LOGINCasa duduk rapi di kursinya diam seribu bahasa. Dia bahkan meneguk jus apel dari pramugari tadi dalam sekali teguk karena gugup. Sedangkan manusia di sebelah kirinya tidak henti menatapnya tajam sejak tadi berulang kali.
Dari semua orang yang bisa secara kebetulan duduk di sampingnya, entah alasan apa Tuhan mengirim dia.
Dan lucunya apa? Kali ini dia bahkan nggak bisa memaki karena sudah berbuat semaunya lebih dulu. Yang tersisa hanyalah diam, meratapi nasib sambil berdoa agar tidak terjadi turbulensi lagi, dan pesawat itu lekas mendarat secepatnya.
Dan berhasil.
Saat pesawat itu baru saja mendaratkan semua bannya, dengan gerakan serba pelan, Casa melepaskan seat belt-nya tanpa menengok ke kiri sekalipun.
Di kepalanya terus terulang gambaran bagaimana tadi dia menarik tangan itu tanpa izin dan meremasnya keras. Casa menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit kencang berharap ingatan memalukan itu terlempar keluar dari otaknya.
“Sepertinya kamu sudah keterlaluan ngikutin saya sampai segininya,” tuduh pria yang Casa harap tidak bersuara itu.
Tapi tidak. Casa tidak mau terpancing. Pria itu bisa ngomong apapun padanya kali ini. Menuduhnya apapun. Dia nggak bakal komen. Begitu janjinya dalam hati.
“Kan saya sudah bilang semalem. Kamu tinggal sebut nominal di nomor itu, berapapun akan saya transfer,” tambahnya. Kali ini berbisik depat kuping Casa. Membuat keresahan wanita tiga puluh tahun itu menjadi-jadi. Terlebih saat pesawat itu belum juga parkir.
Dia berusaha menjauhkan badannya. Sejauh mungkin, hingga dia tidak sadar malah jadi dempet pada bapak-bapak di kanan kursinya.
“Eh maaf Pak,” ucap Casa minta maaf pada pria yang baru saja bangun dari tidurnya yang lebih cocok disebut, entahlah. Pingsan?
“Nggak apa-apa dek,”
“Enak tidurnya Pak?” Demi apapun, Casa akan mengajak ngobrol siapapun agar pria di kirinya berhenti membisikkan kalimat-kalimat yang hanya membakar emosinya.
“Lumayan. Gimana tadi di atas? Turbulen nggak?”
“Hah? Bapak nggak ngerasain?” Casa memekik kaget, membuatnya mundur yang membawanya kembali mendekat pada pria di belakangnya. Dia tersadar ketika nggak sengaja lengannya menubruk entah bagian tubuh mana milik pria itu. Casa reflek kembali menjauh.
“Wah tadi keras banget Pak. Lama pula,” jelas Casa.
“Oh ya? Tidur saya pasti lelap banget sampai nggak berasa. Ha ha,”
Tidak ingin menimpali lebih jauh, Casa hanya mengangguk sambil tersenyum. Entah karena dia memang ingin tersenyum, atau karena mendengar pengumuman bahwa pintu pesawat sudah terbuka dan penumpang sudah dipersilahkan untuk keluar.
Senyumnya juga makin mengembang saat pria di kirinya sudah berdiri. Dengan sigap, dia juga reflek langsung bangkit. Menurunkan kopernya yang berwarna pink norak itu dari kabin, dan tidak berbalik sekalipun karena dia tau orang itu kini berdiri persis di belakangnya.
“Kamu better jalan cepat, dan benar-benar stop ngikutin saya,” bisik pria itu sekali lagi dari belakang.
Casa merinding. Casa emosi.
Andai tadi dia ngegenggam tangan bapak-bapak di kanannya saja, Casa pasti sudah menoleh dan membalas pria itu dengan kata-kata tajam yang tengah terangkai rapi di ujung lidahnya.
Sekarang, saat berdiri di antrean panjang menuju pintu pesawat, dia hanya bisa diam. Menunduk, menahan napas, pura-pura sibuk dengan ujung pegangan kopernya. Memandangi lantai karpet pesawat yang tiba-tiba jadi sangat menarik di matanya.
Butuh beberapa menit sampai Casa berhasil keluar menjauh dari pesawat dan pria itu. Langkahnya cepat dan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Begitu melihat pintu keluar, dia menarik napas lega. Siap memulai babak baru yang tidak melibatkan traumanya.
Tapi seperti biasa, kalian bisa tebak apa yang terjadi kan?
Saat dia baru saja melewati pintu keluar bandara domestik, seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dari belakang. Casa refleks menoleh. Dia nyaris berteriak, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan begitu melihat siapa pelakunya.
Pria itu.
Lagi.
Dengan ekspresi yang… tidak angkuh?
“Eyang, kenalin,” kata pria itu sambil menariknya lebih dekat. “Ini pacar Utara.”
