Dua orang itu duduk saling berhadapan. Sama-sama diam menunggu siapa yang akan mulai bicara lebih dulu."Bagaimana kabarmu, Nak?" Pria paruh baya itu membenarkan letak kacamata di hidungnya."Saya baik, Pak. Bahkan jauh lebih baik dibanding dulu," jawab Er santai."Ya, saya bisa lihat, kamu sudah banyak berubah sekarang. Sudah tidak seperti anak gendut dengan pipi chuby seperti waktu itu." Purnawirawan polisi itu menengadah, bola matanya berputar. Dia tersenyum saat mengingat kenangan lama tentang Erlangga kecil yang sangat ketakutan saat itu.Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja Erlangga sangat takut.Erlangga yang masih polos selalu waspada pada setiap orang yang datang untuk bertemu dengannya.Bibir Er melengkung."Semua ini berkat Ayahku. Andai saat itu mereka tidak membawa saya pergi dari panti itu, mungkin tidak akan ada saya yang sekarang."Pria tua itu mengangguk setuju kemudian berkata, "Kamu beruntung, Nak. Bagaimana kabar Ayahmu?""Dia baik," sahutnya pendek."Syukurlah
"Untuk apa kamu ke sini? Aku sedang tidak ingin melihatmu." Er duduk di kursinya sambil meraih gelas anggurnya.Rangga menyeringai kemudian mulai berbicara, "Seharusnya aku yang katakan itu padamu. Untuk apa kau datang ke sini? Ini bukanlah rumahmu. Sejak awal tidak ada yang menginginkanmu di rumah ini. Lintah sepertimu tidak pantas menyandang nama baik Prabujaya Pamungkas." Rangga menatapnya dengan dingin.Er tidak membalas ucapannya. Dia menahan kemarahannya hingga membuat wajahnya memerah.Masih merasa tidak puas, Rangga kembali melanjutkan ucapannya untuk memprovokasi Erlangga.Saat ini dia hanya ingin membuat Er terlihat buruk di mata semua orang."Aku dengar Papa memungutmu dari panti asuhan. Apa itu benar? Aku tidak yakin darah seorang Prabujaya mengalir di tubuh kurusmu itu, karena Mamaku tidak pernah melahirkan anak lain selain aku. Dan jika itu benar, berarti kau adalah anak haram Papaku dengan wanita simpanannya yang selama ini berusaha mencuri semua harta milik Papaku yang
Erlangga mengenakan pakaiannya lalu turun ke ruang makan.Raungan suara perutnya yang lapar cukup mengganggu pendengarannya. Sangat memalukan jika ada orang lain yang ikut mendengarnya."Selamat pagi, Pa. Aku minta maaf telah membuat kalian menungguku untuk sarapan. Hari ini aku terlambat bangun karena kepalaku sedikit sakit." Erlangga menyapa ayahnya dengan sopan saat berjalan pelan menuju kursinya."Apa yang terjadi? Apa kamu habis minum semalam?" Prabujaya bertanya."Mm ... " Erlangga mengangguk.Prabujaya menghela napasnya pelan. Matanya teduh memandang Erlangga. Merasa iba dengan dengan keadaan putranya."Apa kamu sudah bertemu dengan Bu Helen?"Erlangga kembali mengangguk. Dia kini tahu alasan dibalik wajah familiar wanita tua itu."Mulai hari ini, Ibu Helen akan tinggal di sini untuk menemanimu. Papa harap kamu bisa bersikap baik padanya.""Aku tahu."Erlangga langsung menyuapkan makanan ke dalam mulutnya karena perutnya mulai kram.Dia tidak perduli hidangan apa yang mereka si
Raut wajah Daniel seketika berubah setelah sebuah panggilan telepon yang diterimanya berakhir.Dia berjalan pelan mendekati meja Prabujaya dan mulai berbicara dengan hati-hati. "Maaf, Tuan ... ada berita buruk ..." kata Daniel lalu diam sejenak untuk mengambil napas dalam, "Tuan Muda saat ini ada di rumah sakit. Seseorang mencoba untuk mencelakainya."Seketika wajah Prabujaya menggelap. Dia memukul meja kerjanya dengan keras hingga membuat seluruh sendi di tubuh Daniel ikut gemetar."Aku sudah perintahkan kau untuk menjaganya. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?" Prabujaya membentak asistennya itu.Rahang Prabujaya mengerat. Dia berjalan keluar dengan tinju yang terkepal kuat.Dengan langkah terburu-buru, Prabujaya mengejar putranya di ruangannya. Kedua matanya merah padam.Suara hantaman tinju Prabujaya terdengar saat beradu dengan wajah Rangga yang masih terlihat agak memar. Pukulan itu kini menambah rasa sakit di wajahnya."Dasar anak sialan! Kenapa kau begitu memalukan? Apa kau h
