Keinginan Remo yang bersedia untuk menemui orang tua Jenar meski ada luka trauma di hatinya memang sukses membuat Jenar tersentuh. Remo bersungguh-sungguh ingin memulai hidupnya dari nol bersama Jenar, keputusannya untuk menikah sudah bulat walau tak akan melibatkan keluarganya sendiri.
Sementara itu, Jenar masih belum yakin sepenuhnya dengan kata hatinya, apa dia akan menerima Remo seutuhnya atau tidak, tapi dia bertekad untuk memberinya satu kesempatan, setidaknya untuk menguji ketulusan Remo.
Akhir tahun dipilih Jenar sebagai waktu untuk bertemu, dia mengambil cuti selama satu minggu, begitu juga Remo membatalkan semua jadwal hanya untuk satu minggu. Mereka akan mengunjungi kampung halaman Jenar selama satu minggu. Bahkan mereka berangkat bersama dari kota. Semua akomodasi ditanggung oleh Remo, Jenar bahkan tak perlu mengeluarkan satu sen pun.
***
Untuk sampai ke desa tempat tinggal orang tua Jena
"Masih jauh lagi?" Sudah sekian kali Remo bertanya pada Jenar sambil menarik kopernya, sementara sebuah tas berukuran sedang berada di punggungnya.Matahari telah tepat berada di atas kepala, hamparan sawah dan ladang yang menghijau dan menguning berada di sisi kanan dan kiri mereka. Angkutan umum tidak bisa mengantar masuk sampai ke bagian desa yang paling ujung atau terpelosok, karena itu Remo dan Jenar harus berjalan sekitar sepuluh menit dari tempat angkutan umum menurunkan mereka setelah beberapa jam naik kereta api pagi."Dikit lagi, kok, gak terasa capek banget kan? Jalan di sini sepi." Jenar menikmati pemandangan di depan mata. Tak terasa lelah sama sekali, justru dia menikmati perjalanannya.Rumah di desa itu tak terlalu dekat jaraknya antara satu dengan yang lain, rata-rata berjarak tiga sampai lima meter. Beberapa warga yang sedang duduk di teras rumah memperhatikan mereka, sebagian menyapa Jenar sekadar
Kedua tangan Remo mengendalikan setir traktor dengan enteng, berputar-putar untuk mengubah arah kemudi. Jenar, ibunya serta ayahnya memperhatikan dari pondok. Ini adalah pengalaman pertama Remo mengendarai traktor untuk membajak lahan untuk kebun, tapi tak disangka dia cukup andal."Kamu ketemu di mana cowok sempurna kayak dia? Udah ganteng, kaya, pintar, lagi! Tangkas, baru sejam yang lalu Ayah ajari cara pake traktor, sekarang dia udah ahli." Ayah Jenar memberi pujian yang tentu tak bisa didengar oleh Remo."Ayah bisa aja, tapi aku juga lumayan kaget sih, aku kira dia cuma bisa ngebut-ngebutan pake mobil mewahnya." Jenar tersipu."Dia jauh banget dari Jaka, ya? Bisa semuanya. Ibu seneng juga sih kamu gak jadi sama Jaka." Lagi-lagi ibu Jenar menyinggung soal Jaka."Udahlah, Bu. Basi banget ngomongin dia," tegur Jenar tak senang.Mereka kembali terdiam sambil terus memperha
Pernikahan Jenar dan Remo akan dilaksanakan dalam beberapa hari. Tak seperti kebanyakan selebriti, Remo menginginkan pernikahan sederhana di kampung halaman Jenar. Namun, resepsi kedua akan dibuat nantinya di kota setelah mereka kembali."Jadi kita cuma undang keluarga terdekat aja? Beneran gak usah besar acaranya?" tanya ibu Jenar memastikan pada suatu malam saat mereka sedang makan malam."Ya, Bu, cukup dua puluh orang aja. Kami nikah secara tradisional aja." Remo menjawab sambil terus mengunyah makanannya."Tapi nanti kalian nikah lagi di kota? Duh, Ibu sama Ayah harus datang lagi dong?" tanya ibu Jenar lagi.Remo menggeleng pelan. "Gak, Bu, cuma resepsi untuk kawan-kawan sama management aja. Kalau Ibu sama Ayah mau datang juga, ya gak apa-apa."Tanpa sengaja ayah Jenar menyeletuk, "Terus orang tua kamu datang juga?"Suasana di atas