Casa memutar kepala dengan gerakan lambat, seperti sedang menelan informasi yang bukan hanya salah alamat, tapi juga dilempar ke arahnya seperti bantal kapuk keras. Pacar?
Apakah dia baru saja disebut sebagai pacar?
PACAR?
Di hadapan, siapa ini? Eyangnya?
Casa yang baru saja lega itu, lagi-lagi merasa terbanting di situasi yang entah apa.
“Help me with this one, dan aku bakal triple duitnya,” bisik Utara sambil menahan Casa yang mencoba melepaskan diri dari rangkulannya.
Meski dia bisa saja mengamuk dan mempermalukan Utara, tapi Casa ternyata tidak setega itu melihat wajah wanita tua di hadapan mereka saat ini. Wajah polos dengan senyuman penuh harap.
“Bener ini pacar kamu?” tanya nenek-nenek itu sedikit curiga. Lagian siapa yang nggak curiga kalau cucumu tiba-tiba menarik seseorang secara acak di bandara lalu kemudian dia kenalkan sebagai pacarnya?
“Bener Eyang,” jawab Utara lantang seolah sudah sering berbohong pada orang tua.
“Eyang marah loh kalau kamu bohongin lagi,” ancam wanita itu sambil maju mendekat ke arah Casa. “Kamu bener pacar Utara?” Logat Jawanya mengalun lembut dengan kedua tangan terentang, siap memeluk.
Casa terdiam. Antara ingin kabur ke pos AVSEC atau pura-pura pingsan. Tapi akhirnya, sambil menahan napas dan harga diri yang mulai luntur, dia membalas dengan setengah senyum palsu.
“Uhm, bener Eyang. Kenalin saya Casa. Pacarnya Mas Utara,” katanya dengan nada seperti memelas tapi berusaha meyakinkan.
Wanita paruh baya itu akhirnya memeluknya erat. Terlalu erat. Aroma minyak telon bercampur lavender menyeruak dalam indra penciuman Casa, sementara tangannya menepuk-nepuk punggung gadis itu seperti sedang mengecek semangka matang.
“Alhamdulillah. Kalau gitu, ayo makan siang bareng Eyang, ya! Eyang udah pesen gudeg, pecel, sama tempe mendoan kesukaan Utara ke orang rumah.”
Casa menoleh ke Utara dengan tatapan memohon bantuan.
“Aduh, Eyang. Saya seneng banget diajak, tapi saya harus nyampe kantor sebelum jam makan siang,” jawabnya cepat, berusaha terdengar sopan tanpa menyelipkan sedikitpun nada kasar penolakan.
“Apa nggak bisa setelah makan siang aja Nduk?”
“Pengennya sih gitu Eyang. Tapi bos saya galak. Bener kan Mas?” kini Casa menarik ujung jari Utara. Matanya seperti memancarkan sinyal SOS.
“Lain kali aja ya Eyang. Lagian kita berdua juga pakaiannya nggak rapi. Masa makan sama Eyang cantik tapi cucunya blepotan gini?” Utara maju dan merangkul Eyangnya. Membujuk sedemikian mungkin agar mereka bisa lolos.
“Yaudah yo wis, yo wis. Tapi janji ya, minggu depan ajak pacarmu ke rumah Eyang. Eyang masakin lontong kikil spesial!”
Casa hanya bisa mengangguk. Setuju tidak setuju, biarlah hal tersebut menjadi urusan pria licik itu nanti.
Setelah pintu mobil tertutup, bersama iringan mesin yang menjauh, Casa dan Utara berdiri dalam diam. Senyum pura-pura sudah lenyap. Yang tertinggal hanya sisa energi aneh yang menggantung di antara mereka.
Apapun yang terjadi barusan, Casa tidak tertarik untuk meminta penjelasan. Dia menarik kopernya, menuju parkiran. Tidak sabar untuk menyudahi drama dengan pria yang menurutnya terlalu aneh itu.
“Aku rasa aku ngerti sekarang,” kata Utara tiba-tiba dari belakangnya.
Casa tidak langsung menanggapi. Lagi-lagi nada dalam suara itu terdengar seperti seseorang yang sudah menyimpulkan sesuatu tanpa butuh kebenaran.
“Ngerti? Ngerti apa kamu?” ujarnya lelah, tanpa menoleh.
“Kamu beneran jago,” lanjut Utara. “Dari caramu senyum ke Eyang, caramu ngomong manis, sampai cara kamu sok canggung tapi tetap dapet simpati. Kamu tahu cara nyenengin siapa pun. Terutama yang punya uang.”
Casa akhirnya menoleh. Tatapannya kosong, bukan karena tak mengerti, tapi karena terlalu lelah untuk memproses tuduhan yang lagi, lagi dan lagi datang tanpa aba-aba itu.
Utara menatapnya dengan mata yang tajam, tapi tak marah. Hanya menghakimi. “Kamu emang biasa kayak gitu, kan? Menyenangkan orang yang bisa bayar. It’s ok. Semua orang punya cara masing-masing buat hasilin duit. Aku ngerti.”
