Share

Aroma tak Biasa

Damar terbangun seperti biasanya. Melakukan olahraga ringan seperti pagi-pagi yang sudah-sudah. Hanya saja pagi itu, ada aroma lain di rumahnya yang megah. Wewangian khas bayi dari dalam kamar sebelah, Damar menyeret langkahnya, perlahan menengok asal harum yang begitu menenangkan jiwa.

Keyra sedang mendandani bayi kecil itu. Bayi Naina tertawa riang, renyah menanggapi gelitikan di perut gembulnya.

Damar mendekat, ikut terkekeh melihat tawa riang Naina. "Namanya siapa?"

Keyra terhenyak, segera menarik kesadaran dan menjawab terbata, "Na-Naina, Mas."

Damar mengangguk. "Nanti kalau mau makan ambil aja apa yang ada di kulkas, aku jarang masak, jadi kebanyakan buah dan makanan langsung jadi."

Keyra mengangguk mengerti.

Damar hendak pergi saat tangannya ditahan oleh Keyra. Perempuan itu mencekal lengan kokoh Damar. Membuat pria itu kembali menoleh ke belakang. Menatap kedua mata Keyra yang berkaca-kaca.

"Astaga, Ibuk kenapa?" Damar beralih memegangi lengan Keyra.

Keyra menggeleng. Air matanya jatuh satu per satu membasahi kedua pipinya. "Aku mau minta maaf, dan ... terima kasih karena sudah menolong kami."

Damar menghela napas. Lega karena air mata perempuan di depannya bukan kesedihan seperti yang semula dia sangka. "Nggak apa-apa, Buk. Anggap saja rumah sendiri. Kalau Ibuk belum bersedia mengatakan apa yang terjadi, nanti-nanti juga nggak apa-apa."

Keyra mendongak, menatap dengan kedua mata bulatnya yang basah. "Mas Damar, boleh minta tolong nggak?"

Damar mengernyitkan dahi. "Ya?"

"Jangan panggil 'Ibuk'. Aku masih dua puluh lima, Loh."

Damar tak mengerti. Kemudian mengalirlah penjelasan singkat tentang kehadiran Naina dalam hidup Keyra. Damar sempat terperangah saat mengetahui bahwa pekerjaan Keyra adalah wanita penghibur. Tak pernah sekalipun terbesit di benaknya akan berhubungan dengan orang yang berprofesi sebagai ... wanita malam.

Damar meremas rambutnya. Merasa begitu bodoh karena lalai. "Shit! Jadi kamu cewek nggak bener? Kalau gitu Naina anak hasil ...."

Keyra bergegas menggeleng. "Naina nggak salah apa-apa, Mas. Seperti yang tadi aku bilang, Naina aku temuin di dekat tempat sampah. Aku nggak tega dan akhirnya bawa Naina pulang. Tapi karena itu juga, Mamy tempat aku kerja nggak bolehin aku kerja lagi di sana."

"Gila gila gila ...."

Keyra mengangguk. "Emang gila tuh Mamy, mana bayaran aku belum dikasih lagi. Makanya kemarin aku terpaksa nyeduh susu Naina pake air hujan"

Keyra menangis lagi mengingat memori tentang tragedi air susu hujan itu. Kembali merasa bersalah pada bayi di dekapannya. Tanpa sadar Keyra meraih pinggang Damar, kemudian meneruskan acara menangisnya bersandarkan perut bidang pria itu.

Damar terpaku. Gemetar tubuhnya mendapati Keyra yang memeluknya tiba-tiba. Tangannya bersiap melepaskan pelukan Keyra, akan tetapi isak tangis perempuan itu semakin terdengar pilu.

"Aku nggak pernah bayangin akan jadi ibu, Mas. Bagiku menikah dan mempunyai seorang anak adalah kemustahilan, perempuan kotor macam aku tidak pantas mendamba rumah tangga yang bahagia. Mas Damar juga berpikir begitu, kan?" Keyra menatap Damar dengan bola mata itu. menghunjam jantung pria yang sekarang berdetak tak menentu.

"Eh ... i-iya, iya." Damar menjawab asal.

Keyra semakin kencang menangis. "Tuh, kan, bahkan Mas Damar aja berpendapat kalau aku nggak pantas berumah tangga."

Damar mengeluh tertahan. Menyadari kebodohannya yang tanpa sengaja mengatakan jawaban salah pada Keyra. "Eh, bukan begitu. Maksudku tadi uh, itu, anu, lepasin dulu bisa nggak? Perutku kram."