"Kenapa baru sekarang kamu tanya?" Jenar balik bertanya."Apa hanya karna kita udah sering tidur bareng?"Seakan mengabaikan respons Jenar, Remo terus bertanya-tanya. Jenar sendiri belum tahu harus menjawab apa. Gadis manis itu menarik tangan Remo dan meletakkannya di dada. "Kalau kamu anggap aku adalah kesempatan kedua, gak apa-apa, ayo kita buat kesempatan kedua untuk kita berdua," katanya.Mata Remo membulat. "Kesempatan kedua?""Kamu lupa? Yang tadi dibilang ibu aku, semua orang memang gak bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga yang kayak mana. Tapi semua orang punya kesempatan kedua untuk membangun keluarga yang lebih baik. Anggap aja kayak gitu." Jenar tersenyum manis, membuat jantung Remo berdebar."Kamu gak menjawab pertanyaan aku," protes Remo.Jenar mendekatkan kepalanya, lalu tanpa berkata-kata, dia mempertemukan bibirnya dengan bibir Remo. Mere
Setelah seminggu di kampung halaman Jenar, keduanya akhirnya pulang kembali ke kota. Rasanya masih sulit dipercaya oleh Jenar, dia sungguh menikah dengan Remo. Ajaib rasanya. Remo tak mau buang waktu, dia langsung meminta bantuan jasa pindahan untuk memindahkan barang-barang Jenar ke rumahnya.Tidak banyak barang memang, dan terlihat jomplang di rumah Remo, tapi sayang juga kalau tidak dipakai. Sampai malam hari Jenar sibuk merapikan barang-barangnya."Keliatan cocok gak kalau kulkas aku kuletakin di kamar kita?" tanya Jenar meminta pendapat.Remo yang sedang sibuk membaca skrip untuk film baru hanya mengangguk sekenanya. "Apa gak kita jual aja dengan harga murah? Di dapur kita udah ada kulkas besar.""Jangan deh, lumayan ini buat tempat naruh minuman." Jenar menolak.Remo menutup skripnya, lalu merenggangkan tangan."Kamu besok ada sy
Gadis cantik bernama Nana itu mendekat ke arah Jenar, tapi Remo berusaha menghalanginya. "Mau apa lu, gila?!" hardik Remo takut kalau Nana akan berbuat nekad dan menyakiti Jenar.Nana justru menangis di hadapan Jenar, meringkuk seolah memohon dikasihani. "Lu sama gue tuh sesama perempuan, lu pasti tau perasaan gue, gue hamil anaknya Remo! Tolong bantu gue!" isak Nana sambil menatap lekat mata Jenar.Remo segera mendorong Nana agar keluar. "Kita omongin lain kali aja, gue mohon! Gue baru balik ama Jenar dari kampung, perjalanan jauh, gue juga habis sibuk pindahan! Kita capek, ini udah malam, Na!""Gue tau, kok! Lu baru aja nikah sama dia, makanya gue sengaja datang sekarang! Gue mau minta sedikit belas kasihan aja dari dia, gue gak bohong!" jerit Nana yang makin membuat kepala Jenar pusing.Jenar bingung harus mempercayai siapa dalam situasi rumit begini. Apakah Remo mengatakan yang
Mendengar pengakuan mengejutkan yang dilontarkan Remo barusan, hati Jenar cukup hangat, dia sama sekali tak tahu kalau motivasi Remo pada malam itu memang karena dia tertarik padanya. Meski bagaimana pun, hal itu tidak bisa dibenarkan, Jenar tetap saja terenyuh.Perlahan Jenar mendekati Remo, meraih tangannya, lalu mereka berpelukan. Remo memeluk Jenar dalam-dalam, kuat-kuat, dia seakan sedang mengirimkan perasaannya kepada Jenar melalui dekap yang berlangsung lama itu."I love you," bisik Remo di telinga Jenar.Jenar terdiam, tidak menjawab. Remo menarik dagu istrinya itu, menatap pada bola matanya yang indah. "Kamu kok gak balas, sih?" protesnya agak bermanja."Perlu banget?" ledek Jenar setengah bergurau.Remo pura-pura cemberut, bibirnya dia majukan, Jenar kemudian mencubitnya gemas. "Iya ...! iya ...! I love you too! I love you so much!" katanya seraya menyatukan bibir
Sedang jam istirahat makan siang di kantor tempat kerja Jenar. Tak disangka, Nana datang menemuinya dan mengajak untuk makan bersama di kafetaria. Jenar sebetulnya ingin menolak, tapi karena Nana sudah datang jauh-jauh, akhirnya dia turuti saja permintaan gadis itu, apa lagi saat ini dia tidak sedang dalam kondisi mabuk.Jenar dan Nana duduk berhadapan, Jenar hanya menyantap seporsi salad saus tomat sedang Nana cuma minum kopi. Anehnya lagi, Nana menyulut sebatang rokok dengan cueknya. Jenar bingung tentu saja, sebab yang dia tahu berdasarkan pengakuan Nana, dia sedang hamil saat ini. Gila saja jika seorang ibu hamil malah merokok, apa lagi usia kehamilan masih muda, pikir Jenar. Namun, dia memilih untuk menyimpan keresahannya sendiri saja, tak mau protes lantaran merasa tak punya urusan untuk mencampuri Nana.Diam-diam juga tanpa sepengetahuan Jenar, di meja belakang, Jackson sedang makan siang pula, pria itu menajamkan pendenga