Sudah dua jam Utara duduk di ruang tunggu rumah sakit, memelototi layar ponselnya yang kosong. Eyangnya terbaring di ruang rawat intensif. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi isi kepala Utara? Amburadul.
Rumah sakit itu tidak seharusnya terasa seperti freezer raksasa, tapi begitulah rasanya pagi ini. Dingin, sunyi, dan penuh tekanan. Di ruang tunggu lantai dua, Utara duduk di kursi plastik abu-abu yang tidak pernah terasa cukup nyaman meski dicoba dari segala sudut.
Eyangnya lagi-lagi dilarikan ke rumah sakit semalam setelah kolaps mendadak karena tekanan darah dan komplikasi jantung. Sejak itu, semua orang seketika jadi lebih sensitif. Termasuk orang tuanya yang kini duduk di sisi berlawanan, dengan wajah tak kalah tegangnya.
“Sampai kapan kamu mau diam seperti itu, Utara?” suara Papanya berat, dengan nada bariton yang tak pernah lepas kontrol. “Kamu tahu kan, kamu harus menepati janji yang kamu buat ke Eyangmu?”
Utara tidak menjawab. Tangannya ia tekuk di depan dada, dan matanya jauh turun melihat ujung sepatunya. Bahkan Mamanya yang biasanya lembut kini tampak lebih keras, lebih khawatir daripada biasanya.
“Sejak sebulan lalu, Eyang selalu nanyain gadis itu,” ujarnya tajam. “Pacarmu, nak. Kamu bilang mau bawa dia. Tapi sampai sekarang, nihil.”
“Utara sibuk, Mah” jawab Utara cepat. “Lagian kondisi Eyang juga so far stabil, jadi aku pikir…”
“Itu ide kamu, Tar,” potong Ayahnya. “Kamu yang buat Eyangmu percaya kalau kamu sudah punya seseorang. Bukan kami. Sekarang beliau kambuh, dan kamu terus-terusan kasih kita semua alasan murahan.”
Mereka benar. Dalam sebulan terakhir, Utara hanya berkunjung beberapa kali ke rumah eyangnya. Seperti mandatori semata. Dan setiap kali Eyang bertanya soal wanita itu, dia akan berkelit. Kadang bilang Casa lagi tugas keluar kota, kadang dia yang keluar kota, dan banyak alasan lain. Tidak satu pun dari jawabannya memuaskan orang rumah. Karena memang, dia tidak tahu harus mencari Casa di mana. Itu masalahnya.
Hubungan itu nggak nyata. Satu-satunya kenyataan yang dia ingat hanyalah bagaimana Casa ngomong kalau wanita itu nggak mau lihat mukanya lagi.
Utara nggak punya kontaknya.
Nomor hape? Nggak punya.
Media sosial? Nggak tahu.
Kini, tekanan terasa datang dari semua sisi. Dari orang tuanya yang khawatir, juga dari dirinya sendiri yang mulai dihantui rasa bersalah. Membuatnya panik.
Dalam kepanikan itu, satu nama terlintas.
Damian.
Baginya, kalau ada yang bisa mencarikan Casa untuknya, itu hanya Damian. Pria itu harusnya masih punya jejak yang bisa membawanya ke arah yang selama ini ia hindari.
Maka, sejam kemudian, Utara sudah duduk di kantor Damian. Duduk tanpa permisi di sofa ruang kerja, sementara sahabatnya itu baru balik dari ruang meeting dengan tampang penuh tanda tanya.
“Dude, lo serius nyariin cewek dari acara nikahan gue yang udah sebulan berlalu itu?” Damian narik kursinya, duduk santai tapi alisnya naik sebelah. “Lo tahu kan ada berapa ‘cewek’ yang gue bayar malem itu? Dan lo juga tahu kan ingatan gue sejelek apa?”
“Lo harus inget. Pokoknya yang kali ini lo harus inget!” paksa Utara menuntut.
Damian menatap kosong ke sahabatnya, lalu menggeleng pelan.
“Yang gue inget cuma lo yang sibuk nepak-nepakin tangan cewek-cewek itu. Kenapa sekarang lo nyari lagi sih?”
Utara menelan ludah. “Salah satu cewek itu gua suruh pura-pura jadi pacar gue depan Eyang.”
“What? Lo nyuruh cewek bayaran buat pura-pura depan Eyang lo? Lo sinting sih Ta,” Damian shock nggak habis pikir.
“I know,”
“Kaya nggak ada cewek lain aja buset!”
“Saat itu emang nggak ada,”
“Makanya kalau gue kenalin ke perempuan, iyain aja. Terlalu banyak milih sih lo!”
“Bukan milih, Dam,”
“Terus apa? Lo gay? Menyimpang?”
“Lo gue tonjok ya. Better stop deh sebar-sebar gosip gila kaya gitu. Udah banyak pula yang mulai percaya gue gay,”
“Ya salah sendiri,” Damian menghela napas, malas. “Nih. Gue nggak yakin ini orang yang sama. Tapi paling nggak, dengan hubungin dia, mungkin lo bisa ketemu sama ‘pacar’ lo itu,” jelas Damian sambil mengirimkan satu kontak ke iMessage Utara. Membuat sahabatnya itu sedikit punya harapan.
“Thank you man,”
“Ta…” panggil damian sekali sebelum temannya keluar dari ruangannya.
“Hm?”
“Good luck.”
Utara hanya mengangguk dan berbalik pergi. Siap menghubungi nomor yang kini tengah dia genggam. Kepalanya terus-terusan mengulang satu nama.
“Casa, you better pick up your phone.”
“Please.” Tambahnya lesu.
Utara mendapati Casa serius berpikir setelah kedua orang tuanya pulang. Dia bahkan harus berjinjit agar gadis itu tidak kaget. Atau dia takut Casa mencegatnya? Terbukti saat langkah diam-diamnya nyaris memasuki kamar, dia hampir melompat kala Casa mengatakan sesuatu.“Paris? Honeymoon?” gumam Casa berpangku dagu di meja makan. Matanya seperti melekat pada pria yang rambutnya masih acak-acakan itu.“Bukannya itu mandatory ya buat pasangan yang baru nikah?”“Bahkan untuk yang nikah kontrak doang?”“Nurut aja. Itu kado dari Papa Mama,” ungkap Utara yang merasa perdebatan ini tidak perlu. Toh kalau memang Casa tidak mau dia sentuh layaknya istri pada umumnya, gadis itu tinggal menolak sentuhannya. Bukan kado ini.“Kan kamu bisa bilang kita udah honeymoon, Ta,”“Kapan? Nggak mau aku bohong,” jawab Utara tidak terima dan meninggalkan Casa ke kamar. Dia tahu betul, tidak akan menang dia ngomong ke Casa tanpa persiapan yang matang.Mendengar itu, mata Casa lagi-lagi terbelalak. Nggak mau bohon
Kalau sebuah hubungan diawali dengan sebuah kebohongan, apakah bisa berakhir baik? Apa itu bahkan bisa disebut sebuah hubungan?Banyak cara untuk memulai suatu hubungan memang. Tapi saat ini, yang bisa Casa pikirkan hanya cara-cara yang baik. Ada yang memulai sebagai teman. Ada yang memulai dari perjodohan.Lantas, bagaimana dengan penipuan? Dari kebohongan? Dari sebuah kesepakatan yang tertuang di selembar kontrak yang ditandatangani dua manusia yang tidak punya rencana untuk saling jatuh cinta ke depannya?Casa menghela nafas pelan. Takut membangunkan Utara yang tertidur memeluknya.Kepalanya malam ini tidak seberisik biasanya. Tenang. Sangat tenang hingga dia nyaman. Tidak menyangka bersentuhan dengan Utara bisa membuatnya setenang itu.Hanya satu pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar.Hubungan seperti apa ini?Apakah mereka boleh bersentuhan semanis ini?Apakah mereka boleh senyaman ini?No, apa dia boleh senyaman ini?Semakin gadis itu berusaha menyimpulkan jawaban, semakin di
Casa duduk manis di kursi. Mempersilahkan Utara menyajikan pasta di piringnya. Walaupun masih deg-degan karena tadi tiba-tiba digendong, kewarasannya langsung kembali setelah mencium aroma masakan yang dihidangkan suaminya itu.“Makan,” titah Utara.Tanpa sungkan dan tanpa takut diracun, Casa langsung menyuapkan segulung spageti ke dalam mulutnya. Dia mengunyah pelan dan penuh penghayatan. Menikmati setiap gigitan, hingga berhasil tertelan semuanya.Lambungnya ingin berteriak kalau itu enak. Tapi gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan atau mengatakan hal yang berlebihan.“Enak?” tanya Utara penasaran.“Hm. Lumayan. Ketelen,” jawab Casa tenang, melanjutkan suapan-suapannya.“Bagus deh.” Utara menatap gadis itu erat. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tahan. Dia nggak mau Casa berhenti makan hanya karena kesal dengan omongannya. Dan tenyata, Utara suka melihatnya makan. Terlihat lahap. Membuatnya tidak bisa menahan senyum senangnya. Hingga dia lebih asik menonton wanita itu mak
