LOGIN"Kita akan ke mana?" Livi bertanya begitu mereka masuk ke mobil.
Kericuhan pesta pernikahan telah berlalu. Axel nyaris mengamuk ketika video syur-nya bersama Sandra jadi konsumsi tamu undangan. Namun amukannya dipatahkan oleh tindakan petugas keamanan yang langsung mengusirnya dari venue pernikahan. Dia tidak terima, tapi Livi sama sekali tidak memberi kesempatan pada Axel untuk menjelaskan. Axel sempat tertegun melihat bagaimana Livi tampak terluka. Sesal seketika menyerbu Axel. Dia coba mendekati Livi, tapi pada akhirnya malah digiring paksa keluar ball room. "Menurutmu ke mana suami istri akan pergi setelah menikah." Arch membalas enteng. Dia menoleh guna melihat ekspresi lelah Livi terlihat jelas. Arch cukup paham bagaimana terpukulnya Livi dengan pengkhianatan calon suaminya. "Oh, aku ikut saja kalau begitu," balas Livi acuh. Hening sesaat menyelimuti mobil yang dikemudikan asisten Arch. "Boleh aku tanya sesuatu?" Arch mengangkat tangan mempersilakan. "Calon istrimu ke mana?" "Hilang," balas Arch enteng. Pria itu tampak tenang, hingga Livi kesulitan menerka apa yang sebenarnya sang suami rasakan. Apa Arch juga merasakan apa yang dia rasakan. Gagal menikah di menit terakhir dengan orang yang dicinta karena hal tidak terduga. "Hilang? Maksudnya dia tidak datang, atau dia kabur atau ...." "Tidak datang. Kami dijodohkan sebenarnya," sambar Arch cepat. Livi manggut-manggut paham. Kasus perjodohan memang kadang seperti ini akhirnya. Tapi Arch ini orangnya tampan, tampak dingin dan cuek. Selain itu aura dominasinya kuat sekali. Seharusnya siapapun yang dijodohkan dengan pria itu tidak akan menolak. Atau ada sesuatu yang jadi alasan kenapa si perempuan pilih membatalkan pernikahan. Beberapa dugaan liar mulai muncul di kepala Livi. "Dia tidak mungkin gay kan?" Batin Livi seraya menggelengkan kepala. "Kamu sendiri?" Raut wajah Livi langsung berubah mendung. Pengkhianatan Axel, serta beberapa potongan percakapan membuat Livi mengepalkan tangan saking sakitnya. Luka itu masih segar terasa. Entah perlu berapa lama baru bisa sembuh. Atau memang tidak bisa sembuh selamanya. "Kamu sudah lihat kan. Dia selingkuh sama sahabatku." Livi memaksakan tersenyum meski pahit terasa. Sungguh dia tidak pernah menyangka kalau Axel tega bermain di belakangnya. Apa kurangnya dia. Livi telah mencurahkan, memberikan segalanya pada Axel. Kecuali tubuhnya. Apa karena hal itu Axel mencari pelampiasan lain. Arch hanya diam mengamati Livi yang mati-matian menahan tangis. Nasib Livi mungkin sama dengannya, tapi Arch tidak sedalam itu terluka. "Kita mirip ya?" "Bisa jadi." "Cuma bedanya kamu tidak menangis meraung sepertiku." Arch memiringkan kepala. "Rasa sakit kita mungkin sama, tapi aku menangis atau tidak. Kamu tidak perlu tahu." "Oke." Livi pilih diam. Dia tahu lelaki tak suka menunjukkan sisi lemahnya di depan wanita. Bisa habis harga diri mereka. Hening kembali membalut keduanya. Livi yang biasanya sangat cerewet seolah terbawa aura irit omong yang Arch miliki. Mungkin ke depannya, Livi akan jadi pihak yang bicara lebih banyak dibanding Arch. "Oh iya, nama kamu siapa?" Livi baru ingat kalau dia tidak tahu nama suaminya. Waktu akad tadi, dia tidak fokus sama sekali hingga tidak tahu nama lelaki yang menjadi pasangannya. Arch kembali memandang paras ayu Livi yang masih lengkap dengan make up pengantin. Cantik natural, tidak pernah berubah, sama seperti dulu. "Aroha Archade De Leon." Livi manggut-manggut mendengar nama suaminya. Dia ingin mencari tahu siapa Arch, tapi fokusnya terpecah ketika kendaraan mereka mulai memasuki kawasan hunian elit. Livi sampai melongo melihat deretan kediaman yang tampak megah dan mewah. Dia bukannya orang udik. Tapi kali ini Livi benar-benar terpukau sampai speechless, tidak bisa berkata-kata. Apalagi ketika mobil memasuki sebuah hunian super wah dengan desain yang membuat Livi menganga. "Kamu bukannya pernah melihat yang lebih mewah dari ini?" Teguran Arch membuat Livi salah tingkah. Sikapnya