Share

TIGA

Author: brokolying
last update Huling Na-update: 2025-07-04 19:07:06

Casa duduk rapi di kursinya diam seribu bahasa. Dia bahkan meneguk jus apel dari pramugari tadi dalam sekali teguk karena gugup. Sedangkan manusia di sebelah kirinya tidak henti menatapnya tajam sejak tadi berulang kali.

Dari semua orang yang bisa secara kebetulan duduk di sampingnya, entah alasan apa Tuhan mengirim dia.

Dan lucunya apa? Kali ini dia bahkan nggak bisa memaki karena sudah berbuat semaunya lebih dulu. Yang tersisa hanyalah diam, meratapi nasib sambil berdoa agar tidak terjadi turbulensi lagi, dan pesawat itu lekas mendarat secepatnya.

Dan berhasil.

Saat pesawat itu baru saja mendaratkan semua bannya, dengan gerakan  serba pelan, Casa melepaskan seat belt-nya tanpa menengok ke kiri sekalipun.

Di kepalanya terus terulang gambaran bagaimana tadi dia menarik tangan itu tanpa izin dan meremasnya keras. Casa menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit kencang berharap ingatan memalukan itu terlempar keluar dari otaknya.

“Sepertinya kamu sudah keterlaluan ngikutin saya sampai segininya,” tuduh pria yang Casa harap tidak bersuara itu.

Tapi tidak. Casa tidak mau terpancing. Pria itu bisa ngomong apapun padanya kali ini. Menuduhnya apapun. Dia nggak bakal komen. Begitu janjinya dalam hati.

“Kan saya sudah bilang semalem. Kamu tinggal sebut nominal di nomor itu, berapapun akan saya transfer,” tambahnya. Kali ini berbisik depat kuping Casa. Membuat keresahan wanita tiga puluh tahun itu menjadi-jadi. Terlebih saat pesawat itu belum juga parkir.

Dia berusaha menjauhkan badannya.  Sejauh mungkin, hingga dia tidak sadar malah jadi dempet pada bapak-bapak di kanan kursinya.

“Eh maaf Pak,” ucap Casa minta maaf pada pria yang baru saja bangun dari tidurnya yang lebih cocok disebut, entahlah. Pingsan?

“Nggak apa-apa dek,”

“Enak tidurnya Pak?” Demi apapun, Casa akan mengajak ngobrol siapapun agar pria di kirinya berhenti membisikkan kalimat-kalimat yang hanya membakar emosinya.

“Lumayan. Gimana tadi di atas? Turbulen nggak?”

“Hah? Bapak nggak ngerasain?” Casa memekik kaget, membuatnya mundur yang membawanya kembali mendekat pada pria di belakangnya. Dia tersadar ketika nggak sengaja lengannya menubruk entah bagian tubuh mana milik pria itu. Casa reflek kembali menjauh.

“Wah tadi keras banget Pak. Lama pula,” jelas Casa.

“Oh ya? Tidur saya pasti lelap banget sampai nggak berasa. Ha ha,”

Tidak ingin menimpali lebih jauh, Casa hanya mengangguk sambil tersenyum. Entah karena dia memang ingin tersenyum, atau karena mendengar pengumuman bahwa pintu pesawat sudah terbuka dan penumpang sudah dipersilahkan untuk keluar.

Senyumnya juga makin mengembang saat pria di kirinya sudah berdiri. Dengan sigap, dia juga reflek langsung bangkit. Menurunkan kopernya yang berwarna pink norak itu dari kabin, dan tidak berbalik sekalipun karena dia tau orang itu kini berdiri persis di belakangnya.

“Kamu better jalan cepat, dan benar-benar stop ngikutin saya,” bisik pria itu sekali lagi dari belakang.

Casa merinding. Casa emosi.

Andai tadi dia ngegenggam tangan bapak-bapak di kanannya saja, Casa pasti sudah menoleh dan membalas pria itu dengan kata-kata tajam yang tengah terangkai rapi di ujung lidahnya.

Sekarang, saat berdiri di antrean panjang menuju pintu pesawat, dia hanya bisa diam. Menunduk, menahan napas, pura-pura sibuk dengan ujung pegangan kopernya. Memandangi lantai karpet pesawat yang tiba-tiba jadi sangat menarik di matanya.

