Share

Kau Suami yang Menyedihkan

"Ini nomor majikanmu, 'kan?" kata Bianca sembari memperlihatkan nomor Eduardo.

Penjaga itu ternganga, lalu menjawab, "Ya, benar."

"Baguslah. Kalau begitu, biarkan aku masuk, jangan buat Eduardo menunggu terlalu lama. Atau ... dia akan memecatmu karena menganggu kesenangannya," kata Bianca penuh penekanan.

Penjaga tersebut lantas mengangguk patuh, membiarkan Bianca lolos dari penjagaannya.

Bianca melenggang santai memasuki pekarangan rumah Eduardo. Bibirnya tersenyum miring menyeringai, memikirkan apa yang telah ia perbuat kemarin pada ponsel Eduardo Martinez ketika ia memeriksa foto-fotonya yang masih belum dihapus oleh pria itu.

Pesan tadi, Bianca sendiri yang mengirimkannya ke nomornya sendiri kemarin. Karena wanita itu tahu, bahwa nanti, itu akan berguna dan ternyata ... dugaannya sama sekali tidak meleset.

Terimakasih untuk otaknya yang cemerlang ini.

Pintu utama tidak terkunci dari dalam, membuat Bianca tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rumah itu. Pemandangan seorang pria yang tengah tertidur di sofa adalah hal yang pertama kali ia lihat, membuat wanita itu tersenyum senang.

Mangsa sudah di depan mata!

Segera saja, Bianca menutup pintu utama rumah itu dan menguncinya dari dalam. Mencegah hal-hal yang nantinya akan menganggu kegiatannya, masuk dan mengacaukan rencananya.

Begitu tiba di hadapan Eduardo yang kini tertidur dengan menyisakan kemeja saja, Bianca terdiam. Pemandangan ini juga sering ia lihat ... dulu. Bianca membuang napas kasar, lalu sekuat tenaga menghalau segala kilas balik memori yang tiba-tiba menghantam dirinya hanya karena menatap pemandangan yang sama. Mungkin, hanya orangnya saja yang berbeda.

Bianca memincingkan mata melihat wajah damai pria itu yang tampak tidak nyaman dalam tidurnya. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri untuk meletakkan telapak tangannya di kening Eduardo lalu tersentak kala mendapati tubuh pria itu terasa hangat.

Bianca menaikkan pandangan, meneliti seisi rumah besar itu, mencari di mana letak dapur berada.

Tanpa kata, wanita itu akhirnya berjalan menuju tempat yang ia yakini adalah dapur tersebut.

***

Bianca menggantungkan tangannya yang hendak menuangkan sesuatu pada gelas panjang berisi air putih tersebut.

'Tidak, Bianca! Dia sedang sakit, apa kau tega melakukan hal itu padanya saat kondisi seperti ini?' sisi malaikat dan kemanusiaan di hati Bianca yang selama beberapa tahun terakhir sejak kejadian mengenaskan itu menghancurkan dirinya kembali muncul ke permukaan.

'Jangan bodoh! Kau adalah Bianca Ruiz, sekarang. Bukan Joyce Sanchez yang dulu, Bianca! Semakin cepat ia masuk ke dalam perangkapmu, maka kau akan selangkah lebih dekat melihat kehancuran dari wanita ular yang mengancurkanmu dulu. Jangan menyia-nyiakan kesempatan,' bisik sisi iblis membara, menyala-nyala memprovokasi Bianca.

"Ya. Aku bukan lagi Joyce! Sekarang aku adalah Bianca Ruiz!" tekan Bianca pada dirinya sendiri.

Namun, yang ia katakan malah berbanding terbalik dengan gerakan tubuhnya yang malah meletakkan kembali botol berisi cairan perangsang berwarna bening itu dengan kasar di atas meja.

"Argh! Sudahlah. Besok-besok aku tidak akan melewatkannya lagi," kesal Bianca pada dirinya sendiri.

Akhirnya, wanita itu pun lantas kembali memasukkan obat perangsang tersebut ke dalam tas tangannya.

***

Bianca sudah kembali di ruang tengah dengan nampan yang di atasnya terdapat segelas air dan beberapa butir obat yang tadinya ia beli di apotik.

Wanita itu meletakkan nampan tersebut di atas nakas lalu menatap Eduardo yang masih belum sama sekali membuka mata.

Bianca mendecih pelan menatap pria itu yang mengingatkannya pada seseorang di masa lalunya.

