Share

DENDAM SANG PEWARIS
DENDAM SANG PEWARIS
Penulis: Yohana dst

Bab 1

"Mama ..."

Tangan Er terulur ke depan.

Napasnya memburu dan bulir keringat membanjiri pelipisnya. Kulit wajahnya yang kemerahan berubah pucat

Mimpi buruk itu kembali muncul dalam tidurnya, berulang seperti roda film yang terus berputar di kepalanya.

Pak Hasan langsung menerobos masuk ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan anak kecil itu. Seorang wanita paruh baya ikut serta masuk bersamanya.

Pak Hasan menatapnya dengan cemas lalu mulai bertanya, "Ada apa, Er? Apa kamu mimpi buruk lagi? Apa yang kamu lihat?"

Erlangga mengangguk kuat. Ia lantas menyahut dengan dengan napas tersengal, "Er mimpi Mama. Mama menangis sambil minta tolong, Pak. Er lihat Mama terbaring di sana.. Tubuhnya penuh dengan darah." Isaknya masih terdengar sesekali di sela napasnya. Ada rasa takut terpancar dari sorot matanya.

Pria tua itu menghela napas gusar memikirkan perkataan Erlangga. Kemudian kembali bertanya, "Apa kamu juga melihat orang lain di dalam mimpimu tadi?" Ia mencoba menggali sedikit informasi. Pak Hasan berharap Erlangga ingat sesuatu.

"Pak, jangan bicarakan itu lagi. Kasihan Er, biarkan dia istirahat." Wanita itu menimpali saat dirinya duduk di samping ranjang. Ia melihat suaminya dengan tatapan sinis.

Pak Hasan diam membisu.

Istrinya mencoba mengalihkan pembicaraan mereka untuk menghilangkan trauma anak itu. "Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Itu sudah berlalu, Er. Lebih baik kamu tidur lagi, ini sudah larut malam."

Wanita itu lantas mengulurkan tangan mengusap wajah Er, mengeringkan keringat dan air mata yang membasahi wajahnya dengan kain sarung.

Erlangga, anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu baru saja kehilangan sang mama dua hari yang lalu.

Seorang wanita cantik berkulit kuning langsat itu ditemukan tergeletak tak bernyawa di dalam rumah sederhana yang telah mereka sewa selama hampir delapan tahun.

Air mata Erlangga masih saja jatuh berurai tak mampu ditahan. "Er kangen Mama, Bu," ucap Er.

Suaranya bergetar karena sedih. Wajah pucatnya memerah, matanya sembab karena menangis.

Pak Hasan yang mendengar ikut terharu, tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya.

"Sudah, jangan sedih lagi. Sekarang kamu harus istirahat, besok Ibu dan Bapak akan temani kamu ke makam Mama mu," janjinya pada Er.

Wanita di sampingnya mengangguk kuat setuju dengan ucapan suaminya. "Iya, Er. Ya sudah, Ibu dan Bapak juga harus istirahat."

Suami istri itu lantas keluar dari kamar Erlangga dan menutup pintu di belakang mereka.

Erlangga menarik napasnya dalam-dalam. Dia sudah merasa lebih tenang sekarang.

"Ma, Er akan mencari orang yang sudah lakukan ini sama Mama. Er janji akan menghukum mereka semua."

***

Malam berlalu dan pagi berganti dengan cepat.

Pukul tujuh pagi, Erlangga baru saja keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa.

Dia menarik baju kaos lengan pendek berwarna putih serta celana panjang darì dalam tas butut miliknya.

Sejak kejadian pembunuhan Olivia, Erlangga tinggal bersama keluarga Pak Hasan dan hanya membawa beberapa potong pakaian di dalam tasnya.

Sudah dua hari Er tinggal bersama keluarga Pak Hasan.

"Gimana, Er? Apa kamu sudah selesai?" Suara istri Pak Hasan terdengar dari balik pintu.

Erlangga bergegas mengejar pintu dan membukanya dengan lebar.

Seulas senyum menghias bibirnya yang berwarna merah muda. "Er sudah siap, Bu," sahutnya.

Erlangga terlihat jauh lebih tenang pagi ini.

"Ayo, sarapan dulu. Ibu sudah siapkan sarapan untuk kita. Setelah itu Ibu akan mengantar kamu untuk berziarah ke makam Mama mu," ucap Bu Hasan. Wanita paruh baya itu tersenyum tulus.

Erlangga mengangguk patuh lalu mengikutinya saat wanita itu berjalan menuju ruang makan.

Saat mereka tiba, tampak Pak Hasan bersama dua anaknya yang sudah beranjak dewasa. Ketiganya duduk mengelilingi meja makan.

"Sini, duduk di samping Kakak aja, Er." Anak sulung Pak Hasan tersenyum lebar sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.

Er tanpa ragu menarik kursi itu dan duduk di sana.

Kelima orang itu makan bersama.

Sepuluh menit kemudian, kedua anak Pak Hasan menyudahi makannya dan pergi dengan terburu-buru.

Mereka harus bergegas karena letak sekolah mereka berada di desa lain.

Tak lama setelahnya, Pak Hasan menyelesaikan makan paginya. Ia harus segera pergi ke kantor kelurahan untuk bekerja.

Kini hanya tersisa Erlangga dan istri Pak Hasan.

Wanita paruh baya itu menyeka bibirnya dengan serbet lantas bangkit berdiri.

Ia menepuk punggung Er dengan lembut seraya berkata, "Habiskan makananmu dengan perlahan. Ibu akan keluar sebentar."

Setelah berbicara, ia mulai membereskan piring kotor dari atas meja. Kemudian pergi meninggalkan ruang makan.

Er menatap kepergian wanita paruh baya itu dengan mata obsidian miliknya hingga tubuhnya menghilang di balik pintu.

Suasana rumah berubah hening.

Erlangga bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Air matanya mulai menetes di pipinya yang tembem. Erlangga menangis. "Mama ...." desisnya pilu.

Di depan orang lain, Erlangga mampu tersenyum meski di dalam hatinya sedang terluka.

Erlangga berusaha menelan makanannya meski kerongkongannya terasa perih.

Hingga lima belas menit berlalu, Er mendengar suara langkah kaki dari arah ruang tamu.

Erlangga langsung menggosok kedua matanya, berusaha mengeringkan sisa air mata di kelopak matanya.

Dia langsung berpaling ketika sosok bayangan muncul di belakangnya.

"Er, ada yang ingin bertemu denganmu." Suara Bu Hasan menggema di ruang makan. Ia memandang dua pria yang masuk bersamanya.

Erlangga menyeka mulutnya dengan serbet.

Ia mendorong piringnya menjauh lalu turun dari kursi.

"Mereka siapa, Bu?" tanya Er polos. Ia mengangkat dagunya saat menatap dua pria berbadan tegap di depannya.

Ada rasa takut di dalam matanya.

Bu Hasan menarik napasnya panjang, lalu mulai menjelaskan dengan perlahan, "Mereka adalah Bapak Polisi yang akan membantu kita mencari orang yang telah membuat Mama kamu tiada, Er."

Er kembali menatap kedua pria itu kemudian berpaling pada Bu Hasan.

Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.

***

Erlangga duduk di sofa di samping Bu Hasan. Sementara kedua pria itu duduk tegak di depan mereka. Tatapan mereka dingin, tetapi aura wajahnya tampak berwibawa.

"Nama kamu Erlangga, ya?" Salah satu pria membuka mulutnya memecah keheningan di antara mereka, senyum tulus membingkai wajahnya.

"Jangan takut! Om ini orang baik, kok," sambungnya lagi.

Er diam, kepalanya mengangguk pelan.

Tak patah semangat, pria itu kembali bertanya padanya, "Er sudah kelas berapa sekarang?"

Erlangga menghisap bibirnya. Dia melihat Bu Hasan yang mengedipkan matanya seolah berkata, "Jangan takut, jawab saja."

"Er sudah kelas empat SD," jawab Er. Suaranya sedikit bergetar.

Pria itu mengangguk paham.

Ia kemudian mengambil buku catatan kecil dari waist bag miliknya dan mulai mencatat sesuatu.

"Om boleh tanya lagi, nggak?"

Er mengangguk lagi.

Pria itu menarik napas panjang lalu mulai bertanya dengan hati-hati, "Waktu Mama kamu terluka, Er ada di mana saat itu?"

Erlangga mengedipkan matanya saat berusaha mengingat kejadian memilukan itu.

"Er ada di dapur membantu Mama," sahut Er pelan. Matanya mulai berkaca-kaca karena sedih.

"Apa kamu lihat apa yang terjadi?" tanya pria itu perlahan.

Er mengangguk kuat. Giginya mengerat kuat di dalam mulutnya.

"Siapa yang melakukannya? Apa kamu melihat pelakunya, Et?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status