“Kalaupun bisa memilih, saya juga nggak bakal mau menikah dengan perempuan yang tidak bisa menghargai dan menjaga harga dirinya sendiri.”
Mendengar kalimat yang terdengar barusan, mulut Casa reflek menganga, hampir menyentuh meja makan di hadapannya. Matanya melotot lurus menatap seorang pria yang masih menikmati irisan wagyu ribeye yang baru saja dia suapkan ke dalam bibirnya yang hampir dia lempari gelas itu.
“Untuk ukuran manusia yang nggak bisa jaga omongannya sendiri, kamu lumayan berani buat komentarin orang lain ya?” balas Casa penuh emosi.
“Loh memangnya ada yang salah dari kalimat saya tadi? Saya hanya ngomongin fakta kok,” sanggahnya tidak merasa terancam sedikitpun.
“Manusia jelek sok tahu!” crocos mulut Casa tanpa ampun. Dia tiba-tiba kehilangan selera makan. Padahal beberapa menit yang lalu, dia lapar selapar-laparnya. Di kepalanya sudah dipenuhi dengan visual Farfalle alla Rose yang hangat, gurih dan creamy.
“Memangnya kamu cantik, berani ngatain saya jelek?”
“BANGET. Cantik BANGET. Buta kamu?” jawab Casa sambil berdiri, mengibaskan rambutnya, lalu meninggalkan meja itu dengan rasa percaya diri yang jauh melampaui tinggi Shaquille O’Neal. Pemain basket kebanggaan LA Lakers. Tahu kan?
“Eh mau kemana? Habisin dulu makanannya! CASA!”
Tidak ada jawaban. Gadis itu bergeming. Langkahnya kokoh tapi anggun meninggalkan Utara sendiri di meja yang berhias lilin juga sebatang bunga Lily itu, penuh kekesalan. Bagi wanita tiga puluh tahun tersebut, dandanannya malam ini tidak layak untuk mendengar kalimat kasar apapun dari pria yang mendadak dijodohkan dengannya secara sepihak dan mendadak itu.
Sebenaranya bukan tanpa alasan kenapa Utara ngomong seperti tadi. Kesalahpahaman yang terjadi beberapa bulan sebelum mereka menikah menjadi alasan mengapa Utara memandangnya dengan begitu buruk. Separah itu. Sekotor itu.
Apa Casa peduli? No. Casa tidak peduli. Tidak sedikitpun. Justru pandangan yang seperti itu bisa sangat membantunya untuk mengakhiri hubungan yang tidak ia inginkan ini secepat mungkin. Makanya dia tidak mau repot-repot meluruskan kesalahpahaman Utara. Utara bisa menilainya bagaimanapun, dan bisa menganggapnya apapun.
*
Semuanya berawal di satu pulau kecil di tengah Indonesia. Di malam yang dingin di zona tropis.
Utara sampai di club malam yang tergolong lumayan terkenal di kawasan Legian itu dengan setelan yang sesantai mungkin yang ia bisa, namun tetap kasual. Ketika mendapatkan undangan pernikahan salah satu sahabatnya yang ternyata diselenggarakan di pulau eksotis itu, Utara sempat menolak untuk hadir. Dia bahkan repot-repot membuat alasan kalau kakinya cedera, yang tentu saja tidak satupun sahabatnya percaya. Jadi, disitulah dia. Terjebak di after party nikahan Damian. Manusia yang berhasil memaksa seorang Utara meninggalkan pekerjaannya sejenak. Temannya sejak berpuluh tahun lalu. Entahlah. Dua puluh? Ya, dua puluhan tahun lah.
“Senyum Bro. Tuh lihat banyak cewek cantik. Seksi. Lo mau yang mana? Biar gue kenalin,” bisik Damian di tengah kebisingan musik EDM. Suaranya mengarahkan mata Utara pada sekelompok cewek yang berpakaian ketat, minim dan terbuka di salah satu sisi ruangan.