benar-benar kampungan. Tanpa sadar mereka sudah berada di depan pintu ganda sangat besar. Livi terdiam cukup lama, hingga pintu dibuka oleh asisten Arch. Livi coba menenangkan debar jantung yang mendadak seperti genderang perang. Hubungan Livi dengan keluarga Axel terbilang kurang baik. Mama Axel apalagi, sangat tidak menyukai Livi. Perempuan itu bahkan sempat menentang rencana pernikahan mereka. Jadi Livi pikir kali ini pun sama. Dua orang, tidak! Tiga, empat tampak berdiri di depan pintu yang terbuka. Seolah menyambut mereka. Nyali Livi menciut seketika, melihat bagaimana ekspresi dingin mereka yang berdiri sana. Seolah Livi adalah orang yang tidak ingin mereka lihat. "Apalagi ini, ya Tuhan. Nikah sama suami bermasalah, sekarang keluarganya pasang tampang ingin mengusirku. Kiamat saja sekalian deh," batin Livi putus asa. Saat itu mobil berhenti cukup lama. Sebelum bertemu keluarga bukankah lebih baik dia mencari tahu lebih dulu. "Aroha Archade De Leon," batin Livi. Tunggu dulu, nama itu sepertinya Livi pernah mendengarnya. Seolah tidak asing. Livi menggeleng untuk kemudian mengetik nama sang suami di mesin pencarian secara diam-diam. Bola mata Livi melebar cantik, menunjukkan rasa terkejut yang begitu besar. Keluarga De Leon diberitakan sebagai keluarga taipan dari negeri seberang yang baru pindah. Bisnisnya bla, bla, bla. Intinya keluarga itu penuh dengan masalah. Intrik perebutan kekuasaan. Hubungan keluarga yang tidak harmonis. Dan yang paling penting, hal yang perlu digaris bawahi. Ada rumor kalau pewaris utama keluarga adalah penyuka sesama jenis. "Pantas saja sampai dijodohkan. Mungkin mereka sedang mencari solusi untuk menekan rumor ini." Tapi baguslah kalau Arch tidak berminat padanya. Mereka bisa berpisah jika waktunya tiba. Livi pikir seperti itu. "Tapi tunggu..." terbesit gelenyar aneh di perutnya ketika ia mulai menata informasi itu satu persatu. Lalu, tiba-tiba wajahnya berubah pucat, "Ha? Serius aku menikah dengan orang ini?!""Apa kubilang. Jangan beli banyak-banyak. Di Jakarta dua lemari sudah full." Lagi, Arion kena sembur kakak iparnya. "Idih, kemarin jalan sama Santo di Orchard, lihat ini lucu, mana pas lagi diskon. Ya sudah, cus diborong." Livi mendengus sambil menggendong bayi perempuannya. Sementara Arion mendorong tiga koper yang berisi perlengkapan bayi. Livi dan Arch sendiri tidak membawa apa-apa. Setelah sebulan di inkubator, satu bulan pemantauan intensif di luar inkubator. Akhirnya si kembar bisa pulang ke rumah. Patricia memastikan kondisi si kembar fit, sehat. Dua bayi itu sudah menjadi montok dengan pipi seperti bakpao. Hari ini rencananya Livi akan pulang ke Jakarta. Sejak minggu lalu mereka telah membicarakannya dengan Patricia. Dokter cantik itu tidak keberatan. Pemeriksaan kembali dilakukan, termasuk Livi. Dia juga perlu berkonsultasi dengan dokter Oh. Hasilnya dua hari lalu mereka diizinkan pulang ke Jakarta. "I'll miss you my dear." Patricia mencium pipi si kembar da
Babak baru kehidupan resmi Livi dan Arch masuki sejak kelahiran si kembar. Karena si kembar lahir dadakan. Maka Livi dan Arch pun dipaksa lebih awal untuk jadi orang tua.Walau bayi mereka belum bisa berkumpul dengan orang tuanya. Bukan berarti Arch dan Livi lepas tangan. Perempuan itu langsung belajar cara mengurus bayi. Kondisi si kembar cukup stabil, yang jadi masalah adalah bobot keduanya yang masih jauh dari standar. Juga si bayi perempuan yang masih perlu pemantauan intensif karena sedikit masalah pada paru-parunya. Asi Livi mulai berlimpah dua hari paska melahirkan. Dari sana sebagian dipompa, lalu diberikan pada bayi mereka jika Livi tidak ada di samping keduanya."Astaga," Livi berjengit kaget. Perempuan itu diam mendadak. "Ada apa?" Arch bertanya setelah meletakkan mangkok di meja."Ngilu." Livi menyentuh pinggangnya, tepat di mana bius disuntikkan. Meski Livi melahirkan dalam kondisi tidak sadarkan diri bius tetap diberikan. Tentu saja, untuk mencegah Livi terbangun tiba
