Share

Bab. 8

Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.

Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini.

"Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.

Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.

Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.

Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."

Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?"

"Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal itu. Lagipula, tidak mudah bagi orang luar untuk bisa menggeser posisi anda, iya kan?" Daniel tersenyum penuh arti, dia mengangkat gelasnya tinggi lalu menelan sisa anggurnya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu," katanya lalu pergi meninggalkan Rangga sendirian di ruang tamu.

Pria itu mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.

"Halo, Ma ..."

"Ya? Kamu dimana?" Suara seorang wanita terdengar menyahut dari ujung telepon.

"Aku di rumah besar. Mama dimana? Kenapa tidak datang ke sini?" tanya Rangga. Wajahnya memerah karena minum cukup banyak.

"Aku ada di rumah sekarang. Aku tidak diminta untuk datang ke sana, memangnya ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Papamu?" tanya wanita itu, nada suaranya terdengar cemas.

"Tidak, tidak ... ini bukan tentang Papa."

"Oh, syukurlah. Pastikan dia sudah membuat surat warisan itu sebelum terjadi sesuatu padanya, apa kamu paham?"

Rangga menyentak napasnya kuat. Ia merasa kesal karena wanita itu selalu mengingatkannya tentang harta warisan suaminya.

"Ya, aku tahu. Tapi ini bukan tentang itu," ucap Rangga kesal.

"Lalu apa?"

"Ternyata Papa memiliki anak lain selain aku. Apa Mama tahu tentang hal itu?"

"Apa? Dasar bodoh! Papamu tidak mungkin memilikinya. Mama sudah memastikan semuanya. Kamu harus berhati-hati, mungkin itu adalah seorang penipu."

***

Pukul delapan pagi.

Erlangga turun dari kamarnya dan langsung menuju meja makan.

Prabujaya sudah duduk di sana lebih dulu. Namun, menunggu putranya untuk makan bersama meskipun hidangannya mulai dingin.

Kepala asisten rumah tangganya berinisiatif untuk memanaskan makanan pebih dulu untuk keduanya.

Saat mereka mulai makan, suara langkah kaki terdengar mendekati ruang makan.

Ayah dan anak itu melihat ke arahnya dengan bersamaan saat Rangga muncul di sana.

Prabujaya dan Erlangga sama-sama terkejut melihat kehadiran Rangga di rumah itu saat hari masih pagi.

Prabujaya meletakkan sendoknya dan mulai bertanya, "Sejak kapan kamu datang? Apa kamu tidak pulang semalam?"

Kening Prabujaya berkerut. Selera makannya hilang.

Rangga tidak menanggapi, dia menarik kursi dan duduk di ujung meja makan berhadapan dengan ayahnya.

"Apa ini laki-laki yang Papa bicarakan kemarin?" tanya Rangga dingin, sorot matanya tajam melihat keduanya bergantian.

Mendengar namanya disebut, Erlangga bersikap acuh tak acuh.

Er terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Dia ingin melihat apa yang akan terjadi saat seseorang merasa keberatan jika harus memiliki ikatan darah dengannya tetapi berasal dari wanita lain ayahnya.

"Hei, siapa namamu?" tanya Rangga ketus.

"Rangga, berhenti! Jangan buat ribut di meja makan!" Prabujaya membentaknya karena tidak sopan.

Wajah Rangga berubah merah. Dia merasa cukup malu karena ditegur di depan orang asing.

"Aku Erlangga," jawab Er cepat sebelum Prabujaya dan putranya yang lain mulai bertengkar di depannya.

"Siapa ibumu? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau Mama dan Papaku memiliki anak lain selain aku?" cecar Rangga tanpa rasa malu.

Dia mengacuhkan tatapan Prabujaya yang seakan-akan ingin menerkamnya hidup-hidup.

"Cukup, Rangga! Lebiih baik kamu pulang dan istirahat. Kamu sudah merusak selera makan Papa," tegur Prabujaya yang mulai tersulut emosi.

Daniel yang melihat semuanya lantas menarik Rangga berdiri dan membawanya menjauh dari meja mskan.

"Sebaiknya anda pulang dan istirahat, anda bau alkohol. Apa anda minum terlalu banyak tadi malam hingga anda berbicara sembarangan seperti tadi?" kata Daniel lalu kembali menambahkan, "Jangan bicara seperti itu lagi di depan Tuan atau anda akan kehilangan apa yang sudah anda miliki sejak lama."

Kalimat itu cukup tajam seperti sebuah peringatan untuknya.

Rangga akhirnya menurut dan segera pergi meninggalkan rumah Prabujaya tanpa membantah.

Di meja makan, Erlangga mengakhiri makannya dan membersihkan mulutnya dengan serbet.

Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mulai membuka mulutnya meminta penjelasan.

"Siapa dia? Apa dia juga anak Papa?" tanya Er tanpa ragu.

Prabujaya diam untuk sesaat. Dia sudah menduga jika kedua putranya akan meminta penjelasan darinya.

Belum sempat Prabujaya menjelaskan, Erlangga kembali bertanya padanya, "Apakah kamu memiliki ibu yang sama? Atau mungkin Papa memiliki wanita lain dalam hidup Papa selain Mama? Apakah Papa merahasiakan sesuatu dari ku?"

Er merasa teka-teki hidupnya begitu rumit.

Ia belum bisa memecahkan teka-teki sebelumnya dan kini dihadapkan pada teka-teki baru.

Kepalanya seperti hampir pecah karena hal itu.

Raut wajah Prabujaya langsung berubah.

Lelaki paruh baya itu terlihat sangat sedih dan terluka.

Namun, Erlangga tidak perduli. Dia dan ibunya sudah cukup terluka selama bertahun-tahun.

"Pa, tolong bicara." Nada suara Erlangga terdengat hangat dan sedikit menuntut.

Suara helaan napas terdengar dari mulut lelaki tua itu.

Tatapannya teduh memandang Erlangga sekaligus berharap sebuah pengampunan darinya.

"Dia adalah putra sulung Papa, Rangga Aditya," kata Prabujaya membuka suaranya lalu kembali berkata, "Dan kamu adalah putra bungsu Papa."

Erlangga mengusqp wajahnya.

Dia kesal karena ayahnya masih berusaha untuk menutup-nutupinya darinya.

"Tidak bisakah Papa untuk bicara dengan jujur? Aku sudah dewasa dan aku bisa mengerti tentang apapun. Aku hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya, apa itu salah?"

Saat Erlangga berpikir bahwa dirinya akan merasa baik-baik saja, sesuatu malah mengejutkannya.

"Bisakah kamu memaafkan Papa jika Papa memberi tahu segalanya? Papa dan Mama mu memang tidak pernah menikah secara sah dan kami hanya berinteraksi di kantor sepanjang hari. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya. Aku sangat menyesal ketika tahu Olivia pergi saat tengah mengandung dirimu. Dan sekarang aku berusaha untuk menebus semua itu padanya dan juga dirimu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status