Butuh beberapa menit sampai Casa berhasil keluar menjauh dari pesawat dan pria itu. Langkahnya cepat dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Begitu melihat pintu keluar, dia menarik napas lega. Siap memulai babak baru yang tidak melibatkan traumanya.

Tapi seperti biasa, kalian bisa tebak apa yang terjadi kan?

Saat dia baru saja melewati pintu keluar bandara domestik, seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dari belakang. Casa refleks menoleh. Dia nyaris berteriak, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan begitu melihat siapa pelakunya.

Pria itu.

Lagi.

Dengan ekspresi yang… tidak angkuh?

“Eyang, kenalin,” kata pria itu sambil menariknya lebih dekat. “Ini pacar Utara.”

Casa memutar kepala dengan gerakan lambat, seperti sedang menelan informasi yang bukan hanya salah alamat, tapi juga dilempar ke arahnya seperti bantal kapuk keras. Pacar?

Apakah dia baru saja disebut sebagai pacar?

PACAR?

Di hadapan, siapa ini? Eyangnya?

Casa yang baru saja lega itu, lagi-lagi merasa terbanting di situasi yang entah apa.

Help me with this one, dan aku bakal triple duitnya,” bisik Utara sambil menahan Casa yang mencoba melepaskan diri dari rangkulannya.

Meski dia bisa saja mengamuk dan mempermalukan Utara, tapi Casa ternyata tidak setega itu melihat wajah wanita tua di hadapan mereka saat ini. Wajah polos dengan senyuman penuh harap.

“Bener ini pacar kamu?” tanya nenek-nenek itu sedikit curiga. Lagian siapa yang nggak curiga kalau cucumu tiba-tiba menarik seseorang secara acak di bandara lalu kemudian dia kenalkan sebagai pacarnya?

“Bener Eyang,” jawab Utara lantang seolah sudah sering berbohong pada orang tua.

“Eyang marah loh kalau kamu bohongin lagi,” ancam wanita itu sambil maju mendekat ke arah Casa. “Kamu bener pacar Utara?” Logat Jawanya mengalun lembut dengan kedua tangan terentang, siap memeluk.

Casa terdiam. Antara ingin kabur ke pos AVSEC atau pura-pura pingsan. Tapi akhirnya, sambil menahan napas dan harga diri yang mulai luntur, dia membalas dengan setengah senyum palsu.

“Uhm, bener Eyang. Kenalin saya Casa. Pacarnya Mas Utara,” katanya dengan nada seperti memelas tapi berusaha meyakinkan.

Wanita paruh baya itu akhirnya memeluknya erat. Terlalu erat. Aroma minyak telon bercampur lavender menyeruak dalam indra penciuman Casa, sementara tangannya menepuk-nepuk punggung gadis itu seperti sedang mengecek semangka matang.

“Alhamdulillah. Kalau gitu, ayo makan siang bareng Eyang, ya! Eyang udah pesen gudeg, pecel, sama tempe mendoan kesukaan Utara ke orang rumah.”

Casa menoleh ke Utara dengan tatapan memohon bantuan.

“Aduh, Eyang. Saya seneng banget diajak, tapi saya harus nyampe kantor sebelum jam makan siang,” jawabnya cepat, berusaha terdengar sopan tanpa menyelipkan sedikitpun nada kasar penolakan.

“Apa nggak bisa setelah makan siang aja Nduk?”

“Pengennya sih gitu Eyang. Tapi bos saya galak. Bener kan Mas?” kini Casa menarik ujung jari Utara. Matanya seperti memancarkan sinyal SOS.

“Lain kali aja ya Eyang. Lagian kita berdua juga pakaiannya nggak rapi. Masa makan sama Eyang cantik tapi cucunya blepotan gini?” Utara maju dan merangkul Eyangnya. Membujuk sedemikian mungkin agar mereka bisa lolos.

“Yaudah yo wis, yo wis. Tapi janji ya, minggu depan ajak pacarmu ke rumah Eyang. Eyang masakin lontong kikil spesial!”

Casa hanya bisa mengangguk. Setuju tidak setuju, biarlah hal tersebut menjadi urusan pria licik itu nanti.

Setelah pintu mobil tertutup, bersama iringan mesin yang menjauh, Casa dan Utara berdiri dalam diam. Senyum pura-pura sudah lenyap. Yang tertinggal hanya sisa energi aneh yang menggantung di antara mereka.

Apapun yang terjadi barusan, Casa tidak tertarik untuk meminta penjelasan. Dia menarik kopernya, menuju parkiran. Tidak sabar untuk menyudahi drama dengan pria yang menurutnya terlalu aneh itu.

“Aku rasa aku ngerti sekarang,” kata Utara tiba-tiba dari belakangnya.

Casa tidak langsung menanggapi. Lagi-lagi nada dalam suara itu terdengar seperti seseorang yang sudah menyimpulkan sesuatu tanpa butuh kebenaran.

“Ngerti? Ngerti apa kamu?” ujarnya lelah, tanpa menoleh.

“Kamu beneran jago,” lanjut Utara. “Dari caramu senyum ke Eyang, caramu ngomong manis, sampai cara kamu sok canggung tapi tetap dapet simpati. Kamu tahu cara nyenengin siapa pun. Terutama yang punya uang.”

Casa akhirnya menoleh. Tatapannya kosong, bukan karena tak mengerti, tapi karena terlalu lelah untuk memproses tuduhan yang lagi, lagi dan lagi datang tanpa aba-aba itu.

Utara menatapnya dengan mata yang tajam, tapi tak marah. Hanya menghakimi. “Kamu emang biasa kayak gitu, kan? Menyenangkan orang yang bisa bayar. It’s ok. Semua orang punya cara masing-masing buat hasilin duit. Aku ngerti.”

Ada jeda. Sunyi. Lalu napas Casa mengalir pelan, nyaris tak terdengar.

“Utara…” ucapnya dengan suara serak. Tapi tidak dia lanjutkan. Karena apa pun yang ingin ia katakan toh bakal tidak dipedulikan sama sekali. Energinya habis. Hari ini sudah terlalu panjang, terlalu melelahkan, dan terlalu banyak absurditas yang dipaksa masuk ke dalam kepalanya. Ia bahkan tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.

Apakah ia harus menyangkal? Haruskah ia marah? Atau cukup pergi saja?

Ia menarik napas satu kali lagi depan mata Utara. Satu nafas yang dalam, lalu menunduk sebentar. "Udah selesai, kan?” bisiknya.

“Belum,” jawab Utara lantang. “Karena sekarang Eyangku sudah mengenalmu sebagai pacar cucunya, itu berarti cepat atau lambat, aku bakal butuh bantuanmu lagi.”

Casa tidak bergerak. Tapi tangannya mengepal. Dia menatap Utara penuh benci.

“Nggak mau.”

“Tunggu! Aku bakal bayar kamu, berapapun nominalnya,”

PLAKKKK

Satu tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Tangan Casa bahkan masih bergetar, segetir suaranya kemudian.

“Mulai hari ini, jangan pernah muncul lagi depan mata aku.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   LIMA

    Ponsel di tangan Utara terasa lebih berat dari biasanya. Ia menatap angka-angka di layar cukup lama, seolah berharap bahwa dengan sekali coba, yang menjawab nanti akan langsung berkata: Halo, ini Casa.Tapi tentu tidak semudah itu.Dering pertama berlalu.Kedua…Ketiga..Empat…Perut Utara mulai mules karena gugup.“Halo? Siapa nih?”Bukan suara Casa. Yang ini sedikit lebih ramah di kuping Utara.“Uhm, maaf. Ini nomornya Casa kan?”“Well, itu tergantung kamu siapa,” balas suara itu dramatis.“Utara. Saya dikasih nomor ini sama Damian.”“Damian? Hm. Tadi nama lo siapa?”“Utara,”“Oooooh jadi lo? Berani banget lo nyari Casa. Apalagi setelah lo bikin dia marah semarah-marahnya,” jelas wanita di ujung telepon itu.“Gue tahu. Tapi ini penting. Darurat. Gue butuh bantuan dia,” usaha Utara meyakinkan.“Kalo darurat, panggil ambulans. Telpon Damkar. Jangan nyari temen gue!” makin kesini, nada itu makin ketus.“Gue nggak mau nyari ribut sama lo. Gue cuma butuh ngomong ke Casa. Gini aja. Lo kas