Ada jeda. Sunyi. Lalu napas Casa mengalir pelan, nyaris tak terdengar.
“Utara…” ucapnya dengan suara serak. Tapi tidak dia lanjutkan. Karena apa pun yang ingin ia katakan toh bakal tidak dipedulikan sama sekali. Energinya habis. Hari ini sudah terlalu panjang, terlalu melelahkan, dan terlalu banyak absurditas yang dipaksa masuk ke dalam kepalanya. Ia bahkan tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.
Apakah ia harus menyangkal? Haruskah ia marah? Atau cukup pergi saja?
Ia menarik napas satu kali lagi depan mata Utara. Satu nafas yang dalam, lalu menunduk sebentar. "Udah selesai, kan?” bisiknya.
“Belum,” jawab Utara lantang. “Karena sekarang Eyangku sudah mengenalmu sebagai pacar cucunya, itu berarti cepat atau lambat, aku bakal butuh bantuanmu lagi.”
Casa tidak bergerak. Tapi tangannya mengepal. Dia menatap Utara penuh benci.
“Nggak mau.”
“Tunggu! Aku bakal bayar kamu, berapapun nominalnya,”
PLAKKKK
Satu tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Tangan Casa bahkan masih bergetar, segetir suaranya kemudian.
“Mulai hari ini, jangan pernah muncul lagi depan mata aku.”
Terlepas dari kontrak, kebohongan, kebencian, dan salah sangka - salah sangka yang terjalin di antara mereka berdua, ada masanya Casa berharap hubungannya dengan pria bernama Utara itu murni kemauan dua anak manusia yang tumbuh dengan sendirinya. Tidak dari kebetulan. Tidak dari kebutuhan.Seperti malam ini. Melihat Utara berdiri di belakangannya begitu dekat, memohon sambil menarik ujung bajunya, jauh dalam hati gadis itu berharap Utara adalah suaminya. Benar-benar suaminya. Bukan yang karena perjanjian.Belum lagi bagaimana Utara makin lama makin mendekat. Berusaha memangkas jarak sambil memohon. Kepalanya tidak mau menerima bagaimana ada pria lain yang berusaha mengatur rumah tangganya. Terlalu dekat dengan istrinya.“Ta, cemburu itu nggak bisa kamu buat-buat, terus kamu jadiin alasan untuk ngelarang aku ngelakuin sesuatu,” Casa mencoba menjelaskan bagaimana konsep cemburu ke anak tiga ratus bulan itu.“Orang bodoh mana yang pura-pura cemburu, Casa?”Tidak menjawab, Casa hanya menu
Setelah berhasil meninggalkan Toby di parkiran dan memastikan pria itu langsung pulang, Casa melangkah masuk ke lobby dengan langkah yang santai. Di tengah dinginnya malam Jakarta yang tumben-tumbennya hujan, dia tahu Utara berdiri di sana bahkan sebelum matanya sempat menangkap sosok pria itu. Sebut saja Casa mulai selalu bisa merasakan kehadiran Utara di mana pun.Dan benar saja. Dia berdiri di sana. Berdiri diam. Mengenakan baju tidur oversized, dengan ekspresi datar. Ekspresinya tidak senang. Tatapannya lurus menatap Casa yang tidak tahu harus ngomong apa.Mereka bukan pasangan, meski terdaftar legal di KUA. Itu yang berusaha Casa ucapkan. Kemarahan Utara kali ini dia rasa tidak perlu.Oke, dia mungkin sudah melanggar sedikit aturan yang dibuat Utara perihal tidak boleh memberi alamat apartemen mereka ke pria lain. Tapi kan itu juga Casa lakukan demi mendapat cuti. Cuti yang berasal dari ide pria itu sendiri.Casa menarik napas pelan lalu melangkah mendekat ketika Utara akhirnya me
Casa menutupi pajamas polos warna kremnya dengan sebuah cardigan coklat muda yang melekat cantik di tubuhnya. Di kedua kakinya, ia memakai sepasang sandal jepit, sedang rambutnya dibiarkan tercepol seadanya. Dia berjalan menuju salah satu mobil yang sudah dihapalnya di luar kepala.Mobil itu mencolok di antara deretan kendaraan lain yang terparkir dingin. Menjadi satu-satunya mesin yang masih menyala, menghembuskan uap tipis ke udara malam yang mulai menggigil. Lampu depannya memantul samar di aspal basah. Menunggu seseorang.Di balik kemudi, Toby duduk diam dengan tangan menggenggam seti. Matanya tak lepas dari bayangan yang mulai mendekat. Langkah-langkah Casa terlihat namun tak terdengar. Sandal jepitnya bersentuhan ringan dengan permukaan beton, dan setiap detik yang berlalu membuat detak jantung Toby semakin tak karuan. Pria itu menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya justru makin tegang saat melihat cardigan coklat muda itu bergerak mendekat, membalut tubuh yang t
Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon
Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di
Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak







