Share

Kau Tidak Boleh Bahagia!

"Ada apa, Eduardo? Apa yang terjadi?" Isabell yang sudah bangkit dari duduknya lantas hendak mendekati suaminya itu.

"Berhenti di sana!" Eduardo tanpa sadar membentak. Meminta Isabell untuk tidak menghampirinya, atau jalang yang tengah bersembunyi di kolong meja itu akan ketahuan.

Bianca tersenyum congkak di bawah sana kala mendapati Isabell mendapat bentakan dari suaminya sendiri. Ingin sekali ia keluar dari sana dan menunjukkan diri pada Isabell, serta sangat ingin melemparkan senyum mengejeknya.

Namun, tidak sekarang. Ia harus benar-benar berhasil menjerat Eduardo dengan tubuhnya dulu, hingga jika nanti ia menunjukkan diri, ia tidak akan kalah dengan orang yang sangat ia benci itu.

Tunggu. Ia akan menunggu sampai saat Eduardo jatuh terlalu dalam pada tubuhnya, menghancurkan hubungan Isabell dengan suami tercintanya itu, lalu menendang keduanya setelah berhasil membuat mereka lebur berkeping-keping seperti dirinya dulu.

"Maaf, aku hanya terlalu pusing," ralat Eduardo cepat melihat wajah istrinya yang mulai berkaca karena dibentak sedemikian rupa untuk pertama kalinya.

Isabell akhirnya menghela napas lega. Eduardo tidak benar-benar membentaknya.

"Kau masih harus bekerja, 'kan? Aku sudah selesai makan. Kau bisa kembali ke rumah sakit sekarang," ucap Eduardo lembut.

***

"Kau sangat pandai menyembunyikan jalang sepertiku, Eduardo. Apa kau sudah terbiasa sebelum ini?" tanya Bianca sembari bertepuk tangan ketika sudah keluar dari persembunyiannya.

Isabell baru saja angkat kaki dari sana satu menit yang lalu.

"Pergilah! Dan jangan menemuiku lagi! Juga, jangan kirimkan foto-foto murahanmu padaku lagi!" bentak Eduardo pada Bianca sembari mengancingkan kembali resleting celananya.

Bianca menaikkan sebelah alis, tangannya dengan sigap meraih ponsel Eduardo di atas meja dan meraih jari Eduardo untuk membuka screen touch id pada ponsel pria itu dengan lihai.

Eduardo bahkan belum sempat meraih ponselnya dari Bianca.

Bianca mencari-cari sesuatu dan terkekeh sinis ketika menemukan yang ia cari.

"Foto-foto murahan? Tapi kau masih menyimpannya dengan baik di ponselmu, Eduardo. Kau menikmati foto murahan ini, bukan?" ejek Bianca mencemooh, tangannya dengan santai mengscroll-scroll layar melihat berbagai gambar dengan bermacam-macam pose yang ia kirimkan.

"Sebenarnya apa maksudmu mengirim foto-foto itu? Kita bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya! Katakan apa tujuanmu sebenarnya," tekan Eduardo tajam, tangannya segera merampas ponselnya yang sibuk diinvasi oleh wanita itu.

Bianca menatap Eduardo dengan bersedekap dada. Tatapan yang tadinya menggoda kini berubah nyalang. Matanya tampak berapi-api menatap pria di hadapannya.

Bianca maju selangkah. Menumpukan kedua tangannya pada pundak Eduardo.

"Aku membenci istrimu! Sangat membencinya, sampai aku bahkan akan mengorbankan apapun untuk melihat kehancurannya. Dan kehancurannya adalah dirimu, Eduardo. Jadi ... bersiap-siaplah menjadi alasan kesakitan istri tercintamu itu."

"Tidak akan!"--bantah Eduardo cepat--"Itu tidak akan terjadi! Kau tidak akan ku biarkan menang. Apapun alasanmu membenci Isabell, aku akan tetap berada di pihaknya. Aku mencintainya," tegas Eduardo menatap tajam pada Bianca.

Mendengar kalimat pria itu, Bianca dibuat mengeluarkan kekehan sumbangnya, "Tapi kau juga mencintai tubuhku, Eduardo. Mari kita lihat, kau akan lebih memilih cintamu yang membosankan itu ... atau tubuhku yang menggairahkan dan selalu bisa membuatmu mengerang kenikmatan. Bahkan, hanya dengan melihat fotoku saja," bisik Bianca skeptis.

Mengusap pelan dada Eduardo sebelum berbalik pergi dari sana tanpa berbalik lagi pada pria itu.

Eduardo menatap kepergian wanita yang baru kali ini setelah sekian lama tidak ia temui di dunia nyata itu. Bianca Ruiz. Wanita penggoda yang berencana membuatnya dan Isabell hancur? Eduardo tidak akan membiarkannya.

Tapi, apa dia bisa menolak pesona menggairahkan Bianca?