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   EMPAT

    Sudah dua jam Utara duduk di ruang tunggu rumah sakit, memelototi layar ponselnya yang kosong. Eyangnya terbaring di ruang rawat intensif. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi isi kepala Utara? Amburadul.Rumah sakit itu tidak seharusnya terasa seperti freezer raksasa, tapi begitulah rasanya pagi ini. Dingin, sunyi, dan penuh tekanan. Di ruang tunggu lantai dua, Utara duduk di kursi plastik abu-abu yang tidak pernah terasa cukup nyaman meski dicoba dari segala sudut.Eyangnya lagi-lagi dilarikan ke rumah sakit semalam setelah kolaps mendadak karena tekanan darah dan komplikasi jantung. Sejak itu, semua orang seketika jadi lebih sensitif. Termasuk orang tuanya yang kini duduk di sisi berlawanan, dengan wajah tak kalah tegangnya.“Sampai kapan kamu mau diam seperti itu, Utara?” suara Papanya berat, dengan nada bariton yang tak pernah lepas kontrol. “Kamu tahu kan, kamu harus menepati janji yang kamu buat ke Eyangmu?”Utara tidak menjawab. Tangannya ia tekuk di depan dada, dan matanya j

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA

    Casa duduk rapi di kursinya diam seribu bahasa. Dia bahkan meneguk jus apel dari pramugari tadi dalam sekali teguk karena gugup. Sedangkan manusia di sebelah kirinya tidak henti menatapnya tajam sejak tadi berulang kali.Dari semua orang yang bisa secara kebetulan duduk di sampingnya, entah alasan apa Tuhan mengirim dia.Dan lucunya apa? Kali ini dia bahkan nggak bisa memaki karena sudah berbuat semaunya lebih dulu. Yang tersisa hanyalah diam, meratapi nasib sambil berdoa agar tidak terjadi turbulensi lagi, dan pesawat itu lekas mendarat secepatnya.Dan berhasil.Saat pesawat itu baru saja mendaratkan semua bannya, dengan gerakan serba pelan, Casa melepaskan seat belt-nya tanpa menengok ke kiri sekalipun.Di kepalanya terus terulang gambaran bagaimana tadi dia menarik tangan itu tanpa izin dan meremasnya keras. Casa menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit kencang berharap ingatan memalukan itu terlempar keluar dari otaknya.“Sepertinya kamu sudah keterlaluan ngikutin saya sampai segin

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA

    Udara pagi itu menyelinap masuk dengan begitu lembut, seolah takut mengganggu dunia yang masih terlelap. Sinar matahari juga tidak mau kalah, memancar hangat dari balik tirai tipis yang melambai manja, membentuk siluet keemasan di seluruh ruangan. Sedang di atas ranjang berlapis seprai putih yang rapi, Casa masih terlelap. Menikmati sisa-sisa mimpi yang akan segera dia lupa ketika membuka mata.Tubuhnya terbungkus selimut, satu lengannya menjulur santai seolah enggan terlepas dari kenyamanan. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, lalu sebagian lain jatuh menutupi pipinya yang diterpa lembut cahaya matahari Bali. What a cuti, katanya.Tirai tembus pandang di sisi lain kamar itu juga mengayunkan mimpi yang belum sepenuhnya usai. Di balik kaca jendela besar, langit pagi Bali terbentang hangat. Segalanya terasa lambat di ruangan itu. Di kota itu.Tak ada suara bising, tak ada hiruk pikuk. Hanya hembusan udara segar, aroma seprai linen bersih, dan cahaya pagi yang menari di permukaan ku

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SATU

    “Kalaupun bisa memilih, saya juga nggak bakal mau menikah dengan perempuan yang tidak bisa menghargai dan menjaga harga dirinya sendiri.”Mendengar kalimat yang terdengar barusan, mulut Casa reflek menganga, hampir menyentuh meja makan di hadapannya. Matanya melotot lurus menatap seorang pria yang masih menikmati irisan wagyu ribeye yang baru saja dia suapkan ke dalam bibirnya yang hampir dia lempari gelas itu.“Untuk ukuran manusia yang nggak bisa jaga omongannya sendiri, kamu lumayan berani buat komentarin orang lain ya?” balas Casa penuh emosi.“Loh memangnya ada yang salah dari kalimat saya tadi? Saya hanya ngomongin fakta kok,” sanggahnya tidak merasa terancam sedikitpun.“Manusia jelek sok tahu!” crocos mulut Casa tanpa ampun. Dia tiba-tiba kehilangan selera makan. Padahal beberapa menit yang lalu, dia lapar selapar-laparnya. Di kepalanya sudah dipenuhi dengan visual Farfalle alla Rose yang hangat, gurih dan creamy.“Memangnya kamu cantik, berani ngatain saya jelek?”“BANGET. Ca

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status