Share

Bab 2

Er membeku seketika.

Melihat perubahan di wajah anak itu, Bu Hasan segera memeluknya.

Wanita itu khawatir bila Erlangga akan menangis histeris karena trauma berat yang baru dialaminya.

Kedua petugas itu berusaha menahan diri mereka. Sebab kasus yang mereka hadapi melibatkan anak kecil sebagai saksi tunggal.

"Erlangga, Om mohon ... tolong bantu Om. Hanya kamu yang bisa membuat penjahatnya ditangkap. Kamu mau kan kalau mereka dihukum?" Petugas polisi yang satunya berbicara karena mulai kehilangan kesabarannya.

Er mengangguk patuh.

"Bagus. Sekarang kamu cerita sama Om, apa yang terjadi," desaknya.

Er menyeka air matanya dan mulai berbicara dengan suara parau, "Er dengar mereka bertengkar dengan Mama. Tante itu berteriak dan memarahi Mama."

Kedua petugas itu saling berpandangan. "Mereka?"

"Iya," sahut Er sesunggukan.

"Mereka ada berapa orang, Er?" tanya petugas yang lebih tua dengan tidak sabaran. Mereka hampir bisa memecahkan kasusnya jika Erlangga bisa terus berbicara.

"Ada dua," sahut Er pelan.

Petugas itu mencatat semua informasi yang Er berikan di dalam buku. Kemudian kembali bertanya, "Apa yang mereka katakan?"

Er menggeleng. Keduanya menghela napas gusar.

Bu Hasan mengusap punggung Erlangga dengan lembut.

Dia merasakan seluruh otot di tubuh Er menegang karena takut. "Enggak apa-apa, Er. Jangan takut," katanya dengan suara lembut.

Petugas yang lebih muda menunjukkan senyumnya untuk menghapus wajah sangarnya yang menakuti Erlangga.

Ia menangkap ucapan Erlangga sebelumnya. "Apa Tante itu yang sudah membuat Mama kamu terluka, Er?" Ia bertanya perlahan.

"Bukan Tante itu," jawab Erlangga.

"Lalu siapa?"

"Mm ... Om yang duduk di mobil itu."

Jawaban Erlangga membuat ketiganya terkejut lalu saling memandang.

"Apa anda tahu siapa yang datang ke rumah Ibu Olivia saat itu?"

"Saya tidak tahu, Pak. Sepengetahuan saya, Ibu Olivia tidak punya keluarga, sebab tidak ada seorang pun yang pernah datang ke desa ini selama mereka menjadi warga di sini." Bu Hasan menjawab meski dia sendiri tidak begitu yakin.

"Apa mungkin itu keluarga dari pihak suaminya?"

Dia menggelengkan kepalanya lalu kembali berbicara, "Olivia tidak memiliki suami. Dia mengaku kalau suaminya meninggalkannya saat dia sedang hamil tua."

"Kenapa?"

"Saya juga tidak tahu, Pak."

Setelah mereka bersalaman, kedua petugas itu keluar dari rumah Bu Hasan.

***

Erlangga berlari menuju makam mamanya. Dia memeluk pusara Olivia sambil menangis sesunggukan.

Bu Hasan mengajaknya berziarah seperti yang telah dijanjikannya pagi tadi.

"Mama ... jangan tinggalkan, Er, Ma. Er takut ditinggal sendirian ..." Tangis Erlangga memecah kesunyian komplek pemakaman.

"Er janji, Ma ... Er akan jadi anak yang baik. Er akan rajin belajar biar Mama bahagia. Er janji enggak nakal lagi, Ma ...."

Tiga puluh menit keduanya berada di tempat itu. Makan Olivia masih merah dihiasi taburan bunga warna-warni.

Er meratap sedih hingga Bu Hasan berinisiatif membantunya berdiri dan mengajaknya pulang.

Meski awalnya menolak, Erlangga akhirnya menurut.

Keduanya kembali ke rumah sewa Olivia untuk mengambil beberapa barang Erlangga yang masih tertinggal.

Hari ini petugas dari kelurahan bersama petugas dari dinas sosial datang untuk menjemput Erlangga.

Mereka memutuskan untuk menitipkan Erlangga di panti asuhan karena Er tidak memiliki keluarga inti untuk merawatnya.

Meskipun pada awalnya Pak Hasan dan istrinya menolak dan bersikeras untuk merawat Erlangga, tetapi mereka tidak bisa menentang keputusan itu.

Dengan dikawal oleh petugas, Bu Hasan masuk seorang diri tanpa Erlangga.

Ia menyimpan beberapa barang pribadi milik Olivia dan Erlangga di dalam koper.

Dia tahu, suatu hari nanti Erlangga pasti akan bertanya dimana barang-barang milik Olivia.

Barang-barang itu sudah melewati pemeriksaan petugas sehingga Bu Hasan dapat membawanya meski tidak semuanya.

"Ayo kita pulang, Er. Bapak pasti sudah menunggu di rumah," ucapnya sambil menggandeng tangan Erlangga.

"Apa Er masih bisa balik ke rumah ini, Bu?" tanya Er polos. Ia menatap rumahnya dengan bingung. Seluruh bagian depan hingga ke belakang sudah ditempeli garis pembatas.

Bu Hasan menghela napasnya panjang, matanya berputar.

Ia berusaha mendapatkan jawaban yang tepat untuknya, kemudian mulai berkata, "Untuk sementara kita tidak boleh masuk sampai mereka menangkap penjahatnya."

Er menunduk sedih. Namun, ada kelegaan di hatinya meski hanya secuil, tetapi menyisakan rasa hangat di hatinya.

***

Di kediaman Pak Hasan. Dua buah mobil terparkir di halaman depan.

Ruang tamu dipenuhi beberapa orang dengan seragam dan kepentingan berbeda.

Pak Hasan hanya menjamu tamunya dengan air putih seadanya.

Pria paruh baya itu duduk, raut wajahnya tegang.

Mereka semua menantikan kedatangan Erlangga.

"Apa masih lama, Pak?" Seorang pria seumuran Pak Hasan membuka suara.

Sesekali pandangannya teralih ke luar rumah lalu menelisik jam tangannya.

Pak Hasan menarik dua sudut bibirnya sambil mengusap punggung tangannya salah tingkah.

"Tunggu sebentar lagi ya, Pak." Dia berkata dengan nada memohon, "Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Tadi katanya mau singgah di rumah tu untuk ambil beberapa barang saja." Dia tersenyum canggung.

Kepala mereka bergoyang naik turun.

"Apa Bapak sudah memberitahu Erlangga?" Salah seorang dari mereka bertanya.

Pak Hasan menggeleng pelan, lantas berujar, "Belum, Pak. Jujur saja, saya enggak tega." Jakunnya berguling turun di tenggorokannya.

Pak Hasan coba menawar dengan mereka.

Dia mengajukan harapannya untuk Erlangga, "Apa Erlangga tidak bisa tinggal bersama kami, Pak? Walaupun tidak ada hubungan darah, tapi saya menyayangi anak itu. Saya janji akan menjamin masa depannya," katanya. Mata sendunya menyisir wajah-wajah asing di depannya.

Kelima tamunya saling memandang. Hingga salah satu dari mereka mulai berbicara, "Maaf Pak Hasan ... sepertinya itu tidak mungkin. Kami hanya menjalankan prosedur hukum atas hak asuh Erlangga. Bila Bapak ingin memiliki hak asuh anak itu, Bapak bisa mengajukan syarat adopsi pada pengadilan."

Pria paruh baya itu terpukul kalah.

Intinya adalah uang.

Apakah dia mampu secara finansial?

Mungkin mampu bila dirinya tak harus membayar biaya ini dan itu. Namun, di negata ini semua diatur dan diukur oleh uang.

Dia sudah kalah sejak awal.

Dua jam berlalu saat Erlangga menginjak pintu depan rumah.

Di sisinya ada istri Pak Hasan yang membawa sebuah koper di tangan kirinya.

Pak Hasan mengejar keduanya. Ia langsung menarik koper dan meletakkannya di pojok ruang tamu.

Bu Hasan menggandeng lengan Er dan membawanya duduk di sisinya.

"Siapa mereka, Bu?" Erlangga berbisik.

"Petugas Dinas Sosial."

"Mau apa mereka datang ke sini?"

Bu Hasan berpaling, matanya menatap jauh ke dalam mata obsidian Erlangga.

Entah bagaimana dia akan menjelaskannya pada Erlangga kecil.

"Er ... Bapak dan Ibu ini datang untuk menjemput kamu, Nak." Suara Pak Hasan bergetar di udara.

Erlanggak merasa jantungnya seperti diremas kuat. Sakit.

Ia hampir menangis.

"Erlangga enggak mau pergi, Pak. Er enggak mau jauh dari Mama ..." Matanya mulai berkaca-kaca.

Ia memeluk lengan Bu Hasan kuat, tak ingin dipisahkan darinya.

Namun, dua orang wanita langsung berdiri menjadi penengah bagi keduanya.

Tangan Er ditarik lepas dengan paksa.

Warna di wajahnya berubah pucat karena takut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status