Share

DUA

Author: brokolying
last update Huling Na-update: 2025-07-04 18:59:37

Udara pagi itu menyelinap masuk dengan begitu lembut, seolah takut mengganggu dunia yang masih terlelap. Sinar matahari juga tidak mau kalah, memancar hangat dari balik tirai tipis yang melambai manja, membentuk siluet keemasan di seluruh ruangan. Sedang di atas ranjang berlapis seprai putih yang rapi, Casa masih terlelap. Menikmati sisa-sisa mimpi yang akan segera dia lupa ketika membuka mata.

Tubuhnya terbungkus selimut, satu lengannya menjulur santai seolah enggan terlepas dari kenyamanan. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, lalu sebagian lain jatuh menutupi pipinya yang diterpa lembut cahaya matahari Bali. What a cuti, katanya.

Tirai tembus pandang di sisi lain kamar itu juga mengayunkan mimpi yang belum sepenuhnya usai. Di balik kaca jendela besar, langit pagi Bali terbentang hangat. Segalanya terasa lambat di ruangan itu. Di kota itu.

Tak ada suara bising, tak ada hiruk pikuk. Hanya hembusan udara segar, aroma seprai linen bersih, dan cahaya pagi yang menari di permukaan kulit Casa, juga sayup suara ombak yang bernyanyi di telinganya. Waktu seperti berhenti sejenak untuk memberinya ruang bernapas, ruang untuk pulih dari kesal-kesalnya. Gadis itu benar-benar meresapi keindahan pagi yang jarang ditemukan di tengah dunia yang terburu-buru seperti Ibu Kota.

Dan di sana, dalam diam dan cahaya pagi yang seperti suam-suam kuku, Casa menjadi bagian dari pagi itu. Seperti menyatu dengan ketenangan, satu dengan cahaya, satu dengan damai yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, sampai satu suara pekikan terdengar dan sukses merusak suasana itu.

“CASAAAAA!!!!”

Tidak cukup hanya memanggil, pemilik suara itu juga berlari masuk ke dalam kamar dan menarik selimut temannya. Berhasil walau dengan sedikit tenaga.

“Sa, bangun Sa!”

“Lo bisa lebih lembut dikit nggak?” ucap Casa masih dengan mata terpejam. Berusaha menarik kembali selimutnya.

“Kalau kali ini nggak bisa. Lo harus bangun sekarang juga!”

“Ada apa sih Joooooooy?”

“Tiket pesawat lo gue majuin,”

Wait, what? Ke kapan?”

“Ke dua jam lagi…” kini suara yang tadinya full power itu, mengecil. Sedikit gemetar.

“DUA JAM LAGI?” tenaga dan nyawa wanita yang masih setengah ngantuk itu kini terkumpul sepenuhnya. Dia duduk tegak. Memelototi temannya. “KENAPA?”

“Bos lo dari tadi nelpon terus. Nggak lo angkat, dia malah nelpon gue. Katanya dia butuh lo di Jakarta sebelum jam makan siang hari ini,”

“Kok gitu? Kan gue cuti,” protes Casa tidak terima.

“Ya mana gue tahu. Tanya ke dia, jangan ke gue,”

“Ya kenapa lo mau disuruh-suruh?”

“Dia juga bos gue, Casa. Lupa lo?”

“Oh iya. Sorry ya Joy,”

“Yaudah siap-siap gih. Gue udah kirimin E-ticket lo, sepuluh menit lagi gue anter ke bandara,”

“Tunggu. Kok bahasanya nganter? Lo emang nggak ikut balik sama gue?”

Giiiiirl, I’m so sorry. Dia cuma minta Sekretarisnya. Bukan sekantor-kantor,”

“Jadi lo masih cuti?”

Yang ditanya, hanya mengangguk penuh senyum kelegaan.

“Ampe weekend?”

Sekali lagi, Joy hanya mengangguk. Kali ini sambil mengelus rambut temannya yang kasihan itu.

“Joy…”

“Shh shh mandi gih…”

“Tapi gue juga masih pengen cuti…”

I know.. I know…,” kini Joy memeluk Casa dalam dekapannya.

“Toby brengsek!”

“Shh shh…”

“Tapi gue belom posting I*******m story lagi di pantai…”

“Ntar gue kirimin…”

“Bajigur…”

*

Perut Casa mendadak mules. Dia baru sadar, dengan balik lebih dahulu tanpa temannya, itu berarti dia benar-benar sendiri. Untuk seseorang yang takut dengan ketinggian, bagaimana dia harus menghabiskan dua jam penerbangan tanpa tangan untuk dia genggam itu?

