"Mama ..." Tangan Er terulur ke depan. Napasnya memburu dan bulir keringat membanjiri pelipisnya. Kulit wajahnya yang kemerahan berubah pucat Mimpi buruk itu kembali muncul dalam tidurnya, berulang seperti roda film yang terus berputar di kepalanya.Pak Hasan langsung menerobos masuk ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan anak kecil itu. Seorang wanita paruh baya ikut serta masuk bersamanya.Pak Hasan menatapnya dengan cemas lalu mulai bertanya, "Ada apa, Er? Apa kamu mimpi buruk lagi? Apa yang kamu lihat?" Erlangga mengangguk kuat. Ia lantas menyahut dengan dengan napas tersengal, "Er mimpi Mama. Mama menangis sambil minta tolong, Pak. Er lihat Mama terbaring di sana.. Tubuhnya penuh dengan darah." Isaknya masih terdengar sesekali di sela napasnya. Ada rasa takut terpancar dari sorot matanya.Pria tua itu menghela napas gusar memikirkan perkataan Erlangga. Kemudian kembali bertanya, "Apa kamu juga melihat orang lain di dalam mimpimu tadi?" Ia mencoba menggali sedikit informasi. Pa
Er membeku seketika.Melihat perubahan di wajah anak itu, Bu Hasan segera memeluknya.Wanita itu khawatir bila Erlangga akan menangis histeris karena trauma berat yang baru dialaminya.Kedua petugas itu berusaha menahan diri mereka. Sebab kasus yang mereka hadapi melibatkan anak kecil sebagai saksi tunggal."Erlangga, Om mohon ... tolong bantu Om. Hanya kamu yang bisa membuat penjahatnya ditangkap. Kamu mau kan kalau mereka dihukum?" Petugas polisi yang satunya berbicara karena mulai kehilangan kesabarannya.Er mengangguk patuh."Bagus. Sekarang kamu cerita sama Om, apa yang terjadi," desaknya.Er menyeka air matanya dan mulai berbicara dengan suara parau, "Er dengar mereka bertengkar dengan Mama. Tante itu berteriak dan memarahi Mama."Kedua petugas itu saling berpandangan. "Mereka?""Iya," sahut Er sesunggukan."Mereka ada berapa orang, Er?" tanya petugas yang lebih tua dengan tidak sabaran. Mereka hampir bisa memecahkan kasusnya jika Erlang
Langit di luar tampak suram padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi.Awan gelap memenuhi cakrawala dan angin berhembus sedikit lebih kuat dibanding hari biasanya.Sekarang sudah memasuki pertengahan semester kedua tahun ini.Erlangga sudah berada di bawah pengasuhan panti asuhan selama lebih dari satu bulan.Dia bahkan harus menahan diri karena harus putus sekolah sementara waktu."Huft ... " Erlangga menghela napasnya.Mata obsidiannya jatuh pada siluet wanita muda berusia tiga puluhan.Rambut panjang bergelombang miliknya berwarna coklat keemasan.Di pangkuannya seorang anak lelaki bertubuh gemuk tersenyum bahagia memandangnya.Begitu polos tanpa beban."Mama, aku rindu padamu ..." Erlangga bergumam, pipinya memerah karena sedih. "Kenapa mereka melukaimu? Kenapa mereka jahat padamu? Ma, aku kesepian enggak ada Mama di sini ...."Erlangga mengusap pipinya yang basah.***"Apa kau sudah berhasil menemukannya?" Suara dingin
"Tuan muda, saya mohon keluarlah ... anda sudah berada di dalam selama seharian. Apa anda tidak lapar?" Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu dengan wajah cemas. Tepat di belakangnya berdiri dua orang pelayan yang membawa masing-masing baki berisi makanan."Berhentilah menggangguku! Aku tidak mau makan!" Suara penolakan terdengar dari dalam kamar.Erlangga sengaja mengunci dirinya sejak mereka tiba di rumah besar itu. Sebuah rumah yang berada di komplek perumahan mewah.Daniel telah membawanya pulang dan menyerahkan Erlangga dalam pengawasan Nyonya Helen.Wanita paruh baya itu adalah seorang kepala pelayan yang sudah mengabdi sangat lama pada keluarga Prabujaya.Dan sekarang, dia ditugaskan untuk mengasuh dan menjaga Erlangga. Termasuk memenuhi segala kebutuhannya."Tuan muda .... saya mohon, Tuan besar akan menghukum kami jika anda masih tidak mau makan," bujuk Helen dengan suara getir.Tak berselang lama, Erlangga akhirnya keluar.Wajahnya pucat karena menahan lapar selama sehar