“Lo tahu gue paling anti dikenal-kenalin gitu,”
“Bukan. Bukan kenalin yang seperti di kepala lo. Itu cewek-cewek yang emang sengaja gue sewa buat nemenin lo sama anak-anak selama di sini. Masa gue doang yang happy? Kalian juga harus gue bikin seneng lah,” bisik Damian sekali lagi.
“Kalau soal beginan lo lincah banget emang ya,” sindir Utara percuma.
“Yoi. Ikut gue sini,” ucap mempelai pria itu sambil menarik lengan Utara keras. Mereka berjalan membelah ruangan. Menuju salah satu meja yang sudah ramai dengan beberapa wanita juga kedua sahabat mereka yang lain. Yang sudah lebih dahulu bernakal ria dengan hadiah suguhan mempelai pria.
Utara berdiri tegak. Sesampainya di meja itu, matanya fokus melihat kelakuan kedua sahabatnya yang lain kini tengah dempet-dempetan dengan cewek-cewek yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dia menggeleng sebelum akhirnya sibuk menepis tangan beberapa perempuan yang berusaha mendekatinya, sesuai perintah Damian.
“SAAAA!” teriak salah satu cewek yang sejak tadi sentuhannya kerap ditangkis oleh Utara. Berteriak melambai pada seseorang. “SINIIII!” lanjutnya sambil melambai.
Mau tidak mau, mata Utara juga mengikuti arah suara itu tertuju. Tidak susah. Karena ketika berbalik, wanita yang dipanggil ‘Saaaa’ itu sudah berdiri di sampingnya, sebelum maju dan bercipika-cipiki dengan wanita yang sejak tadi dia tolak mentah-mentah. Utara sempat melihat keduanya berbisik sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
Sesampainya di teras lobby, dia mengeluarkan vape dari dalam kantung celana Chinos gelapnya. Mengisapnya sekali, dua kali, sebelum menyemburkan asapnya ke udara.
“Eew! Tolong asepnya diperhatiin Mas! Tempat umum nih! Gimana sih!”
Utara yang kaget dengan suara itu, reflek langsung meminta maaf bahkan sebelum ia berbalik untuk menatap.
“Kamu?” ucap Utara sambil mengibas sisa asap yang takutnya masih mengganggu orang di sampingnya. Wanita yang beberapa menit lalu dia lihat di dalam. Mata Utara menyusuri cewek itu dari ujung kepala hingga kaki, sebelum kembali lagi ke kepala. Menatap matanya. Dia memakai fitted dress berwarna maroon, dengan rambut wavy yang dibiarkan terurai begitu saja. Makeupnya tidak semenor beberapa temannya tadi.
“Hm? Emangnya kita kenal?”
“Nggak. Saya nggak minat punya kenalan wanita sewaan,” tuding Utara pedis, tidak peduli. Sekali lagi dia hisap vapenya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya yang kali ini ke ruang kosong di atasnya berpijak.
“Hah? Sewaan?”
“Kenapa kamu ngikutin saya ke sini?”
“Ngikutin?”
“Dibayar berapa kamu sama Damian buat deketin saya?”
“Dibayar?”
“Stop ikutin saya, dan saya akan bayar kamu dua kali lipat dari yang Damian kasih. Kalau dia tanya, bilang saja kamu udah puasin saya,” kini Utara bahkan menawarkan penawaran yang menurutnya sangat menggiurkan untuk wanita di hadapannya itu.
“Puasin?”
“Ini kartu nama saya. Disitu ada kontak yang bisa kamu hubungi. Kirim nomor rekening kamu, dan saya akan transfer uangnya ke kamu langsung. Permisi,” tutup Utara berlalu. Kembali ke hotel. Meninggalkan wanita itu berdiri speechless nggak habis pikir.
Casa menatapnya tanpa berkedip. Kesal bukan main. Dia bahkan belum sempat memaki pria itu atas kata-kata tidak senonohnya barusan.
“Wah gila tu orang!” umpat Casa dengan suara tertahan. Nyaris seperti berbisik, tapi emosi jelas terdengar di pita suaranya. Dengan rahang mengatup, dia melanjutkan makiannya yang belum tuntas. Lirih. Berusaha agar tidak terdengar oleh telinga orang lain di sekelilingnya.