Yup. Kalian nggak salah baca. Dia harus menggenggam tangan seseorang tiap berada di ketinggian. Sejak check in, tidak henti-henti Casa berdoa agar diberi teman kursi seorang wanita juga. Minimal dia nggak malu-malu amat kalau mau minjem tangan orang itu.

Tapi tentu saja, harapan wanita itu pupus ketika melihat seseorang berhenti di lorong sempit pesawat tepat di sisinya. Sosok itu berdiri sebentar, menyesuaikan posisi tubuhnya sebelum mengangkat ransel ke bagasi kabin di atas kepala. Hoodie abu gelap yang membungkus tubuhnya terlihat sedikit kusut, tapi justru membuatnya terlihat makin santai dan tak dibuat-buat. Tudungnya masih menutupi sebagian kepala, jatuh longgar di bawah topi hitam yang menambah kesan tertutup.

Wajahnya hampir tak terlihat. Masker hitam menutup bagian bawah wajah, dan kacamata hitam lebar menghalangi pandangan langsung ke matanya. Hanya kulit sedikit kecokelatan di sekitar pelipis yang tersisa untuk dilihat, selebihnya hanyalah siluet yang rapi, misterius, dan seperti tidak ingin dikenali siapa pun.

Sambil menyeimbangkan badannya di lorong yang sempit, ia menyelipkan dirinya untuk duduk di kursi tepat samping Casa, sambil memegang secangkir gelas kopi yang baru dia kecap sekali.

Dengan begitu, pupus sudah harapan Casa. Duduk di tengah, dihimpit dua laki-laki. Di kanannya, di window seat, ada seorang bapak-bapak yang sudah ngorok bahkan sebelum Casa duduk. Sedang di kirinya, duduk pria serba tertutup. Yang bisa dia lihat hanya tangan, dan kulit kaki juga pahanya, mengingat dia memakai celana pendek.

Sebelum pesawat itu lepas landas, Casa menyempatkan sekali lagi memaki Toby, bosnya yang menyuruhnya kerja mendadak, lalu tidak lupa Joy yang memesankan middle seat yang paling dia benci.

Dan dimulailah penerbangan dua jam itu dengan serentetan doa pendek yang dia hapal. Casa mulai meremas tangannya sendiri di atas paha. Tidak lupa sambil memejam.

Setelah sepuluh menit mengudara, dan belasan doa terucap, Casa mencoba membuka matanya. Tapi baru saja ia bersandar dengan santai, sebuah guncangan ringan terasa. Ia kembali menegang. Tidak cukup disitu, belum sempat dia menelan ludah karena kaget, sebuah goncangan susulan kembali terasa. Kali ini lebih kencang. Lebih lama. Tanpa berpikir panjang, tanpa permisi juga, dia dengan kesadaran penuh meraih tangan pria di samping kirinya, lalu dia tarik ke arahnya. Menggenggamnya seerat mungkin sepanjang goncangan itu berlangsung. Seolah itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari turbulensi.

“Mas, sorry. Tangannya saya pinjem ya,” bisik Casa nyaris tidak terdengar. Ketakutan.

Merasa kaget dengan gerakan Casa yang tiba-tiba itu, sang pemilik tangan sempat berusaha menarik tangannya lagi, walaupun sia-sia.

“Pinjem bentar ih!” ucapnya ngotot mengeratkan genggamannya. Benar-benar seperti nggak punya urat malu si Casa ini.

Entah dari mana datangnya keberanian itu, tapi Casa berhasil. Ia menarik lengan pria itu dan memeluknya erat, dan menjaganya tetap dalam posisi itu sepanjang guncangan yang ternyata berlangsung lebih lama dari yang ia kira.

Ketika turbulensi mulai mereda dan pesawat kembali tenang, dua awak kabin melintas membawa troli berisi minuman dan camilan. Saat itulah Casa baru tersadar kalau dia sudah cukup lama meremas jemari pria itu.

Dengan perlahan, ia melonggarkan remasannya. Hati-hati, ia arahkan lengan pria itu kembali ke posisi semula, ke pangkuannya. Lalu, tanpa pikir panjang, dia membelainya singkat dan meniupnya halus. Gerakan kecil yang sebenarnya nyaris tak terlihat. Memastikan bahwa ia mengembalikannya tangan itu dalam keadaan baik, tanpa debu sedikitpun.

Lalu, dengan segenap keberanian yang dikumpulkan dari alam semesta, Casa menengadah. Menatap mata sang pria di balik kacamata hitamnya.