Liana kembali ke kamarnya. Ponselnya tertinggal di atas meja riasnya.Perasaannya tidak menentu saat ini. Kejadian tadi telah membuatnya sangat khawatir.Liana menekan nomor Rangga dan menghubunginya. Hanya itu yang bisa dia andalkan saat ini."Halo, Nak. Apa Mama mengganggumu?" Liana berkata begitu telponnya terhubung."Tidak. Aku tidak sedang di kantor sekarang?" sahut Rangga di ujung sana.Kening Liana berkerut. "Hei, ini sudah lewat jam makan siang. Apa kamu sedang bertemu dwngan klien? Kalau begitu, Mama akan menutup telponnya.""Bukan begitu. Aku hanya sedang tidak bersemangat hari ini.""Kenapa? Apa kamu ribut dengan Papamu lagi?" tanya Liana khawatir."Tidak ada. Hanya sedikit salah paham saja. Jangan khawatir, aku pasti bisa menyelesaikannya," kata Rangga. Suaranya terdengar sangat meyakinkan."Oh, baiklah. Jangan terlambat pulang karena Mama ingin makan malam bersamamu.""Baiklah. Aku akan mengajak Viona juga.""Hm..." Liana tersenyum hambar, kemudian menutup telponnya.Rang
Dua hari berlalu sejak Erlangga terbaring di ranjang rumah sakit.Pagi ini asisten Prabujaya, Daniel, sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit bersama beberapa orang pengawal.Hari ini Erlangga sudah diizinkan untuk keluar dari rumah sakit setelah dokter menyatakan luka-luka ditubuhnya sudah jauh lebih baik.Prabujaya melihat keluar dari ruang tamu. Dua buah mobil keluar meninggalkan rumah besar di River Villa.Laki-laki tua itu memutiskan untuk tidak ke kantornya hanya untuk memastikan Erlangga kembali dengan selamat.Kali ini, dia lebih waspada setelah serangan mematikan pada Er saat itu. Dia mencurigai semua orang yang berada dekat dengan putranya.Prabujaya bahkan tidak dapat mempercayai para pengawal yang selalu berada di sisi Erlangga selama ini.Laki-laki paruh baya itu berencana mengganti seluruh pengawal Erlangga dengan pengawal baru yang lebih gesit untuk melindunginya.Prabujaya tidak mengerti mengapa penjahat itu masih belum ditemukan hingga kini. Tak seorangpun melih
Erlangga memandangi tubuh telanjangnya sambil berputar di depan cermin setinggi tujuh kaki yang berdiri tegak di depannya.Luka di lengannya meninggalkan bekas yang cukup mengganggu dan itu membuatnya geram.Karir yang dibangunnya dengan susah payah kini harus berada di ujung tanduk karena penjahat itu.Er khawatir luka itu akan mempengaruhi pekerjaannya di masa depan. Belum lagi rasa sakit yang masih dia rasakan setelah benda tajam itu menembus kulit punggungnya.Erlangga meringis menahan sakit setiap kali bekas lukanya berdenyut.Semua orang bersyukur karena perdarahan pada paru-parunya tidak berakibat fatal dan dia dapat diselamatkan.Erlangga berbalik untuk mengambil ponselnya dari atas nakas dan mencoba menelpon seseorang."Halo? Dimana kau?" Er berkata dengan dingin saat panggilannya terhubung."Saya baru tiba di Komplek River Villa, Tuan." Terdengar suara seorang pria menyahutinya dari ujung telpon."Temui aku di kamarku jika kau sudah sampai di rumah. Jika mereka bertanya, ka
"Boleh saya masuk?"Erlangga menoleh ke arah pintu saat Daniel membuka pintu kamarnya."Ya, masuk saja. Ada apa?""Ah, aku hanya ingin melihat keadaanmu. Bagaimana perasaanmu? Sepertinya anda harus menunda pengambilan foto itu untuk sementara." Daniel duduk di ujung ranjang agar Erlangga merasa lebih nyaman berbincang dengannya.Er bisa menebak kemana arah percakapan mereka.Namun, Er akan tetap bertahan pada karirnya sebelum semua penjahat itu memdapat karmanya.Sampai kapanpun, dia tidak akan merasa tenang. Mimpi buruk itu akan selalu datang menghantuinya selama pembunuh itu belum tertangkap dan dihukum."Ya, Paman tidak perlu khawatir. Mereka mengerti keadaanku, jadi ... aku akan kembali ke sana saat aku siap."Kepala Daniel mengangguk pelan. Dia memikirkan kalimat lain untuk ditanyakan."Apa aku boleh tanya sesuatu?""Mau tanya apa?" kata Er datar.Daniel menjawabnya, "Apa anda melihat siapa orang yang telah menyerang anda waktu itu? Mereka mengatakan telah menangkapnya dan membaw