"Mama ..."
Tangan Er terulur ke depan.Napasnya memburu dan bulir keringat membanjiri pelipisnya. Kulit wajahnya yang kemerahan berubah pucatMimpi buruk itu kembali muncul dalam tidurnya, berulang seperti roda film yang terus berputar di kepalanya.Pak Hasan langsung menerobos masuk ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan anak kecil itu. Seorang wanita paruh baya ikut serta masuk bersamanya.Pak Hasan menatapnya dengan cemas lalu mulai bertanya, "Ada apa, Er? Apa kamu mimpi buruk lagi? Apa yang kamu lihat?"Erlangga mengangguk kuat. Ia lantas menyahut dengan dengan napas tersengal, "Er mimpi Mama. Mama menangis sambil minta tolong, Pak. Er lihat Mama terbaring di sana.. Tubuhnya penuh dengan darah." Isaknya masih terdengar sesekali di sela napasnya. Ada rasa takut terpancar dari sorot matanya.Pria tua itu menghela napas gusar memikirkan perkataan Erlangga. Kemudian kembali bertanya, "Apa kamu juga melihat orang lain di dalam mimpimu tadi?" Ia mencoba menggali sedikit informasi. Pak Hasan berharap Erlangga ingat sesuatu."Pak, jangan bicarakan itu lagi. Kasihan Er, biarkan dia istirahat." Wanita itu menimpali saat dirinya duduk di samping ranjang. Ia melihat suaminya dengan tatapan sinis.Pak Hasan diam membisu.Istrinya mencoba mengalihkan pembicaraan mereka untuk menghilangkan trauma anak itu. "Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Itu sudah berlalu, Er. Lebih baik kamu tidur lagi, ini sudah larut malam."Wanita itu lantas mengulurkan tangan mengusap wajah Er, mengeringkan keringat dan air mata yang membasahi wajahnya dengan kain sarung.Erlangga, anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu baru saja kehilangan sang mama dua hari yang lalu.Seorang wanita cantik berkulit kuning langsat itu ditemukan tergeletak tak bernyawa di dalam rumah sederhana yang telah mereka sewa selama hampir delapan tahun.Air mata Erlangga masih saja jatuh berurai tak mampu ditahan. "Er kangen Mama, Bu," ucap Er.Suaranya bergetar karena sedih. Wajah pucatnya memerah, matanya sembab karena menangis.Pak Hasan yang mendengar ikut terharu, tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya."Sudah, jangan sedih lagi. Sekarang kamu harus istirahat, besok Ibu dan Bapak akan temani kamu ke makam Mama mu," janjinya pada Er.Wanita di sampingnya mengangguk kuat setuju dengan ucapan suaminya. "Iya, Er. Ya sudah, Ibu dan Bapak juga harus istirahat."Suami istri itu lantas keluar dari kamar Erlangga dan menutup pintu di belakang mereka.Erlangga menarik napasnya dalam-dalam. Dia sudah merasa lebih tenang sekarang."Ma, Er akan mencari orang yang sudah lakukan ini sama Mama. Er janji akan menghukum mereka semua."***Malam berlalu dan pagi berganti dengan cepat.Pukul tujuh pagi, Erlangga baru saja keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa.Dia menarik baju kaos lengan pendek berwarna putih serta celana panjang darì dalam tas butut miliknya.Sejak kejadian pembunuhan Olivia, Erlangga tinggal bersama keluarga Pak Hasan dan hanya membawa beberapa potong pakaian di dalam tasnya.Sudah dua hari Er tinggal bersama keluarga Pak Hasan."Gimana, Er? Apa kamu sudah selesai?" Suara istri Pak Hasan terdengar dari balik pintu.Erlangga bergegas mengejar pintu dan membukanya dengan lebar.Seulas senyum menghias bibirnya yang berwarna merah muda. "Er sudah siap, Bu," sahutnya.Erlangga terlihat jauh lebih tenang pagi ini."Ayo, sarapan dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kita. Setelah itu Ibu akan mengantar kamu untuk berziarah ke makam Mama mu," ucap Bu Hasan. Wanita paruh baya