***

Bianca memasuki rumah yang baru saja ia beli di salah satu sudut kota di Barcelona. Besar dan cukup mewah. Beberapa pelayan tampak sibuk mengurus barang-barang Bianca yang dibawa dari Los Angeles.

"Apa kau sudah mengetahui siapa yang menghuninya saat ini?" tanya Bianca pada Luke tanpa menatap pria di belakangnya itu. Mata wanita itu malah fokus menatap hamparan laut buatan dari balik jendela kaca besar di hadapannya. Laut buatan yang tepat berada di sisi kanan rumahnya itu.

"Hanya sepasang paruh baya yang sudah renta, Nona."

Bianca menarik sedikit sudut bibirnya, "Itu lebih bagus, bukan? Kau bisa lebih mudah meminta mereka untuk pergi dari sana dan memberi uang kompensasi yang setara," katanya.

"Seharusnya seperti itu, Nona. Tapi mereka sama sekali tidak berniat meninggalkan rumah itu. Bahkan saya sudah menawarkan harga yang lebih dari harga rumah itu," jelas Luke pada sang majikan.

"Tua renta tidak berguna!" umpat Bianca kesal.

"Aku tidak peduli, Luke! Apapun yang terjadi, kau harus bisa mengambil rumah itu dari mereka," tegas Bianca tidak mau tahu. Ia berbalik, menatap Luke tajam sebelum berjalan anggun meninggalkan asisten pribadinya yang sibuk berkelit dengan pikirannya sendiri. Memikirkan titah majikannya itu.

***

Bianca menjelajah kamar barunya. Tidak terlalu luas, tepat seperti apa yang ia inginkan. Tataan kamarnya pun persis seperti apa yang ia perintahkan. Namun, saat menyadari suatu hal yang berbeda, ia segera menghentikan langkah.

Bianca memejamkan mata, menghela napas dalam sebelum membuangnya kasar.

"Pelayan! Pelayan!" panggilnya dengan teriakan yang mampu menembus atmosfer sedemikian rupa.

Dua orang pelayan wanita yang tadinya ia tugaskan untuk membereskan kamarnya kini sudah berada di depan pintu dengan kepala tertunduk takut. Mereka tahu, mereka pasti berbuat kesalahan hingga membuat majikan baru mereka itu berteriak seperti ini.

"Kalian berdua membersihkan kamarku? Aku memerintahkan kalian untuk menyemprotkan aroma citrus di kamar ini! Bukan aroma musk! Apa kalian tidak bisa membedakan wewangian, huh?" cecar Bianca emosi.

Wanita itu membentak kasar. Berubah menjadi singa yang sedang mengamuk.

"Maaf, Nona. Tadi saya salah membeli wewangiannya," sesal salah satu dari mereka.

Bianca menghela napas, berusaha meredam emosinya yang selalu terpancing jika sesuatu yang ia inginkan tidak berjalan sesuai yang ia harapkan. Terutama wewangian ini. Hal yang tidak pernah bisa ia lepas dalam hidupnya.

"Segera beli saat ini juga. Aku mau citrus dan harus citrus. Tidak yang lain," tegas Bianca sembari meletakkan beberapa lembar uang euro pada si pelayan yang mengaku salah tadi.

"Pergilah," katanya lagi.

Bianca mendudukkan dirinya di kasur king size miliknya di tengah ruangan itu. Dadanya naik turun terengah. Emosi kembali menjalarinya dan Bianca selalu susah mengontrol emosinya sendiri jika berkaitan dengan masa lalu, atau seseorang di masa lalu.

Tak lama, Bianca menggigit bibirnya menahan tangis yang kini hendak turun di pelupuk matanya. Berbagai memori kembali terputar ketika ia sedang sendiri seperti saat ini. Memori bahagia sekaligus menyakitkan membayangi setiap harinya. Membuat wanita itu sangat sulit untuk melanjutkan hidupnya.

"Aku merindukanmu, Demetrio. Aku merindukanmu. Joyce-mu merindukanmu," lirihnya sembari meluruhkan tubuh ke lantai.

Punggungnya ia sandarkan pada pinggiran tempat tidur sementara wajahnya kini ia sembunyikan di lipatan lututnya.

Wanita itu menangis terisak, menyayat hati seseorang yang mendengarnya. Sisi lain yang tersembunyi dari seorang Bianca Ruiz menunjukkan diri kali ini.

Tak lama, kejadian itu berputar dalam ingatannya.

"Argh! Kau sialan, Isabell! Kau tidak boleh bahagia, sama sepertiku," raungnya keras.

Bianca memegangi kepalanya yang terasa semakin sakit kala kejadian itu terjadi berulang-ulang di kepalanya.

"Kau harus kehilangan Eduardo, Isabell. Sama seperti kau yang merenggut Demetrio," lirih Bianca sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya. Terjatuh di lantai yang dingin itu dengan lemah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status