Fia masih berusaha mengendalikan pikirannya yang mulai kosong, seperti pikirannya di kendalikan oleh seseorang. Dia masih mencoba hingga suara seseorang masuk ke dalam otaknya.‘Tarik nafas dan keluarkan, lakukan itu dengan beraturan. Setelah mulai tenang kendalikan pikiranmu kembali’ ucap orang itu yang menggema di dalam otaknya.“Paman” gumam Fia tanpa suara.Yah, suara tadi adalah suara pamannya, paman Fia membimbingnya dari jarak jauh. Dia juga mengawasi Fia dari sana.Fia mulai menerapkan perkataan pamannya, dia mulai menutup matanya dan mengatur nafasnya, setelah merasa tenang Fia mulai kembali mengatur pikirannya yang mulai kosong sedikit demi sedikit.Nyai Arawinda mengernyitkan dahinya saat merasakan perlawanan dari Fia, ada raut wajah tak suka di wajahnya. Dengan sorot mata datar Nyai Arawinda menatap ke sosok Fia yang masih berada di atas tanah.Dengan perlahan dia mulai menggerakkan tangannya ke arah dahi Fia. Saat tangan itu menyentuh dahi dingin Fia, tanpa di ketahui Fia
Sosok Arawinda masih berdiam diri di tempat dengan mata yang terfokus ke arah sepasang suami istri tadi.“Lepaskan aku sialan! Aku membutuhkan uang! Aku ingin bertanding ayam dan minum-minum!” ucap sang lelaki sambil mengentakkan tangan sang istri yang memeluk kakinya dengan kasar, hingga membuat sang istri terjatuh di atas tanah dengan kondisi sangat menyedihkan.Nyai Arawinda menatap sosok wanita di depannya dengan sorot mata tanpa emosi dan bergumang,“Lemah” gumam Nyai Arawinda sambil mengalihkan pandangannya dari sosok wanita yang sedang menangis pilu itu.Fia yang melihat itu sedikit iba, tapi rasa iba itu dia tepis dengan mengangkat bahunya acuh tak acuh. Setelahnya dia mulai menjentikkan jarinya dan membawa mereka ke sebuah ruangan dengan nuansa tradisional.“Tuan, saya mohon. Berikan anak saya” ucap wanita tadi sambil memeluk kaki seorang pria berumur.“Lunasi hutang suamimu dulu baru akan ku berikan anakmu” ucap laki-laki tadi sambil mengentakkan kakinya, membuat wanita tadi
Suara riuh dari penonton membuat suasana menjadi sangat ramai. Fia kembali menjentikkan jarinya, dan di sinilah mereka. Di depan rumah laki-laki yang menjadi tempat pergadaian anak dari wanita tadi.Di depan pintu rumah itu, ada sosok wanita tadi dengan raut wajah bahagia.“Tuan!” panggil wanita tadi dengan senyum mengembang indah.Tok.. tok... tok...“Tuan!” panggil wanita tadi dengan raut wajah tak sabaran.Tak lama pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok laki-laki tadi dengan raut wajah tanpa minat.“Ini tuan, hutang suami saya” ucapnya sambil menyerahkan sekantong koin ke arah laki-laki tadi.“Hm” balas sang lelaki dan menerima uang tadi dengan senyum puas.“Di mana anak saya?” tanya sang wanita dengan raut wajah tak sabaran.“Ck” decak kesal sang lelaki.“Ju! Bawa bayi itu ke sini!” ucap laki-laki tadi dengan nada suara keras.Dari arah belakang datanglah sosok pria dengan bayi di gendongannya.“Anak ibu!” ucap sang wanita dengan senyum semringah.Berbeda dengan sang wanita, p
Fia kembali menjentikkan jarinya dan mereka berada di dalam gubuk yang di tempati oleh sepasang suami istri tadi.Dari dalam gubuk terjadi perkelahian antara mereka berdua, suami istri tadi tak ada yang mau mengalah. Mereka saling membentak satu dengan yang lain. Entah apa masalahnya, yang pasti mereka berdebat sangat hebat.Nyai Arawinda menatapa sepasang suami istri tadi dengan sorot mata datar. Tanpa ada niatan, dia menatap mereka.Perkelahian tadi semakin hebat. Mungkin karena kesal dan geram, sang suami mengambil selendang yang ada di atas meja. Dengan raut wajah marah sang suami mencekik wanita tadi dengan selendang di tangannya.Mata sang istri sampai membola dan beberapa kali mencoba meraih tangan suaminya, dia berusaha melepaskan lilitan di lehernya tapi tak bisa karena kekuatan sang istri yang tak seberapa di bandingkan dengan kekuatan suaminya.Cukup lama sang suami mencekik leher istrinya dengan selendang, hingga tangan sang istri terjatuh di atas tanah dengan lemah.Sang