"Jadi, apa yang akan kita lakukan pada mereka?"Suara Zaffran membuat San Mo membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah ruangan remang dengan satu lampu dipaksa menerangi tempat yang lumayan luas. Tangan dan kakinya terikat pada kursi yang ia duduki. San Mo tidak bisa bergerak sama sekali. San Mo coba mengingat apa yang terjadi. Dia bukannya ditangkap polisi Singapura, kenapa juga dia sekarang berada di sini. San Mo bingung sampai Zaffran mendekat diikuti James."Kau sudah bangun?" Tanya Zaffran dengan wajah dingin."Chen Wei bilang terserah kita dia mau diapakan. Yang penting dia tidak mengganggu lagi." James menambahkan."Bagaimana keadaannya?" Zaffran penasaran dengan keadaan putra mendiang tangan kanannya."Luka tembak di bahu cukup dalam. Jahitan tiga di lambungnya. Dan Livi harus melahirkan prematur. Bayi laki-laki dan perempuan. Mereka dapatkan gen kembarmu."Info dari James membuat Zaffran tersenyum lebar. Sementara San Mo seketika diliputi kemarahan. Dia ingin Livi mat
"Pelan-pelan."Livi hampir menangis ketika si baby boy dipindahkan ke gendongannya. "Putraku," lirih Livi sambil mencium pipi sang putra. Perempuan itu didorong ke ruangan si kembar. Setelah Patricia memeriksa kondisi Livi yang sangat baik. Metode sesar terkini memungkinkan Livi terhindar dari kesakitan pasca persalinan yang dulu kerap dialami ibu melahirkan.Dalam setengah jam setelah sadar, Livi sudah bisa berjalan. Perempuan itu juga makan setelah menyadari perutnya keroncongan. Baru setelahnya Livi diantar ke kamar si kembar."Mirip bapaknya," komen Miguel dari luar ruangan.Si bayi bergerak gelisah seolah tahu ibunya yang sedang menggendongnya."Apa air susunya sudah keluar? Kalau sudah bisa disusui putranya," seorang perawat berujar pada Livi."Nggak tahu, Mbak. Kalau kemarin belum.""Apa rasanya sakit, terasa penuh?"Livi meraba dadanya sendiri. Rasanya keras, berdenyut nyeri. Ketika menyentuh puncaknya terasa basah."Bagus, sudah keluar air susunya. Itu putranya lapar."Livi
Livi terbangun saat koma dulu ketika Lea berbisik, jika dia tidak segera bangun bisa jadi suaminya diambil perempuan lain. Kali ini Arch tanpa sengaja melakukan hal yang sama.Dia provokasi Livi yang sangat menyayangi anaknya dengan ancaman kalau anaknya bisa memanggil wanita lain sebagai mamanya.Ujung jemari Livi bergerak. Tapi matanya sulit untuk dibuka. Tubuhnya juga lemas sekaligus sakit luar biasa. Lehernya menyisakan perih sama seperti bagian perut yang rasanya sama sekali tidak nyaman.Perlu beberapa waktu untuk Livi mengumpulkan kekuatan. Selama itu rungu Livi mendengar percakapan Arch dengan Miguel. Sementara belaian lembut terasa di punggung tangan Livi."San Mo dan Silvia akan dipulangkan ke Guangzhou. Hukuman mereka akan ditentukan di sana," info Miguel sambil menoleh ke arah Endah yang menunggui Livi."Silvia ikut terlibat?""Perempuan itu yang menanggung tempat tinggal San Mo.""Idih, mainnya sama kakek-kakek," cibir Arch yang menyebut San Mo kakek."Semua cuma rekayasa
Raut wajah Patricia yang tadinya datar, perlahan menunjukkan ekspresi. Senyum tipis mulai terbingkai di wajahnya yang tampak lelah tapi juga lega."Lelaki dan perempuan. Sayangnya mereka harus masuk inkubator. Si baby girl sempat tidak menangis. Tapi kondisi mereka sejauh ini stabil."Awalnya ruangan itu hening, tapi tak berapa isak lirih Arch terdengar diikuti pelukan Miguel. Juga sentuhan lembut Endah di lengan suami Livi."Cowok cewek, tapi masuk inkubator." Di sudut ruang tunggu Arion langsung menginfokan pada keluarganya melalui voice note. Arion sendiri hampir menangis karena bahagia juga cemas bersamaan. Arion adalah saksi hidup perjalanan kehamilan Livi dari awal sampai si kembar lahir.Pria itu juga yang kadang jadi korban pelampiasan emosi Livi atau kang wara wiri jika Livi minta sesuatu. Tentu saja jika bapaknya si kembar sibuk.Arion bahkan pernah berkata, perasaan bapaknya si kembar adalah aku. Saking seringnya di mengurusi Livi dibanding suaminya jika kesibukan tak bis