Kekesalan Utara menjadi-jadi saat Casa tidak juga menjawab chatnya. Gadis itu bahkan masih sibuk ngobrol dan tidak mengambil hp yang entah dia simpan dimana.Dan kekesalan itu ternyata berlarut-larut hingga jam pulang kerja, hingga dia menjemput Casa di kantornya, hingga mereka ke kostan ngambil barang Casa sebelum akhirnya kembali ke unit, Utara masih kesal. Literally sepanjang perjalanan. Nggak sekalipun dia ngajak Casa ngomong.Lantas tanggapan Casa gimana?Gadis itu sama diamnya. Dia nggak tahu dia salah apa, tapi apapun alasan Utara mendiaminya, Casa yakin semua berasal dari pikirannya sendiri. Dan dia nggak tertarik buat nanya. Walaupun kesabarannya setipis tissu. Walaupun tiap detik emosinya serasa ingin meledak di muka Utara.Casa menatapnya lekat saat mereka keluar dari lift. Menuju unit Utara. gadis itu sengaja berjalan lebih lambat hanya agar dia bisa mengamati pria itu.Apa dia bipolar?Atau emang gila aja?Dan banyak lagi pertanyaan lain yang muncul di benaknya saat melih
Pak, kita ketemu di kantor saja.Saya bisa berangkat sendiri.Terima kasih untuk tawarannya.Setelah membalas chat singkat bosnya, Casa cepat-cepat mandi dan berangkat. Menjalani hari seperti biasanya, tapi hatinya penuh pertanyaan. Apakah sikap Utara kini berubah? Lebih hangat? Dia penasaran.Langkanya melebar. Berusaha menyamai langkah seseorang di depan sana. yang baru juga memasuki lobby dengan penampilan yang nyentrik seperti biasa. Kalau bajunya merah, tasnya juga mesti warna merah.“NAT!” sapanya ngos-ngosan. “Bisa nggak lo kalau jalan tuh pelan-pelan aja?”“Nggak bisa. Gue udah telat. Nambah satu aja absen jelek gue, bisa potong gaji. Ogah!”“Nggak bakal potong gaji,” sambung Casa masih berusaha menyamai langkah Nata yang entah kenapa bisa secepat itu padahal lagi hamil gede.“Ya itu mah lo. Kesayangan Pak Toby. Lah gue?”“Kesayangan apa ih! Ntar orang denger malah mikir yang nggak-nggak,” hardik Casa sambil melihat sekeliling.“Di gedung ini? Giiiiiirl, siapa yang nggak tahu
Utara masuk ke bawah selimut Casa dengan gerakan pelan, nyaris ragu. Tangannya sempat berhenti di pinggiran kain, seolah menimbang ulang keputusan yang sudah separuh jalan itu. Tapi tubuhnya terus bergerak.Casa bisa merasakan setiap gesekan kecil di antara mereka. Bunyi halus kain yang bergeser, aroma samar dari kulit Utara yang hangat, dan bagaimana udara di antara mereka berubah, akrab.Ada keraguan di mata Utara, tapi bukan keraguan yang membuatnya mundur. Justru sebaliknya, keraguan itu seperti bara yang menyala pelan. Dan anehnya, meski sedikit gamang, tiap gerakannya terasa pasti. Seolah tubuhnya tahu persis harus apa, kapan, bagaimana, ke siapa.Sedang Casa tidak bergerak. Dia hanya menatap, membiarkan detik-detik itu mengulur, membiarkan jarak di antara mereka menyusut tanpa satu pun kata. Dan saat Utara akhirnya berbaring di sampingnya, dengan napas yang sedikit lebih cepat dari biasanya, dunia terasa mengecil. Hanya ada selimut dan mereka berdua.“Loh?”“Aku mau tidur sama i