itu tersenyum tulus.Erlangga mengangguk patuh lalu mengikutinya saat wanita itu berjalan menuju ruang makan.Saat mereka tiba, tampak Pak Hasan bersama dua anaknya yang sudah beranjak dewasa. Ketiganya duduk mengelilingi meja makan."Sini, duduk di samping Kakak aja, Er." Anak sulung Pak Hasan tersenyum lebar sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Er tanpa ragu menarik kursi itu dan duduk di sana.Kelima orang itu makan bersama.Sepuluh menit kemudian, kedua anak Pak Hasan menyudahi makannya dan pergi dengan terburu-buru.Mereka harus bergegas karena letak sekolah mereka berada di desa lain.Tak lama setelahnya, Pak Hasan menyelesaikan makan paginya. Ia harus segera pergi ke kantor kelurahan untuk bekerja.Kini hanya tersisa Erlangga dan istri Pak Hasan.Wanita paruh baya itu menyeka bibirnya dengan serbet lantas bangkit berdiri.Ia menepuk punggung Er dengan lembut seraya berkata, "Habiskan makananmu dengan perlahan. Ibu akan keluar sebentar."Setelah berbicara, ia mulai membereskan piring kotor dari atas meja. Kemudian pergi meninggalkan ruang makan.Er menatap kepergian wanita paruh baya itu dengan mata obsidian miliknya hingga tubuhnya menghilang di balik pintu.Suasana rumah berubah hening.Erlangga bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.Air matanya mulai menetes di pipinya yang tembem. Erlangga menangis. "Mama ...." desisnya pilu.Di depan orang lain, Erlangga mampu tersenyum meski di dalam hatinya sedang terluka.Erlangga berusaha menelan makanannya meski kerongkongannya terasa perih.Hingga lima belas menit berlalu, Er mendengar suara langkah kaki dari arah ruang tamu.Erlangga langsung menggosok kedua matanya, berusaha mengeringkan sisa air mata di kelopak matanya.Dia langsung berpaling ketika sosok bayangan muncul di belakangnya."Er, ada yang ingin bertemu denganmu." Suara Bu Hasan menggema di ruang makan. Ia memandang dua pria yang masuk bersamanya.Erlangga menyeka mulutnya dengan serbet.Ia mendorong piringnya menjauh lalu turun dari kursi."Mereka siapa, Bu?" tanya Er polos. Ia mengangkat dagunya saat menatap dua pria berbadan tegap di depannya.Ada rasa takut di dalam matanya.Bu Hasan menarik napasnya panjang, lalu mulai menjelaskan dengan perlahan, "Mereka adalah Bapak Polisi yang akan membantu kita mencari orang yang telah membuat Mama kamu tiada, Er."Er kembali menatap kedua pria itu kemudian berpaling pada Bu Hasan.Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.***Erlangga duduk di sofa di samping Bu Hasan. Sementara kedua pria itu duduk tegak di depan mereka. Tatapan mereka dingin, tetapi aura wajahnya tampak berwibawa."Nama kamu Erlangga, ya?" Salah satu pria membuka mulutnya memecah keheningan di antara mereka, senyum tulus membingkai wajahnya."Jangan takut! Om ini orang baik, kok," sambungnya lagi.Er diam, kepalanya mengangguk pelan.Tak patah semangat, pria itu kembali bertanya padanya, "Er sudah kelas berapa sekarang?"Erlangga menghisap bibirnya. Dia melihat Bu Hasan yang mengedipkan matanya seolah berkata, "Jangan takut, jawab saja.""Er sudah kelas empat SD," jawab Er. Suaranya sedikit bergetar.Pria itu mengangguk paham.Ia kemudian mengambil buku catatan kecil dari waist bag miliknya dan mulai mencatat sesuatu."Om boleh tanya lagi, nggak?"Er mengangguk lagi.Pria itu menarik napas panjang lalu mulai bertanya dengan hati-hati, "Waktu Mama kamu terluka, Er ada di mana saat itu?"Erlangga mengedipkan matanya saat berusaha mengingat kejadian memilukan itu."Er ada di dapur membantu Mama," sahut Er pelan. Matanya mulai berkaca-kaca karena sedih."Apa kamu