tak lagi bisa digunakan. Keyra pergi meninggalkan tempat tinggal lamanya tanpa uang, hanya beberapa perlengkapan Naina.
Siang itu juga Keyra terusir dari rumah kontrakannya. Orang suruhan Yulia yang memprovokasi pemilik rumah agar mengusir Keyra. Mengatakan jika gadis itu tak bisa lagi bekerja di tempatnya. Dan otomatis ke depannya akan mempengaruhi proses pembayaran uang bulanan. Terlebih lagi suara tangis bayi Naina juga kerap mengganggu tetangga.
Lingkungan tempat tinggal Keyra yang didominasi oleh pekerja penjual jasa pemuas nafsu itu tentu saja mengeluh dengan gangguan berisik yang bayi itu ciptakan.
Keyra berjalan menyusuri jalan. Tak ada tujuan, tak ada tempat yang tepat untuknya dan bayi kecil itu. Sedangkan uang yang tersisa sudah habis dibelikan beberapa keperluan Naina. Belum lagi hutangnya pada satpam di rumah Yulia.
Di bawah terik matahari siang itu Keyra menangis sejadi-jadinya. Melangkah sembari mengumpat pada orang-orang kejam yang tega mengusirnya. Seolah langit turut merundungnya, lihatlah betapa awan hitam itu dengan cepat menyelimuti sang Surya. Langit cerah seketika berubah mendung, tak lama hujan pun turun.
Keyra berteduh.
Naina menangis kencang. Bayi itu mungkin saja kedinginan, atau lapar? Keyra meraih botol susu dari dalam tas yang dia bawa. Menuangkan susu bubuk ke dalam botol sembari sebelah tangannya masih menggendong.
Lalu tiba-tiba Keyra menyadari, bahwa tidak ada air hangat di sekitarnya. Tak mungkin membiarkan Naina kelaparan, tak mungkin juga memberikan bayi itu susu tanpa seduhan.
Maka gemetar dan perlahan Keyra mendekati talang, menadahkan botol berisi susu bubuk itu dan mengisinya dengan air hujan. Tubuh gadis itu gemetar, menatap nanar botol air yang perlahan terisi butiran-butiran hujan.
Menangis Keyra menyuapkan susu itu ke Naina. Hatinya teramat luka, sesak mendera dada. Namun lihatlah, berapa bayi Naina lahap menyusu. Pipi gembulnya bergerak lucu seiring isapan penuh semangat bayi itu. Bayi malang dalam dekapan si wanita malam.
Hujan rupanya masih gemar menyelimuti seluruh kota, dengan Keyra yang masih pula mendekap bayi kecil di pangkuannya. Lalu sebuah mobil berhenti tepat di depan toko tempat Naina berteduh. Seorang pria muda turun dari sana dan menghampiri Naina.
"Buk? Rumahnya mana? Nangis kenapa?" Pria membungkuk menghampiri Keyra, bertanya cemas. Jelas sekali wanita dan bayi di hadapannya bukan gelandangan seperti biasa. Keyra terlalu cantik meski berpakaian seadanya. Bajunya pun masih layak.
Keyra menangis sejadinya. Menatap pria tampan yang baru saja datang bertanya. Di sela tangisnya, dengan suara serak dan kalimat terbata-bata Keyra bertanya, "Mas, mau jadi bapak nggak?"
Pria tampan itu menggaruk kepalanya, bingung dengan pertanyaan wanita dengan bayi tenang di pangkuan.
"Hah? Ibuk diusir sama suami?"
Keyra menyeka air matanya. Juga ingusnya.
"Hah? Nggak denger! Kuping aku bindeng kebanyakan nangis."
Pria itu mendekatkan mulutnya ke telinga Keyra. "Ibuk diusir sama suaminya? Kenapa di sini sama anaknya? Bapaknya mana?"
Keyra menggeleng. Masih menangis. "Mas mau nggak jadi bapaknya Naina? Kasihan dia abis minum susu, pakai air hujan." Keyra menangis semakin kencang. Lagi-lagi terluka mengingat betapa dirinya tega menyeduh susu dengan air kotor, mengguncangkan dengan keras agar susu larut, dan menyuapkan pada mulut kecilnya.
"Ibuk abis cerai? Diusir? Ibuk gila? Ibu ikut saya, ya? Ke rumah saya."
Keyra menggeleng. "Mas nggak mau nyulik saya, kan? Saya jangan diculik, Mas."
Pria itu melongo sempurna. Hey, bukankah wanita itu tadi sembrono melamarnya? Memintanya menjadi ayah untuk anaknya? Dan apa katanya? Menculik? Kalau saja tak ingat rasa iba di dalam hatinya yang terus meronta, Pria itu pasti sudah meninggalkan Keyra di sana.
"Maaf, Buk, saya cuma kasihan sama anaknya, kedinginan. Kalau ibuk nggak punya tempat tinggal, Ibuk ikut saya ke rumah." Pria itu sabar menanggapi tingkah menyebalkan Keyra.
"Beneran?" Keyra menyeka air matanya. Menyeka ingusnya.
Pria itu mengangguk. Tersenyum serakah mungkin demi menyembuhkan rasa kesal.
"Beneran?"
Pria itu mengangguk lagi.
Keyra pun akhirnya ikut bersama Pria muda itu. Tak ada pilihan lain, bukan? Dirinya bahkan putus asa seharian, baginya bulan kelangsungan hidupnya yang paling penting. Melainkan nasib Naina, bayi malang yang dia cinta.
Tiba di sebuah rumah besar dengan design Eropa. Keyra diajak memasuki rumah itu oleh Pria muda yang membawanya.
"Nama saya Damar, Ibuk bisa tidur di kamar belakang untuk sementara. Dulunya itu kamar pembantu, tapi udah dua bulan ini pembantu saya mudik dan belum balik," jelas Damar lancar.
Matanya menatap wajah cantik itu kini. Duhai, Damar baru menangkap betapa wajah di hadapannya begitu penuh pesona. Cantiknya tak lekang oleh lelah yang mendera. Sementara tubuhnya hampir saja membuat ego lelakinya bangkit andai saja tak mengingat nasib wanita itu dan bayinya.
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.