Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.
Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini."Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?""Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal itu. Lagipula, tidak mudah bagi orang luar untuk bisa menggeser posisi anda, iya kan?" Daniel tersenyum penuh arti, dia mengangkat gelasnya tinggi lalu menelan sisa anggurnya."Kalau begitu, saya permisi dulu," katanya lalu pergi meninggalkan Rangga sendirian di ruang tamu.Pria itu mengambil ponselnya dan menelpon seseorang."Halo, Ma ...""Ya? Kamu dimana?" Suara seorang wanita terdengar menyahut dari ujung telepon."Aku di rumah besar. Mama dimana? Kenapa tidak datang ke sini?" tanya Rangga. Wajahnya memerah karena minum cukup banyak."Aku ada di rumah sekarang. Aku tidak diminta untuk datang ke sana, memangnya ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Papamu?" tanya wanita itu, nada suaranya terdengar cemas."Tidak, tidak ... ini bukan tentang Papa.""Oh, syukurlah. Pastikan dia sudah membuat surat warisan itu sebelum terjadi sesuatu padanya, apa kamu paham?"Rangga menyentak napasnya kuat. Ia merasa kesal karena wanita itu selalu mengingatkannya tentang harta warisan suaminya."Ya, aku tahu. Tapi ini bukan tentang itu," ucap Rangga kesal."Lalu apa?""Ternyata Papa memiliki anak lain selain aku. Apa Mama tahu tentang hal itu?""Apa? Dasar bodoh! Papamu tidak mungkin memilikinya. Mama sudah memastikan semuanya. Kamu harus berhati-hati, mungkin itu adalah seorang penipu."***Pukul delapan pagi.Erlangga turun dari kamarnya dan langsung menuju meja makan.Prabujaya sudah duduk di sana lebih dulu. Namun, menunggu putranya untuk makan bersama meskipun hidangannya mulai dingin.Kepala asisten rumah tangganya berinisiatif untuk memanaskan makanan pebih dulu untuk keduanya.Saat mereka mulai makan, suara langkah kaki terdengar mendekati ruang makan.Ayah dan anak itu melihat ke arahnya dengan bersamaan saat Rangga muncul di sana.Prabujaya dan Erlangga sama-sama terkejut melihat kehadiran Rangga di rumah itu saat hari masih pagi.Prabujaya meletakkan sendoknya dan mulai bertanya, "Sejak kapan kamu datang? Apa kamu tidak pulang semalam?"Kening Prabujaya berkerut. Selera makannya hilang.Rangga tidak menanggapi, dia menarik kursi dan duduk di ujung meja makan berhadapan dengan ayahnya."Apa ini laki-laki yang Papa bicarakan kemarin?" tanya Rangga dingin, sorot matanya tajam melihat keduanya bergantian.Mendengar namanya disebut, Erlangga bersikap acuh tak acuh.Er terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya seperti tidak terjadi apa-apa.Dia ingin melihat apa yang akan terjadi saat seseorang merasa keberatan jika harus memiliki ikatan darah dengannya tetapi berasal dari wanita lain ayahnya."Hei, siapa namamu?" tanya Rangga ketus."Rangga, berhenti! Jangan buat ribut di meja makan!" Prabujaya membentaknya karena tidak sopan.Wajah Rangga berubah merah. Dia merasa cukup malu karena ditegur di depan orang asing."Aku Erlangga," jawab Er cepat sebelum Prabujaya dan putranya yang lain mulai bertengkar di depannya."Siapa ibumu? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau Mama dan Papaku memiliki anak lain selain aku?" cecar Rangga tanpa rasa malu.Dia mengacuhkan tatapan Prabujaya yang seakan-akan ingin menerkamnya hidup-hidup."Cukup, Rangga! Lebiih baik kamu pulang dan istirahat. Kamu sudah merusak selera makan Papa," tegur Prabujaya yang mulai tersulut emosi.Daniel yang melihat semuanya lantas menarik Rangga berdiri dan membawanya menjauh dari meja mskan."Sebaiknya anda pulang dan istirahat, anda bau alkohol. Apa anda minum terlalu banyak tadi malam hingga anda berbicara sembarangan seperti tadi?" kata Daniel lalu kembali menambahkan, "Jangan bicara seperti itu lagi di depan Tuan atau anda akan kehilangan apa yang sudah anda miliki sejak lama."Kalimat itu cukup tajam seperti sebuah peringatan untuknya.Rangga akhirnya menurut dan segera pergi meninggalkan rumah Prabujaya tanpa membantah.Di meja makan, Erlangga mengakhiri makannya dan membersihkan mulutnya dengan serbet.Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mulai membuka mulutnya meminta penjelasan."Siapa dia? Apa dia juga anak Papa?" tanya Er tanpa ragu.Prabujaya diam untuk sesaat. Dia sudah menduga jika kedua putranya akan meminta penjelasan darinya.Belum sempat Prabujaya menjelaskan, Erlangga kembali bertanya padanya, "Apakah kamu memiliki ibu yang sama? Atau mungkin Papa memiliki wanita lain dalam hidup Papa selain Mama? Apakah Papa merahasiakan sesuatu dari ku?"Er merasa teka-teki hidupnya begitu rumit.Ia belum bisa memecahkan teka-teki sebelumnya dan kini dihadapkan pada teka-teki baru.Kepalanya seperti hampir pecah karena hal itu.Raut wajah Prabujaya langsung berubah.Lelaki paruh baya itu terlihat sangat sedih dan terluka.Namun, Erlangga tidak perduli. Dia dan ibunya sudah cukup terluka selama bertahun-tahun."Pa, tolong bicara." Nada suara Erlangga terdengat hangat dan sedikit menuntut.Suara helaan napas terdengar dari mulut lelaki tua itu.Tatapannya teduh memandang Erlangga sekaligus berharap sebuah pengampunan darinya."Dia adalah putra sulung Papa, Rangga Aditya," kata Prabujaya membuka suaranya lalu kembali berkata, "Dan kamu adalah putra bungsu Papa."Erlangga mengusqp wajahnya.Dia kesal karena ayahnya masih berusaha untuk menutup-nutupinya darinya."Tidak bisakah Papa untuk bicara dengan jujur? Aku sudah dewasa dan aku bisa mengerti tentang apapun. Aku hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya, apa itu salah?"Saat Erlangga berpikir bahwa dirinya akan merasa baik-baik saja, sesuatu malah mengejutkannya."Bisakah kamu memaafkan Papa jika Papa memberi tahu segalanya? Papa dan Mama mu memang tidak pernah menikah secara sah dan kami hanya berinteraksi di kantor sepanjang hari. Meskipun begitu, aku sangat menyayanginya. Aku sangat menyesal ketika tahu Olivia pergi saat tengah mengandung dirimu. Dan sekarang aku berusaha untuk menebus semua itu padanya dan juga dirimu."Rangga memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara.Rangga mengabaikan ibunya saat berusaha untuk memeluknya ketika menyambut kepulangannya di ruang tamu.Laki-laki itu melewati Liana yang membeku dan langsung naik ke lantai dua."Sialan!" Rangga membanting pintu kamarnya sambil mengumpat, sedetik kemudian tubuhnya jatuh di atas kasur.Wajahnya kusut dengan mata merah padam, dia terlihat sangat kacau.Mata Rangga menatap lurus lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar."Boleh Mama masuk?" Sebuah suara terdengar dari luar bersamaan dengan suara ketukan di pintu kamar."Masuk aja, pintunya tidak terkunci." Rangga menyahut acuh tak acuh.Pintu terbuka dan Liana masuk dengan perlahan lalu kembali menutup pintu.Wanita itu duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan putranya yang terlihat marah. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu mengacuhkan Mama tadi?" Mendengar suara Liana begitu lembut di telinga membuat Rangga mera
"Berengsek! Ternyata wanita itu punya anak. Kenapa tidak ku habisi saja mereka berdua saat itu." Liana mengamuk di mobilnya hingga memukuli stir berulang kali hingga tangannya memerah.Dia mengusap wajahnya frustasi hingga riasan di wajahnya rusak.Liana merasa begitu bodoh karena telah membiarkan Olivia melahirkan anaknya saat itu.Dia bahkan tidak pernah tahu jika mantan sekretaris suaminya itu telah hamil dan memiliki anak.Liana tidak menyangka jika ancamannya pada Olivia saat itu malah membuat Prabujaya dapat menemukan mereka.Dan kini, suaminya dengan terang-terangan mengakui anak wanita itu sebagai anak kandungnya.Liana mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang."Halo," ucap Liana saat panggilan itu telah tersambung."Ya, Nyonya ...." Suara seorang pria terdengar dari ujung telpon."Temukan Olivia sekarang juga! Dulu aku sudah menganggapnya enteng sampai dia berani menginjakku sekarang. Dia bahkan berani mengirim anaknya pada suamiku.