lihat apa yang terjadi?" tanya pria itu perlahan.Er mengangguk kuat. Giginya mengerat kuat di dalam mulutnya."Siapa yang melakukannya? Apa kamu melihat pelakunya, Et?"Er membeku seketika.Melihat perubahan di wajah anak itu, Bu Hasan segera memeluknya.Wanita itu khawatir bila Erlangga akan menangis histeris karena trauma berat yang baru dialaminya.Kedua petugas itu berusaha menahan diri mereka. Sebab kasus yang mereka hadapi melibatkan anak kecil sebagai saksi tunggal."Erlangga, Om mohon ... tolong bantu Om. Hanya kamu yang bisa membuat penjahatnya ditangkap. Kamu mau kan kalau mereka dihukum?" Petugas polisi yang satunya berbicara karena mulai kehilangan kesabarannya.Er mengangguk patuh."Bagus. Sekarang kamu cerita sama Om, apa yang terjadi," desaknya.Er menyeka air matanya dan mulai berbicara dengan suara parau, "Er dengar mereka bertengkar dengan Mama. Tante itu berteriak dan memarahi Mama."Kedua petugas itu saling berpandangan. "Mereka?""Iya," sahut Er sesunggukan."Mereka ada berapa orang, Er?" tanya petugas yang lebih tua dengan tidak sabaran. Mereka hampir bisa memecahkan kasusnya jika Erlang
Langit di luar tampak suram padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi.Awan gelap memenuhi cakrawala dan angin berhembus sedikit lebih kuat dibanding hari biasanya.Sekarang sudah memasuki pertengahan semester kedua tahun ini.Erlangga sudah berada di bawah pengasuhan panti asuhan selama lebih dari satu bulan.Dia bahkan harus menahan diri karena harus putus sekolah sementara waktu."Huft ... " Erlangga menghela napasnya.Mata obsidiannya jatuh pada siluet wanita muda berusia tiga puluhan.Rambut panjang bergelombang miliknya berwarna coklat keemasan.Di pangkuannya seorang anak lelaki bertubuh gemuk tersenyum bahagia memandangnya.Begitu polos tanpa beban."Mama, aku rindu padamu ..." Erlangga bergumam, pipinya memerah karena sedih. "Kenapa mereka melukaimu? Kenapa mereka jahat padamu? Ma, aku kesepian enggak ada Mama di sini ...."Erlangga mengusap pipinya yang basah.***"Apa kau sudah berhasil menemukannya?" Suara dingin
"Tuan muda, saya mohon keluarlah ... anda sudah berada di dalam selama seharian. Apa anda tidak lapar?" Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu dengan wajah cemas. Tepat di belakangnya berdiri dua orang pelayan yang membawa masing-masing baki berisi makanan."Berhentilah menggangguku! Aku tidak mau makan!" Suara penolakan terdengar dari dalam kamar.Erlangga sengaja mengunci dirinya sejak mereka tiba di rumah besar itu. Sebuah rumah yang berada di komplek perumahan mewah.Daniel telah membawanya pulang dan menyerahkan Erlangga dalam pengawasan Nyonya Helen.Wanita paruh baya itu adalah seorang kepala pelayan yang sudah mengabdi sangat lama pada keluarga Prabujaya.Dan sekarang, dia ditugaskan untuk mengasuh dan menjaga Erlangga. Termasuk memenuhi segala kebutuhannya."Tuan muda .... saya mohon, Tuan besar akan menghukum kami jika anda masih tidak mau makan," bujuk Helen dengan suara getir.Tak berselang lama, Erlangga akhirnya keluar.Wajahnya pucat karena menahan lapar selama sehar
Daniel membawa Erlangga maju lalu pergi meninggalkannya sendirian bersama Tuannya..Keduanya saling menatap nyaris tanpa kedip.Hawa dingin seketika naik tajam menyelimuti kamar.Erlangga menggigil seakan ditiup angin kutub. Tubuhnya gemetar hingga tak bisa digerakkan saat Lelaki tua di depannya maju selangkah demi selangkah.Hingga akhirnya hanya menyisakan jarak dua langkah.Erlangga mengangkat wajahnya tinggi."Siapa anda?" Erlangga berusaha mengumpulkan keberaniannya.Pikirannya menebak-nebak apakah lelaki tua itu adalah ayahnya atau bukan.Fitur wajahnya terpahat sempurna di bawah silau lampu kristal.Tampan! Sayangnya dia tua.Apa mungkin dia ayahnya? Erlangga menelan ludahnya."Apa kamu putra Olivia?" Suara bariton Prabujaya terdengar berat. Namun, wajahnya terlihat tenang tanpa ekspresi.Erlangga mengangguk, tapi mulutnya terkunci."Berapa umurmu?""Sepuluh tahun," jawab Erlangga singkat.Prabujaya diam beberapa saa