Keyra menarik tangannya. Menyeka air matanya kemudian menatap kembali Damar yang kali ini memilih duduk di sebelah Naina. "Mas Damar aneh, kebanyakan pria rela ngeluarin uang buat nyentuh aku, tapi Mas Damar malah nggak mau dipeluk."

Damar masih canggung. Heran juga mengapa perempuan ini begitu terbuka, blak-blakan dan menceritakan hal-hal vulgar seolah tanpa beban. "Eh, nggak apa-apa. Mbak Keyra dibikin nyaman aja dulu, aku harus kerja."

Keyra menganggukkan kepala. Perempuan itu kemudian mengambil Naina dan menggendongnya. Setelah membuatkan susu dan menidurkan Naina, Keyra beralih ke dapur, berniat membuat sarapan. Sayang sekali Damar sudah berangkat ke kantor, tak sempat mencicipi nasi goreng spesial buatannya.

Keyra benar-benar menganggap rumah besar itu seperti rumahnya sendiri, bersih-bersih dan membereskan rumah tanpa diminta, tanpa persetujuan si pemiliknya. Saat sedang membersihkan rumah itulah, Keyra mendapati sebuah ruangan kosong dan gelap, tidak ada apapun di dalam sana, kecuali sebuah lukisan besar tergeletak di sudut ruangan. Sebuah gambar indah, perempuan berambut panjang yang dilukis tanpa sehelai benang pun.

***

Damar pulang sebelum jam sembilan malam. Keyra sudah menunggunya di ruang tamu. Sembari menggendong Naina yang terlelap di pangkuan.

"Loh, Mbak Keyra belum tidur?" Damar meletakkan belanjaan. Ada popok sekali pakai, susu yang Naina konsumsi, juga beberapa bahan makanan. Damar berusaha melayani tamunya dengan baik.

"Hoaaaaaheeem ..." Keyra berjalan mendekati Damar, sembari mengguncang pelan Naina yang terbangun sesaat. "Belum, Mas. Nungguin Mas Damar pulang. Tadi saya masak, Mas Damar belum makan, kan?"

Damar mengernyitkan dahi. Sebenarnya tadi sudah makan di kantor, akan tetapi demi menatap sorot mata yang begitu mengharap, Damar menggeleng pelan. "Iya, tadi belum makan. Makasih Mbak Key."

"Panggil Key aja, Mas. Biar nyaman. Siapa tahu keterusan," canda Keyra di sela menimang Naina.

Damar menanggapinya dengan tawa. Meski sebenarnya merinding membayangkan pelukan Keyra tadi pagi. Sungguh, ada luka lain yang tersembunyi di balik tubuh kuatnya. Ada masa lalu kelam yang dia harap akan selamanya tersimpan rapat.

Keyra meletakkan Naina di kamar, kemudian beralih ke ruang makan menyiapkan makan malam untuk Damar. Benar saja, Keyra memasak. Namun, Damar dibuat tertegun, menu makanan Keyra serba telur. Telur mata sapi, telur dadar, dan bacem telur.

Damar menggaruk kepalanya. 'Bisa bisulan ini.'

Keyra nyengir menatap wajah Damar yang memindai menu di atas meja. "Hehehe, maaf ya, Mas. Soalnya di kulkas cuma tahu telur aja, yang di kaleng itu nggak tahu masaknya gimana."

Damar mengangguk paham. Meski sebenarnya heran, bukankah seharusnya bisa membaca kemasan? Ada banyak jenis olahan instan yang hanya tinggal dipanaskan berupa rendang, cumi sambal, dan sei sapi. Namun, Damar memilih diam, hikmat menyantap aneka olahan telur yang terhidang. Mungkin Keyra adalah tipe pembaca yang buruk.

Keyra duduk di sebelah Damar, menatap lelaki yang sedang makan itu dengan mata berbinar. Damar yang merasa sedang diperhatikan menjadi kikuk.

"Kenapa, Mbak? Ada yang salah, ya?" Damar bertanya hati-hati.

Keyra menggeleng yakin. Sambil tersenyum perempuan itu berkata pasti, "Mas Damar, boleh kok make saya semaunya."

Makanan di mulut Damar tersembur keluar. Tepat mengenai wajah Keyra yang menanti jawaban. Duhai, detak jantung tak berirama itu kembali datang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Melati
please, be the best story
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status