Pak Hasan berdehem pelan sambil menggelengkan kepalanya.Pria tua itu menatap istrinya. Dia membuka mulutnya setelah Bu Hasan mengangguk pelan."Masih belum. Entah apa yang terjadi, tapi jalan untuk menemukan pelakunya berujung buntu. Mereka kehilangan jejak setiap kali hampir berhasil memecahkan kasusnya," kata Pak Hasan dengan rasa menyesal.Sedetik kemudian dia kembali bicara, "Sayangnya ... kasus itu sudah ditutup sepuluh tahun yang lalu sejak mereka tidak mendengar kabar darimu."Suami istri itu berbincang tentang banyak hal selama kepergian Erlangga dari kota mereka.Hingga hari beranjak sore, Erlangga memutuskan untuk kembali.Mobil sedan itu bergerak meninggalkan kediaman Pak Hasan saat matahari telah terbenam.Mereka memutuskan untuk pulang ke komplek River Villa sebelum Prabujaya menyadari kepergian mereka siang ini.Erlangga sudah memutuskan untuk membuka kembali kasus kematian Olivia Putri. Namun, dirinya harus mendapatkan bukti kuat sebelum mengajukannya kepada pihak ber
Suara ketukan di pintu kamar membuat Erlangga terjaga.Erlangga melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam dan dia baru akan terlelap setelah lelah seharian.Erlangga bangkit dan meraih knop pintu. Dia tertegun untuk sesaat, mulutnya nyaris jatuh saat menyaksikan seseorang sedang berdiri di depan kamarnya."Papa?" Kening Erlangga berkerut saat sadar sedang berhadapan dengannya.Ia meraih tubuh Prabujaya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar lalu memeriksa kedua kaki Prabujaya yang terlihat lemah saat beberapa jam yang lalu."Apa yang Papa lakukan di sini? Sejak kapan Papa bisa berjalan?" Keterkejutan Erlangga belum sepenuhnya hilang.Prabujaya tersenyum tipis lalu membuka mulutnya dan berkata, "Sudah, sudah ... jangan tegang seperti itu, Er. Papa hanya ingin melihatmu dan mengobtol denganmu."Mata obsidian Erlangga mengunci wajah Prabujaya.Namun, dengan sangat cepat tatapan mata Erlangga kembali teralih pada sepasang kaki yang terlihat kokoh itu.Kaki itu terlihat sehat dan sepert
Empat puluh menit sejak panggilan itu, mobil sedan hitam milik Erlangga tiba di pelataran depan sebuah gedung.Ia berjalan masuk dengan aura hangat di wajahnya bersama dua pengawal setianya sementara supir menunggu di mobil.Erlangga mengetuk pintu hingga sebuah sahutan terdengar dari dalam ruangan."Selamat pagi, maaf saya terlambat dihari pertama bekerja," ucapnya salah tingkah lalu menarik kursi dan duduk di depannya.Bu Maya segera menggelengkan kepalanya dan berkata, "Enggak, enggak perlu! Jangan meminta maaf pada saya, saya yang seharusnya meminta maaf karena tiba-tiba menelpon anda seperti tadi. Saya seharusnya memberitahu anda kemarin malam, saya minta maaf."Erlangga berdehem pelan, ucapan wanita itu meredakan sedikit rasa bersalah di hatinya.Situasinya benar-benar membuatnya gugup hingga membuatnya pergi dengan perut kosong.Erlangga berpikir untuk segera menyelesaikan tugasnya lalu kemudian pergi mengisi perutnya."Baiklah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sebaiknya kita lakuk