"Sial! Sial! Bisakah kau tidak membuatku mengingat masa lalu lagi? Gara-gara kau, aku jadi membatalkan niat awalku," desis Bianca sebal pada Eduardo yang tampak tidak berdosa dalam tidurnya. Wanita itu membuat gerakan tangan seolah-olah ingin mencekik Eduardo saat itu juga, jika tidak ingat pria di hadapannya adalah objek yang menjadi sasaran balas dendam yang pas untuk menghancurkan Isabell.

Bianca meraup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar. Wanita itu lantas mendekati Eduardo dan duduk di samping pria itu. Bianca memandangi wajah pria di sampingnya sebentar.

"Kau memang tidak salah, tapi kau sudah salah memilih istri sehingga aku menjadikanmu sebagai sasarannya, Eduardo Martinez," gumam Bianca tanpa melepas tatapan sedikitpun dari wajah pria itu.

Setelah beberapa saat, Bianca akhirnya mengguncangkan tubuh Eduardo pelan.

"Bangun, hei," panggil Bianca.

Tak lama, pria itu nampak membuka mata dan mendapati Bianca yang berjarak sangat dekat dengannya. Ekspresi pria itu seperti baru saja melihat hantu, Eduardo segera memundurkan tubuh memberi jarak secepat kilat dengan mata melotot.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" desis pria itu tajam.

Bianca memutar bola mata sembari mendecih sumbang memikirkan niat awalnya kemari yang menjadi gagal karena ternyata sisi kemanusiaannya kali ini menang.

"Niatnya ingin menodai pernikahanmu dengan istri tercintamu itu sepenuhnya. Tapi kau malah sedang terkapar lemah seperti ini," kekeh Bianca sarkas.

Bianca melirik kecil ke arah nampan yang berisi air putih dan obat-obatan di atas meja.

"Minumlah obat-obatan itu. Setelah kau sembuh, aku akan kembali menemuimu," ucap Bianca dengan senyum miringnya. Sementara mata Eduardo langsung memincing curiga pada air putih yang diberikan wanita itu.

Wanita itu lantas mengambil gelas berisi air putih, lantas meneguk isinya seperempat gelas dan kembali meletakkannya di tempat semula.

"Untuk meyakinkan bahwa kau tidak aku racuni dengan air putih itu," ucap Bianca mengatakan maksud tindakannya barusan.

Lalu, tanpa aba-aba, wanita itu segera memajukan tubuh, menempelkan bibirnya pada bibir Eduardo dan mengulumnya sekilas.

"Sampai jumpa lagi, Eduardo Martinez," bisik Bianca setelah menyudahi pagutannya.

Wanita itu segera bangkit dari tempatnya, mulai berjalan menjauh meninggalkan Eduardo yang masih mematung dengan segala kejadian tiba-tiba itu.

Belum sampai beberapa langkah, Bianca menghentikan langkahnya tanpa berbalik.

"Oh, aku turut prihatin dengan kau yang bahkan saat sakit seperti itu tidak mendapat perhatian dari istrimu. Kau bisa lihat, 'kan seberapa besar Isabell mencintaimu," kata Bianca mencemooh, setelahnya dalam sekejap ia sudah meninggalkan rumah besar itu.

Eduardo terhenyak kala kalimat menusuk Bianca cukup menyentil egonya. Brengsek! Wanita itu benar-benar bermulut tajam. Namun, tubuhnya yang lemas membuat Eduardo tidak dapat meneriaki wanita itu untuk menjaga ucapannya.

Tatapan Eduardo tertuju pada obat di hadapannya. Isabell bahkan tidak pernah menyiapkan hal seperti ini jika Eduardo merasa tidak enak badan seperti sekarang. Istrinya itu selalu sibuk dengan rumah sakit dan karirnya sebagai seorang dokter spesialis yang sangat dibutuhkan di tempat ia bekerja.

Eduardo menepis segala pikiran-pikirannya. Ia menatap obat itu sekali lagi, dan menghela napas karena ia memang membutuhkannya saat ini.

Eduardo lantas meraih dua butir obat tersebut dan juga gelas panjang yang menyisakan tiga perempat lagi air putih di dalamnya.

Tanpa kata, pria itu akhirnya meminum obat tersebut dengan pikiran yang tak lepas dari wanita yang memberinya obat ini.

"Enyahlah dari pikiranku, Bianca!"

Dan untuk pertama kalinya, Eduardo menggantikan nama jalang yang selalu ia lemparkan pada wanita penggoda itu dengan memanggil namanya sendiri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status