Setelah lega, dia meneguk habis soda di kaleng yang sedari tadi dia pegang nyaris teremas. Matanya masih menatap lurus ke arah pria aneh tadi berjalan dan hilang di balik tikungan depan sana.
“Cowok sinting!” tutupnya melempar kaleng kosong ke tong sampah yang tidak jauh darinya.
Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon
Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di
Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak
Kekesalan Utara menjadi-jadi saat Casa tidak juga menjawab chatnya. Gadis itu bahkan masih sibuk ngobrol dan tidak mengambil hp yang entah dia simpan dimana.Dan kekesalan itu ternyata berlarut-larut hingga jam pulang kerja, hingga dia menjemput Casa di kantornya, hingga mereka ke kostan ngambil barang Casa sebelum akhirnya kembali ke unit, Utara masih kesal. Literally sepanjang perjalanan. Nggak sekalipun dia ngajak Casa ngomong.Lantas tanggapan Casa gimana?Gadis itu sama diamnya. Dia nggak tahu dia salah apa, tapi apapun alasan Utara mendiaminya, Casa yakin semua berasal dari pikirannya sendiri. Dan dia nggak tertarik buat nanya. Walaupun kesabarannya setipis tissu. Walaupun tiap detik emosinya serasa ingin meledak di muka Utara.Casa menatapnya lekat saat mereka keluar dari lift. Menuju unit Utara. gadis itu sengaja berjalan lebih lambat hanya agar dia bisa mengamati pria itu.Apa dia bipolar?Atau emang gila aja?Dan banyak lagi pertanyaan lain yang muncul di benaknya saat melih
Pak, kita ketemu di kantor saja.Saya bisa berangkat sendiri.Terima kasih untuk tawarannya.Setelah membalas chat singkat bosnya, Casa cepat-cepat mandi dan berangkat. Menjalani hari seperti biasanya, tapi hatinya penuh pertanyaan. Apakah sikap Utara kini berubah? Lebih hangat? Dia penasaran.Langkanya melebar. Berusaha menyamai langkah seseorang di depan sana. yang baru juga memasuki lobby dengan penampilan yang nyentrik seperti biasa. Kalau bajunya merah, tasnya juga mesti warna merah.“NAT!” sapanya ngos-ngosan. “Bisa nggak lo kalau jalan tuh pelan-pelan aja?”“Nggak bisa. Gue udah telat. Nambah satu aja absen jelek gue, bisa potong gaji. Ogah!”“Nggak bakal potong gaji,” sambung Casa masih berusaha menyamai langkah Nata yang entah kenapa bisa secepat itu padahal lagi hamil gede.“Ya itu mah lo. Kesayangan Pak Toby. Lah gue?”“Kesayangan apa ih! Ntar orang denger malah mikir yang nggak-nggak,” hardik Casa sambil melihat sekeliling.“Di gedung ini? Giiiiiirl, siapa yang nggak tahu
Utara masuk ke bawah selimut Casa dengan gerakan pelan, nyaris ragu. Tangannya sempat berhenti di pinggiran kain, seolah menimbang ulang keputusan yang sudah separuh jalan itu. Tapi tubuhnya terus bergerak.Casa bisa merasakan setiap gesekan kecil di antara mereka. Bunyi halus kain yang bergeser, aroma samar dari kulit Utara yang hangat, dan bagaimana udara di antara mereka berubah, akrab.Ada keraguan di mata Utara, tapi bukan keraguan yang membuatnya mundur. Justru sebaliknya, keraguan itu seperti bara yang menyala pelan. Dan anehnya, meski sedikit gamang, tiap gerakannya terasa pasti. Seolah tubuhnya tahu persis harus apa, kapan, bagaimana, ke siapa.Sedang Casa tidak bergerak. Dia hanya menatap, membiarkan detik-detik itu mengulur, membiarkan jarak di antara mereka menyusut tanpa satu pun kata. Dan saat Utara akhirnya berbaring di sampingnya, dengan napas yang sedikit lebih cepat dari biasanya, dunia terasa mengecil. Hanya ada selimut dan mereka berdua.“Loh?”“Aku mau tidur sama i