"Kamu memang benar-benar tampan. Pantas saja mereka bersikeras untuk bekerja sama denganmu." Sebuah pujian terlontar dari mulut Sylvia saat dirinya memandangi wajah Erlangga tanpa rasa puas.Dia menutupi kedua pipinya yang merona merah dengan tangannya saat Erlangga membalasnya dengan senyuman."Apa kamu sudah memiliki kekasih, Tuan Er?" tanya Sylvia gugup.Namun, Erlangga tetap terlihat tenang dan tidak merasa terganggu dengan perkataannya.Erlangga menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, saya belum memikirkannya."Bibir Sylvia yang kemerahan terbuka lebar, dia berpikir memiliki kesempatan untuk mendekatinya dan mungkin menjadi kekasihnya."Benarkah? Kamu lelaki normal 'kan? Apa kamu tidak berpikir untuk dekat dengan seseorang?" pancing Sylvia. Dia berharap Erlangga mengerti maksud ucapannya."Hei, tentu saja aku lelaki normal. Mungkin aku bisa mempertimbangkannya, tetapi nanti setelah aku sukses."Ya, tentu saja setelah dirinya berhasil memecahkan teka-teki menyangkut dirinya dan kel
Di dalam restoran, Erlangga berjalan di sisi Sylvia hingga di pintu depan.Er tersenyum hangat pada gadis itu setelah memutuskan untuk berkendara dengan mobilnya sendiri.Er membuka pintu belakang dan mempersilahkan Sylvia masuk ke dalam mobilnya."Apa besok kamu akan datang ke kantor?" Sylvia bertanya melalui jendela mobil yang terbuka lebar saat Er akan berbalik pergi.Er menggeleng lalu menjawab, "Aku rasa tidak. Tidak hingga Bu Maya memintaku untuk datang ke sana. Ada apa?""Oh ...." Nada suara Sylvia terdengar kecewa.Dia ingin bertanya lebih banyak lagi padanya, tetapi Sylvia mengurungkan niatnya.Dia tidak ingin terlihat murahan di mata lelaki itu, dia takut membuat Erlangga tidak suka padanya.Melihat perubahan di wajah Sylvia, Erlangga tahu jika gadis itu merasa kecewa, tetapi dia harus bisa menahan dirinya dan tidak bertanya lagi.Erlangga harus bisa mendekati gadis itu dengan caranya sendiri agar Sylvia tidak menaruh curiga padanya."Jika tidak ada masalah lagi, aku permisi
Di dalam ruangan Prabujaya terlihat duduk bersandar di kursi kerjanya. Tangannya terlipat di depan dada sementara tatapannya lurus menyelidiki putra sulungnya."Kalian boleh pulang," ucap Prabujaya. Suaranya begitu tenang di luar, sementara hatinya sedang berkobar karena marah.Manager dan sekretaris itu langsung pergi dari hadapan Prabujaya. Keduanya bahkan tidak berani untuk sekedar melirik pada Rangga.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Rangga langsung duduk di hadapan sang ayah kemudian mulai bertanya. "Ada masalah apa?"Mendengar pertanyaan dari putranya, Prabujaya lantas bertanya dengan dingin, "Kenapa bisa terjadi masalah yang begitu besar di perusahaan? Apa yang selama ini kau lakukan di luar sana? Perusahaan mendapatkan kerugian besar dari komplain barang ekspor dan kau tidak mengatakan apapun padaku?"Mendengar dirinya sedang disudutkan, Rangga berusaha untuk tetap tenang meskipun bulir keringat jatuh di keningnya di dalam ruangan bersuhu dingin."Maaf, Pa ... aku pikir