Selain menahan sakit Tunggul Gono juga menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi jangankan membuat lawan terjungkal, cidera pun tidak.Maka diapun memberi isyarat pada Kalingundil untuk melipat gandakan arus serangan dan menambah cepat gerakan memainkan jurus-jurus perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.Selo Ceking yang melihat si pemuda terdesak malah kena pukul menjadi semakin ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk menemui anak istrinya.Akan tetapi dua orang anak buah Konda Wuri cepat menghadangnya dan menekankan ujung golok ke perut pedagang kuda itu."Lepaskan anak istriku! Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Selo Ceking Tubuhnya terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.Sementara itu Tunggul Gono dan Kalingundil sudah mulai menyerbu Danurwenda sambil terus berteriak-teriak.Empat Jurus Perampok Mabok sebenarnya merupakan ilmu silat yang bukan sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan ilmu silat itu Tunggul Gono dan Kalingundil telah membuat diri mereka ditakuti di mana-
Danurwenda melangkah mendekati mayat Konda Wuri. Dari balik pakaian orang ini dia keluarkan kantong berisi uang miliknya yang dirampas dan melemparkan benda itu ke dekat Selo Ceking.Lalu Danurwenda melangkah menghampiri Tunggul Gono yang saat itu merangkang di tanah tengah berusaha melarikan diri dalam keadaan kaki patah."Janggut kambing! Kau mau lari ke mana?" Danurwenda membentak dan lelaki berpakaian merah ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel di keningnya. Tubuhnya menggigil saking ketakutan."Ampuni selembar jiwaku!" pintanya meratap.Danurwenda menyeringai. "Lekas kau terangkan mengapa kau bersama konco-koncomu yang sudah mampus itu ingin menangkap aku? Tadi kalian menyebut-nyebut nama Kuwu Loh Maja. Ada sangkut paut apa kalian dengan Munding Wulung?""Aku .... kami ...." Kuto Simpul tampak seperti hendak berkelit.Danurwenda injak kakinya yang patah hingga lelaki berjanggut kambing ini mel
Tubuh di atas pasir tidak bergerak, Danurwenda ambil kantong airnya lalu sedikit demi sedikit tuangkan air ke atas bibir yang kering.Sesaat kemudian bibir itu tampak bergerak. Danurwenda tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan kirinya dia menyeka pasir yang menutupi wajah si pemuda.Ternyata pemuda itu berwajah tampan. Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka perlahan-lahan."Apakah kau malaikat maut yang datang menjemputku?" Keluar suara parau dan sangat perlahan dari mulut pemuda itu.Kalau di tempat lain Danurwenda mungkin akan tertawa bergelak mendengar kata-kata itu. Dia tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan si pemuda di tanah dan menahan punggungnya dengan lutut agar tidak rebah."Aku bukan malaikat maut. Justeru aku ingin bertanya mengapa kau enak-enakan tidur di gurun pasir ini?"Mata si pemuda membuka lebar. Mulutnya menyeringai."Sialan!" ujarnya, "Siapa yang enak-enakan tidur. Terlambat kau muncul di
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya Danurwenda geleng-gelengkan kepala melihat perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Surya Darma tadi.Namun, tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.Surya Darma menghantam dengan jotosan mengandung aji "Karang Sewu" atau pukulan batu karang yang sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun.Lawan yang diserang tampaknya sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke belakang dia bersuit keras.Suitan ini seolah-olah isyarat bagi kedua kawannya karena saat itu juga dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan.Masih mengandalkan pukulan batu karang di kedua tangannya, Surya Darma menjotos ke kiri dan ke kanan, sambut serangan dua lawan.Seperti kawannya tadi, dua orang ini melompat ke belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring.Bersamaan dengan itu orang yang berada di sebelah
Lelaki yang patah tangan berusaha meyakinkan. "Temanku itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi pekerjaan."Kami harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala batik yang akan melintas pedataran pasir menuju Loh Maja."Kami berlima menemukan kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi karena melihat kau membawa kuda bagus serta membawa senjata sakti maka kami membokongmu lalu meninggalkan di pedataran pasir."Surya Darma melirik ke Danurwenda yang berdiri sambil garuk-garuk kepala."Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju!" kata murid Eyang Resi Sokandriya itu."Benar. Mungkin sekali, ciri-ciri kalian hampir sama," jawab si patah lengan."Kenapa kalian diperintahkan membunuhku?" tanya Danurwenda."Itu kami tak tahu, utusan itu tidak menjelaskan apa-apa,""Juga tidak menjelaskan siapa yang menyuruhnya?"Yang ditanya tak menjawab.
Salah seorang dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Surya Darma menjawab, "Dengan siapa pun pemuda itu bergabung tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan Banyak Soka dan Kebo Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-senjata miliknya?""Tapi menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri, dua orang itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu itu, karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!""Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Ki Kuwu. Tidak heran kalau mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti, jika dua orang itu muncul di sini, kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Ki Kuwu tinggal minta bagian tubuhnya yang mana, kepala, atau hati atau jantung!"Kuwu Munding Wulung berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo it
Kuwu Munding Wulung membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga orang lainnya."Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi Larasati?" tanya Munding Wulung.Gadis itu tidak menjawab.”Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan pada tiga orang di belakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tianggantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada kakakmu Raden Jatmika!"Larasati tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah.Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru. "Awas! Ada orang datang!"Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap.Keduanya segera
SI NENEK Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar.Saat itu malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh gagah."Kalian siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak.Danurwenda dan Surya Darma sesaat saling pandang."Kami dua setan dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenal siapa kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung gadis jelita gembong pemherontak?" jawab Danurwenda.Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku setan dari neraka itu."Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini, besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantun