Share

Bab 3

Langit di luar tampak suram padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi.

Awan gelap memenuhi cakrawala dan angin berhembus sedikit lebih kuat dibanding hari biasanya.

Sekarang sudah memasuki pertengahan semester kedua tahun ini.

Erlangga sudah berada di bawah pengasuhan panti asuhan selama lebih dari satu bulan.

Dia bahkan harus menahan diri karena harus putus sekolah sementara waktu.

"Huft ... " Erlangga menghela napasnya.

Mata obsidiannya jatuh pada siluet wanita muda berusia tiga puluhan.

Rambut panjang bergelombang miliknya berwarna coklat keemasan.

Di pangkuannya seorang anak lelaki bertubuh gemuk tersenyum bahagia memandangnya.

Begitu polos tanpa beban.

"Mama, aku rindu padamu ..." Erlangga bergumam, pipinya memerah karena sedih. "Kenapa mereka melukaimu? Kenapa mereka jahat padamu? Ma, aku kesepian enggak ada Mama di sini ...."

Erlangga mengusap pipinya yang basah.

***

"Apa kau sudah berhasil menemukannya?" Suara dingin dan berat terdengar di dalam kamar sebuah rumah mewah.

"Anak buah saya sudah berhasil menemukannya, Tuan. Hari ini saya akan pergi ke sana untuk memastikan semuanya." Laki-laki berusia empat puluhan itu menundukkan kepalanya penuh hormat.

"Jangan gagal lagi! Kau harus segera membawanya. Jangan biarkan mereka mendapatkannya sebelum kita!" Tuntut lelaki itu padanya tanpa menoleh. Suaranya tegas dan dingin.

"Baik, Tuan."

Suara ketukan langkah kaki perlahan menjauh.

Lelaki itu keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Kamar itu berubah hening. Hanya terdengar suara helaan napas pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kulitnya.

Pria itu adalah Prabujaya Pamungkas, seorang presdir Prabujaya Industri.

Itu adalah sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa pabrik pengolahan kayu terbesar di beberapa propinsi.

Kabar kematian salah satu mantan sekretaris pribadinya telah sampai di telinganya dan berhasil mengguncang pikirannya.

Sudah bertahun - tahun yang lalu sejak wanita itu menutuskan untuk mengundurkan diri lalu menghilang tanpa jejak.

Prabujaya merasa sangat kehilangan.

Dia berusaha mencari tahu alasannya, tetapi Olivia telah pergi begitu jauh.

"Permisi, Tuan ... "

Suara ketukan pintu disertai panggilan menyadarkan Prabujaya dari lamunannya.

"Masuk!"

Pintu berderit, lalu ditutup kembali.

Seorang pria lain dengan setelan serba hitam berdiri tegak.

"Apa yang kau dapatkan?" Prabujaya memutar kursinya, menatap lurus pada anak buahnya dengan tatapan tajam.

"Ini pembunuhan yang disengaja, Tuan." Pria itu melaporkan temuannya.

"Hm ...."

"Sepertinya itu adalah ulah salah satu dari keluarga Pamungkas," katanya lagi. Ada keyakinan dalam suaranya.

Prabujaya berdehem pelan, rahangnya mengeras. Kedua tangannya ikut mengepal kuat di atas meja.

"Siapa?"

"Maaf, Tuan, saya yakin itu adalah ulah Nyonya Liana. Seseorang melihat seorang wanita datang ke rumah itu dengan mobil mewah lalu bertengkar hebat dengan Nyonya Olivia. Tak lama setelahnya, dia ditemukan terkapar di rumahnya. Tidak ditemukan seorang pun pernah bermusuhan dengannya sebelum ini.," jelasnya.

"Apa kau sudah memeriksanya dengan benar?" Ada tekanan dalam suara Prabujaya.

Ia percaya dengan laporan anak buahnya. Namun, semua harus memiliki bukti yang kuat.

"Tentu saja, Tuan."

Tak lama kemudian, lelaki itu melangkah keluar dan menutup pintu kamar.

Prabujaya memukul meja dengan kepalan tangannya dengan keras.

Matanya merah padam, wajahnya menggelap karena marah.

Di tempat lain, sebuah sedan hitam mengkilat berhenti di sebuah gedung panti asuhan.

Dua orang pria berpakaian serba gelap melangkah masuk ke dalam gedung.

Seorang wanita tua menyambut mereka di depan pintu. Bibirnya melengkung menampilkan senyuman.

"Selamat datang, silahkan masuk. Apa ada yang bisa saya bantu?" Kalimat ramah meluncur dari mulutnya, sementara dia mempersilahkan kedua tamunya masuk.

Anak-anak langsung berkerumun di ruang tamu, memeriksa dengan seksama tamu mereka pagi ini.

Beberapa dari mereka yang berusia lebih tua berharap kedua pria itu tidak sedang mencari seorang anak untuk dibawa keluar.

Mereka khawatir itu adalah modus para penjahat untuk mendapatkan korban mereka secara acak.

Sementara anak-anak yang lebih kecil memberanikan diri untuk datang mendekat.

"Kami mencari anak laki-laki yang belum lama ini dibawa ke sini." Pria yang lebih tua menyatakan tujuan kedatangan mereka.

Pandangannya teralihkan pada sekumpulan anak yang berdiri mengintai dari ruang tengah.

Mereka baru saja menyelesaikan sarapan paginya saat keduanya datang.

"Maaf, Tuan-Tuan ... ada banyak anak di sini. Saya tidak tahu anak mana yang kalian maksud," katanya dengan tatapan penuh waspada.

Pantas baginya untuk menaruh curiga pada mereka melihat cara berpakaian mereka serta aura gelap di wajah mereka.

Pria itu berdehem sambil menarik napasnya. Ia harus berbicara dengan hati-hati.

"Saya mencari anak yang dititipkan oleh dinas sosial dua bulan yang lalu. Kami mendapat kabar bahwa dia ada di tempat ini. Semua orang mengatakan bahwa dia adalah anak yatim piatu, itu tidak benar. Anak itu masih memiliki ayah." Penjelasan panjang lebar keluar dari mulutnya. Nadanya tegas dan sangat meyakinkan.

Wanita itu menelan ludah. Ia tidak bica percaya kata-katanya dengan mudah.

"Boleh saya tahu siapa nama ibunya? Ini hanya untuk memastikan saja bahwa kalian tidak salah sangka," katanya mencari informasi. Tentu saja dia tidak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu pada anak itu nantinya.

"Olivia. Olivia Putri," jawabnya tegas tanpa berkedip.

Bibir wanita itu membentuk garis tipis saat kepalanya mengangguk pelan.

Sudah dipastikan pria itu tidak berbohong padanya. Namun, tidak semudah itu untuk mengiziinkan anak itu pergi begitu saja.

Menyadari kerumitan pikiran wanita di depannya, lelaki itu mengeluarkan sebuah kartu nama padanya.

"Ini adalah ayah anak itu. Dia sudah mencarinya selama bertahun-tahun saat Nyonya Olivia pergi meninggalkan rumah dalam keadaan hamil," katanya beralasan. Dan itu cukup masuk akal.

"Kami harus membawa anak itu sekarang. Tuan sudah menanti kedatangannya di rumah," sambungnya lagi.

Wanita tua itu tampak gelisah. "Maaf, Tuan ... tapi saya tidak bisa. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum membawa anak itu pergi."

"Saya, tahu." Tatapannya tegas tak tergoyahkan, lalu kembali melanjutkan, "Saya akan urus semuanya hari ini juga setelah saya membawa anak itu keluar dari sini. Seseorang sedang mengincar nyawanya, dia tidak aman di sini. Saya khawatir hal itu akan melibatkan anak-anak lain juga. Kita harus waspada."

Dua jam setelah pembicaraan yang tidak mudah itu, akhirnya mereka bisa keluar dari tempat itu.

Tentu saja setelah beberapa orang terpaksa dipanggil untuk datang menjadi saksi.

***

"Siapa kalian?" Erlangga menatap dua pria di bangku depan bergantian.

Dia baru membuka mulutnya dengan pertanyaan saat mobil sedan itu telah meninggalkan panti asuhan.

"Jangan takut. Kami adalah orang suruhan ayahmu," sahut Daniel. Dia adalah tangan kanan Prabujaya Pamungkas.

Erlangga tercengang. "Aku tidak punya ayah!" sahutnya ketus. Dia tidak bisa percaya begitu saja.

Sejak dulu, Olivia selalu mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki ayah karena ayahnya telah tiada jauh sebelum kelahirannya.

Karena alasan itulah, mengapa dirinya selalu diolok-olok oleh temannya sebagai anak haram.

Ya, anak haram!

Meskipun dia belum sepenuhnya mengerti apa maksudnya.

Erlangga nyaris tak memiliki teman, kecuali seorang gadis kecil di kelasnya.

Dan Olivia selalu saja berhasil mengusir kesedihan dan rasa kesepian di hati putranya itu.

"Itu tidak benar. Anda adalah Tuan muda Erlangga Pamungkas."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status