Daniel membawa Erlangga maju lalu pergi meninggalkannya sendirian bersama Tuannya..Keduanya saling menatap nyaris tanpa kedip.Hawa dingin seketika naik tajam menyelimuti kamar.Erlangga menggigil seakan ditiup angin kutub. Tubuhnya gemetar hingga tak bisa digerakkan saat Lelaki tua di depannya maju selangkah demi selangkah.Hingga akhirnya hanya menyisakan jarak dua langkah.Erlangga mengangkat wajahnya tinggi."Siapa anda?" Erlangga berusaha mengumpulkan keberaniannya.Pikirannya menebak-nebak apakah lelaki tua itu adalah ayahnya atau bukan.Fitur wajahnya terpahat sempurna di bawah silau lampu kristal.Tampan! Sayangnya dia tua.Apa mungkin dia ayahnya? Erlangga menelan ludahnya."Apa kamu putra Olivia?" Suara bariton Prabujaya terdengar berat. Namun, wajahnya terlihat tenang tanpa ekspresi.Erlangga mengangguk, tapi mulutnya terkunci."Berapa umurmu?""Sepuluh tahun," jawab Erlangga singkat.Prabujaya diam beberapa saa
Erlangga terkejut. Ia hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya."Apa Papa serius? Bukankah berbahaya memberikan pernyataan seperti itu? Bukankah kita sudah berjuang agar mereka tidak bisa mendapatkanku? Semua itu akan berakhir sia-sia, Pa."Prabujaya diam, senyum membingkai wajahnya. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan.Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin terlihat berbahaya, tapi harus dilakukan sebelum ajal menjemputnya diusia tua."Apakah kamu sudah melupakan tujuanmu?"Jakun Erlangga menggelinding. "Apa maksudnya?""Kamu akan segera mengetahui semuanya."Erlangga berjalan cepat keluar dari kamar pribadi ayahnya.Seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini adalah Daniel, asisten pribadi Prabujaya.Erlangga menemukannya tengah duduk menyesap kopinya di ruang pantry."Apa yang Paman tahu? Aku ingin dengar semua."Daniel tersedak hingga terbatuk saat tangan Erlangga mendarat di pundaknya dengan agak keras.Dia men
Komplek River Villa.Pukul tujuh tiga puluh malam, beberapa orang mulai terlihat memenuhii ruang tamu.Tuan Prabujaya menyapa para tamu dengan hangat dari atas kursi roda. Seorang pengawal tampak menemani dan mengawasi dengan kewaspadaan.Untuk beberapa saat perhatian mereka teralihkan saat melihat seorang pemuda yang terlihat asing hadir di sana.Hanya segelintir orang yang mengenalinya dan memandangnya penuh takjub saat Erlangga berbaur.Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan dan berjalan ke arah sekumpulan wanita muda yang tersenyum cerah ke arahnya."Apa kita saling kenal? Wajah kamu sepertinya tidak asing untukku." Seorang wanita berambut panjang keemasan menyapanya. Matanya menyala penuh antusias.Bibir kemerahan Er melengkung, giginya yang putih berbaris rapi. "Oh, benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu di suatu tempat," sahut Er mencoba menggodanya hingga membuat wajah sang gadis merona kemerahan."Siapa namamu?" Seorang gadis mulai
Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini."Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?""Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal