Share

EMPAT

Author: brokolying
last update Huling Na-update: 2025-07-04 19:09:32

Sudah dua jam Utara duduk di ruang tunggu rumah sakit, memelototi layar ponselnya yang kosong. Eyangnya terbaring di ruang rawat intensif. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi isi kepala Utara? Amburadul.

Rumah sakit itu tidak seharusnya terasa seperti freezer raksasa, tapi begitulah rasanya pagi ini. Dingin, sunyi, dan penuh tekanan. Di ruang tunggu lantai dua, Utara duduk di kursi plastik abu-abu yang tidak pernah terasa cukup nyaman meski dicoba dari segala sudut.

Eyangnya lagi-lagi dilarikan ke rumah sakit semalam setelah kolaps mendadak karena tekanan darah dan komplikasi jantung. Sejak itu, semua orang seketika jadi lebih sensitif. Termasuk orang tuanya yang kini duduk di sisi berlawanan, dengan wajah tak kalah tegangnya.

“Sampai kapan kamu mau diam seperti itu, Utara?” suara Papanya berat, dengan nada bariton yang tak pernah lepas kontrol. “Kamu tahu kan, kamu harus menepati janji yang kamu buat ke Eyangmu?”

Utara tidak menjawab. Tangannya ia tekuk di depan dada, dan matanya jauh turun melihat ujung sepatunya. Bahkan Mamanya yang biasanya lembut kini tampak lebih keras, lebih khawatir daripada biasanya.

“Sejak sebulan lalu, Eyang selalu nanyain gadis itu,” ujarnya tajam. “Pacarmu, nak. Kamu bilang mau bawa dia. Tapi sampai sekarang, nihil.”

“Utara sibuk, Mah” jawab Utara cepat. “Lagian kondisi Eyang juga so far stabil, jadi aku pikir…”

“Itu ide kamu, Tar,” potong Ayahnya. “Kamu yang buat Eyangmu percaya kalau kamu sudah punya seseorang. Bukan kami. Sekarang beliau kambuh, dan kamu terus-terusan kasih kita semua alasan murahan.”

Mereka benar. Dalam sebulan terakhir, Utara hanya berkunjung beberapa kali ke rumah eyangnya. Seperti mandatori semata. Dan setiap kali Eyang bertanya soal wanita itu, dia akan berkelit. Kadang bilang Casa lagi tugas keluar kota, kadang dia yang keluar kota, dan banyak alasan lain. Tidak satu pun dari jawabannya memuaskan orang rumah. Karena memang, dia tidak tahu harus mencari Casa di mana. Itu masalahnya.

Hubungan itu nggak nyata. Satu-satunya kenyataan yang dia ingat hanyalah bagaimana Casa ngomong kalau wanita itu nggak mau lihat mukanya lagi.

Utara nggak punya kontaknya.

Nomor hape? Nggak punya.

Media sosial? Nggak tahu.

Kini, tekanan terasa datang dari semua sisi. Dari orang tuanya yang khawatir, juga dari dirinya sendiri yang mulai dihantui rasa bersalah. Membuatnya panik.

Dalam kepanikan itu, satu nama terlintas.

Damian.

Baginya, kalau ada yang bisa mencarikan Casa untuknya, itu hanya Damian. Pria itu harusnya masih punya jejak yang bisa membawanya ke arah yang selama ini ia hindari.

Maka, sejam kemudian, Utara sudah duduk di kantor Damian. Duduk tanpa permisi di sofa ruang kerja, sementara sahabatnya itu baru balik dari ruang meeting dengan tampang penuh tanda tanya.

Dude, lo serius nyariin cewek dari acara nikahan gue yang udah sebulan berlalu itu?” Damian narik kursinya, duduk santai tapi alisnya naik sebelah. “Lo tahu kan ada berapa ‘cewek’ yang gue bayar malem itu? Dan lo juga tahu kan ingatan gue sejelek apa?”

“Lo harus inget. Pokoknya yang kali ini lo harus inget!” paksa Utara menuntut.

Damian menatap kosong ke sahabatnya, lalu menggeleng pelan.

“Yang gue inget cuma lo yang sibuk nepak-nepakin tangan cewek-cewek itu. Kenapa sekarang lo nyari lagi sih?”

Utara menelan ludah. “Salah satu cewek itu gua suruh pura-pura jadi pacar gue depan Eyang.”

What? Lo nyuruh cewek bayaran buat pura-pura depan Eyang lo? Lo sinting sih Ta,” Damian shock nggak habis pikir.

I know,”

“Kaya nggak ada cewek lain aja buset!”

“Saat itu emang nggak ada,”

“Makanya kalau gue kenalin ke perempuan, iyain aja. Terlalu banyak milih sih lo!”

“Bukan milih, Dam,”

“Terus apa? Lo gay? Menyimpang?”

“Lo gue tonjok ya. Better stop deh sebar-sebar gosip gila kaya gitu. Udah banyak pula yang mulai percaya gue gay,”

“Ya salah sendiri,” Damian menghela napas, malas. “Nih. Gue nggak yakin ini orang yang sama. Tapi paling nggak, dengan hubungin dia, mungkin lo bisa ketemu sama ‘pacar’ lo itu,” jelas Damian sambil mengirimkan satu kontak ke iMessage Utara. Membuat sahabatnya itu sedikit punya harapan.

Thank you man,”

“Ta…” panggil damian sekali sebelum temannya keluar dari ruangannya.

“Hm?”

Good luck.”

Utara hanya mengangguk dan berbalik pergi. Siap menghubungi nomor yang kini tengah dia genggam. Kepalanya terus-terusan mengulang satu nama.

“Casa, you better pick up your phone.”

Please.” Tambahnya lesu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   LIMA

    Ponsel di tangan Utara terasa lebih berat dari biasanya. Ia menatap angka-angka di layar cukup lama, seolah berharap bahwa dengan sekali coba, yang menjawab nanti akan langsung berkata: Halo, ini Casa.Tapi tentu tidak semudah itu.Dering pertama berlalu.Kedua…Ketiga..Empat…Perut Utara mulai mules karena gugup.“Halo? Siapa nih?”Bukan suara Casa. Yang ini sedikit lebih ramah di kuping Utara.“Uhm, maaf. Ini nomornya Casa kan?”“Well, itu tergantung kamu siapa,” balas suara itu dramatis.“Utara. Saya dikasih nomor ini sama Damian.”“Damian? Hm. Tadi nama lo siapa?”“Utara,”“Oooooh jadi lo? Berani banget lo nyari Casa. Apalagi setelah lo bikin dia marah semarah-marahnya,” jelas wanita di ujung telepon itu.“Gue tahu. Tapi ini penting. Darurat. Gue butuh bantuan dia,” usaha Utara meyakinkan.“Kalo darurat, panggil ambulans. Telpon Damkar. Jangan nyari temen gue!” makin kesini, nada itu makin ketus.“Gue nggak mau nyari ribut sama lo. Gue cuma butuh ngomong ke Casa. Gini aja. Lo kas

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   EMPAT

    Sudah dua jam Utara duduk di ruang tunggu rumah sakit, memelototi layar ponselnya yang kosong. Eyangnya terbaring di ruang rawat intensif. Dokter bilang kondisinya stabil, tapi isi kepala Utara? Amburadul.Rumah sakit itu tidak seharusnya terasa seperti freezer raksasa, tapi begitulah rasanya pagi ini. Dingin, sunyi, dan penuh tekanan. Di ruang tunggu lantai dua, Utara duduk di kursi plastik abu-abu yang tidak pernah terasa cukup nyaman meski dicoba dari segala sudut.Eyangnya lagi-lagi dilarikan ke rumah sakit semalam setelah kolaps mendadak karena tekanan darah dan komplikasi jantung. Sejak itu, semua orang seketika jadi lebih sensitif. Termasuk orang tuanya yang kini duduk di sisi berlawanan, dengan wajah tak kalah tegangnya.“Sampai kapan kamu mau diam seperti itu, Utara?” suara Papanya berat, dengan nada bariton yang tak pernah lepas kontrol. “Kamu tahu kan, kamu harus menepati janji yang kamu buat ke Eyangmu?”Utara tidak menjawab. Tangannya ia tekuk di depan dada, dan matanya j