Erlangga terkejut. Ia hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya."Apa Papa serius? Bukankah berbahaya memberikan pernyataan seperti itu? Bukankah kita sudah berjuang agar mereka tidak bisa mendapatkanku? Semua itu akan berakhir sia-sia, Pa."Prabujaya diam, senyum membingkai wajahnya. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan.Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin terlihat berbahaya, tapi harus dilakukan sebelum ajal menjemputnya diusia tua."Apakah kamu sudah melupakan tujuanmu?"Jakun Erlangga menggelinding. "Apa maksudnya?""Kamu akan segera mengetahui semuanya."Erlangga berjalan cepat keluar dari kamar pribadi ayahnya.Seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini adalah Daniel, asisten pribadi Prabujaya.Erlangga menemukannya tengah duduk menyesap kopinya di ruang pantry."Apa yang Paman tahu? Aku ingin dengar semua."Daniel tersedak hingga terbatuk saat tangan Erlangga mendarat di pundaknya dengan agak keras.Dia men
Komplek River Villa.Pukul tujuh tiga puluh malam, beberapa orang mulai terlihat memenuhii ruang tamu.Tuan Prabujaya menyapa para tamu dengan hangat dari atas kursi roda. Seorang pengawal tampak menemani dan mengawasi dengan kewaspadaan.Untuk beberapa saat perhatian mereka teralihkan saat melihat seorang pemuda yang terlihat asing hadir di sana.Hanya segelintir orang yang mengenalinya dan memandangnya penuh takjub saat Erlangga berbaur.Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan dan berjalan ke arah sekumpulan wanita muda yang tersenyum cerah ke arahnya."Apa kita saling kenal? Wajah kamu sepertinya tidak asing untukku." Seorang wanita berambut panjang keemasan menyapanya. Matanya menyala penuh antusias.Bibir kemerahan Er melengkung, giginya yang putih berbaris rapi. "Oh, benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu di suatu tempat," sahut Er mencoba menggodanya hingga membuat wajah sang gadis merona kemerahan."Siapa namamu?" Seorang gadis mulai
Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini."Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?""Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal
Rangga memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara.Rangga mengabaikan ibunya saat berusaha untuk memeluknya ketika menyambut kepulangannya di ruang tamu.Laki-laki itu melewati Liana yang membeku dan langsung naik ke lantai dua."Sialan!" Rangga membanting pintu kamarnya sambil mengumpat, sedetik kemudian tubuhnya jatuh di atas kasur.Wajahnya kusut dengan mata merah padam, dia terlihat sangat kacau.Mata Rangga menatap lurus lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar."Boleh Mama masuk?" Sebuah suara terdengar dari luar bersamaan dengan suara ketukan di pintu kamar."Masuk aja, pintunya tidak terkunci." Rangga menyahut acuh tak acuh.Pintu terbuka dan Liana masuk dengan perlahan lalu kembali menutup pintu.Wanita itu duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan putranya yang terlihat marah. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu mengacuhkan Mama tadi?" Mendengar suara Liana begitu lembut di telinga membuat Rangga mera