Thank you ya Mas. Sorry banget,” bisiknya malu.

Sebenarnya dia tidak masalah jika menanggung malu di sisa penerbangan itu. Tidak sama sekali. Tapi saat pria itu melepas kacamata dan maskernya, napas Casa langsung menabrak kerongkongannya yang kering sejak tadi.

Itu dia. Seseorang yang seharusnya cuma dia temui malam kemarin. Atau, minimal, tidak duduk bersebelahan dengannya di pesawat ekonomi ini.

“Nggak saya maafkan!” ucap pria itu tegas. Menatap kedua bola mata Casa erat-erat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH DUA

    Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH SATU

    Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA PULUH

    Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH SEMBILAN

    Kekesalan Utara menjadi-jadi saat Casa tidak juga menjawab chatnya. Gadis itu bahkan masih sibuk ngobrol dan tidak mengambil hp yang entah dia simpan dimana.Dan kekesalan itu ternyata berlarut-larut hingga jam pulang kerja, hingga dia menjemput Casa di kantornya, hingga mereka ke kostan ngambil barang Casa sebelum akhirnya kembali ke unit, Utara masih kesal. Literally sepanjang perjalanan. Nggak sekalipun dia ngajak Casa ngomong.Lantas tanggapan Casa gimana?Gadis itu sama diamnya. Dia nggak tahu dia salah apa, tapi apapun alasan Utara mendiaminya, Casa yakin semua berasal dari pikirannya sendiri. Dan dia nggak tertarik buat nanya. Walaupun kesabarannya setipis tissu. Walaupun tiap detik emosinya serasa ingin meledak di muka Utara.Casa menatapnya lekat saat mereka keluar dari lift. Menuju unit Utara. gadis itu sengaja berjalan lebih lambat hanya agar dia bisa mengamati pria itu.Apa dia bipolar?Atau emang gila aja?Dan banyak lagi pertanyaan lain yang muncul di benaknya saat melih

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH DELAPAN

    Pak, kita ketemu di kantor saja.Saya bisa berangkat sendiri.Terima kasih untuk tawarannya.Setelah membalas chat singkat bosnya, Casa cepat-cepat mandi dan berangkat. Menjalani hari seperti biasanya, tapi hatinya penuh pertanyaan. Apakah sikap Utara kini berubah? Lebih hangat? Dia penasaran.Langkanya melebar. Berusaha menyamai langkah seseorang di depan sana. yang baru juga memasuki lobby dengan penampilan yang nyentrik seperti biasa. Kalau bajunya merah, tasnya juga mesti warna merah.“NAT!” sapanya ngos-ngosan. “Bisa nggak lo kalau jalan tuh pelan-pelan aja?”“Nggak bisa. Gue udah telat. Nambah satu aja absen jelek gue, bisa potong gaji. Ogah!”“Nggak bakal potong gaji,” sambung Casa masih berusaha menyamai langkah Nata yang entah kenapa bisa secepat itu padahal lagi hamil gede.“Ya itu mah lo. Kesayangan Pak Toby. Lah gue?”“Kesayangan apa ih! Ntar orang denger malah mikir yang nggak-nggak,” hardik Casa sambil melihat sekeliling.“Di gedung ini? Giiiiiirl, siapa yang nggak tahu

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA PULUH TUJUH

    Utara masuk ke bawah selimut Casa dengan gerakan pelan, nyaris ragu. Tangannya sempat berhenti di pinggiran kain, seolah menimbang ulang keputusan yang sudah separuh jalan itu. Tapi tubuhnya terus bergerak.Casa bisa merasakan setiap gesekan kecil di antara mereka. Bunyi halus kain yang bergeser, aroma samar dari kulit Utara yang hangat, dan bagaimana udara di antara mereka berubah, akrab.Ada keraguan di mata Utara, tapi bukan keraguan yang membuatnya mundur. Justru sebaliknya, keraguan itu seperti bara yang menyala pelan. Dan anehnya, meski sedikit gamang, tiap gerakannya terasa pasti. Seolah tubuhnya tahu persis harus apa, kapan, bagaimana, ke siapa.Sedang Casa tidak bergerak. Dia hanya menatap, membiarkan detik-detik itu mengulur, membiarkan jarak di antara mereka menyusut tanpa satu pun kata. Dan saat Utara akhirnya berbaring di sampingnya, dengan napas yang sedikit lebih cepat dari biasanya, dunia terasa mengecil. Hanya ada selimut dan mereka berdua.“Loh?”“Aku mau tidur sama i

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status