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TIGA

    Casa duduk rapi di kursinya diam seribu bahasa. Dia bahkan meneguk jus apel dari pramugari tadi dalam sekali teguk karena gugup. Sedangkan manusia di sebelah kirinya tidak henti menatapnya tajam sejak tadi berulang kali.Dari semua orang yang bisa secara kebetulan duduk di sampingnya, entah alasan apa Tuhan mengirim dia.Dan lucunya apa? Kali ini dia bahkan nggak bisa memaki karena sudah berbuat semaunya lebih dulu. Yang tersisa hanyalah diam, meratapi nasib sambil berdoa agar tidak terjadi turbulensi lagi, dan pesawat itu lekas mendarat secepatnya.Dan berhasil.Saat pesawat itu baru saja mendaratkan semua bannya, dengan gerakan serba pelan, Casa melepaskan seat belt-nya tanpa menengok ke kiri sekalipun.Di kepalanya terus terulang gambaran bagaimana tadi dia menarik tangan itu tanpa izin dan meremasnya keras. Casa menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit kencang berharap ingatan memalukan itu terlempar keluar dari otaknya.“Sepertinya kamu sudah keterlaluan ngikutin saya sampai segin

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DUA

    Udara pagi itu menyelinap masuk dengan begitu lembut, seolah takut mengganggu dunia yang masih terlelap. Sinar matahari juga tidak mau kalah, memancar hangat dari balik tirai tipis yang melambai manja, membentuk siluet keemasan di seluruh ruangan. Sedang di atas ranjang berlapis seprai putih yang rapi, Casa masih terlelap. Menikmati sisa-sisa mimpi yang akan segera dia lupa ketika membuka mata.Tubuhnya terbungkus selimut, satu lengannya menjulur santai seolah enggan terlepas dari kenyamanan. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, lalu sebagian lain jatuh menutupi pipinya yang diterpa lembut cahaya matahari Bali. What a cuti, katanya.Tirai tembus pandang di sisi lain kamar itu juga mengayunkan mimpi yang belum sepenuhnya usai. Di balik kaca jendela besar, langit pagi Bali terbentang hangat. Segalanya terasa lambat di ruangan itu. Di kota itu.Tak ada suara bising, tak ada hiruk pikuk. Hanya hembusan udara segar, aroma seprai linen bersih, dan cahaya pagi yang menari di permukaan ku

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SATU

    “Kalaupun bisa memilih, saya juga nggak bakal mau menikah dengan perempuan yang tidak bisa menghargai dan menjaga harga dirinya sendiri.”Mendengar kalimat yang terdengar barusan, mulut Casa reflek menganga, hampir menyentuh meja makan di hadapannya. Matanya melotot lurus menatap seorang pria yang masih menikmati irisan wagyu ribeye yang baru saja dia suapkan ke dalam bibirnya yang hampir dia lempari gelas itu.“Untuk ukuran manusia yang nggak bisa jaga omongannya sendiri, kamu lumayan berani buat komentarin orang lain ya?” balas Casa penuh emosi.“Loh memangnya ada yang salah dari kalimat saya tadi? Saya hanya ngomongin fakta kok,” sanggahnya tidak merasa terancam sedikitpun.“Manusia jelek sok tahu!” crocos mulut Casa tanpa ampun. Dia tiba-tiba kehilangan selera makan. Padahal beberapa menit yang lalu, dia lapar selapar-laparnya. Di kepalanya sudah dipenuhi dengan visual Farfalle alla Rose yang hangat, gurih dan creamy.“Memangnya kamu cantik, berani ngatain saya jelek?”“BANGET. Ca

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status