Fia mulai berjalan mengikuti langkah orang tadi dengan raut wajah penasaran. Langkahnya sangat hati-hati, takut ketahuan akan sosok di depannya.Fia masih mengikuti langkah orang tadi hingga sampailah dia di depan anak tangga bagian pojok. Di sana orang tadi mulai menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya secara tiba-tiba.Bagaikan ada pelekat di kakinya, Fia tak bisa melangkahkan kaki dari tempatnya saat ini.Dengan perlahan sosok tadi mulai mengangkat kepalanya, dengan jelas Fia melihat senyum sinis di bibir orang tadi.“Yara?” ucap Fia dengan raut wajah tak percaya.“Bodoh” ucap Yara dengan senyum sinis setelahnya dia berbalik badan dan berlari menaiki anak tangga, meninggalkan sosok Fia yang masih berdiam diri di tempatnya.“Bodoh? Apa maksudnya?” tanya Fia dengan raut wajah heran dan menatap ke arah depan dengan tanda tanya besar.Beberapa menit kemudian Fia sadar dari lamunannya dan mulai berjalan menaiki anak tangga dengan langkah pelan. Tangga di bagian pojok ini cukup
Sosok itu masih fokus memakan bangkai tadi, bahkan mulut kecilnya itu dengan lahap memakan daging busuk itu.Fia menatap ke sosok tadi dengan sorot mata jijik dan rasanya ingin memuntahkan isi perutnya.Dengan perlahan Fia mulai berjalan mundur dengan perasaan jijik dan mual. Tapi sepertinya kehadirannya telah di sadari oleh sang tuyul, nyatanya sang tuyul mulai menghentikan acara makannya dan mengedipkan mata beberapa kali. Tak lama kepala yang tadinya menunduk mulai terangkan dan dengan perlahan mulai menengok ke arah Fia berada.Saat melihat ke arah Fia, tuyul tadi mulai meletakkan bangkai tadi di atas lantai dengan perlahan.Mulut yang penuh akan darah menyugikan senyum dan tak lama suara tawa khas tuyul pun keluar dari mulutnya. Saat mulut tadi terbuka, gigi kecil tapi runcing yang berada di dalam mulut pun terlihat dan tak lupa darah yang terlihat di gigi dan mulutnya, menambah kesan jijik tersendiri. Fia menatap ke sosok tadi dengan raut wajah menahan mual.Sosok tadi mulai ban
“Akan kucoba” balas Fia dengan nada suara pasrah.Fia mulai menghentikan langkahnya dan matanya menutup dengan sangat rapat. Mengendalikan gejolak jijik di benaknya.Tanpa Fia sadari, sosok tuyul tadi sudah berada di depannya dengan senyum lebar.“Kakak tertangkap” ucap sang tuyul sambil memegang tangan Fia dengan senyum puas.Fia sedikit menegang saat merasakan sentuhan di kulitnya, dengan perlahan dia mulai membuka matanya.“Lepas” ucap Fia setenang mungkin.“Kakak sudah kena, jadi kakak yang harus jaga” balas sang tuyul dengan gelengan cepat.“Saya masih ada urusan, lepas” ucap Fia dengan sorot mata tak berminat.“Tapi..” ucap sang tuyul dengan raut wajah sedih.“Berhenti bermain, saya masih ada urusan yang lebih penting” balas Fia dengan datar.“Baik” balas sang tuyul dengan raut wajah lesu.Mendengar jawaban sang tuyul ada rasa lega tersendiri dari dalam tubuh Fia. Dengan perlahan sang tuyul mulai melepaskan genggamannya dan berjalan menjauh dari Fia.Dengan senyum lega Fia mena
Fia kembali melanjutkan langkahnya dan sampailah dia di depan anak tangga menuju ke lantai tiga. Dengan perlahan dia mulai menaiki anak tangga tadi dan tanpa dia sadar matanya menatap ke arah gudang kecil yang ada di bawah anak tangga.Di sana dia melihat sosok besar hitam dengan bola mata merah bagaikan kelereng. Fia menatap ke arah sosok tadi dengan raut wajah tanpa minat.Sosok tadi menatap ke arah Fia dengan mata merahnya. Tanpa memedulikan sosok tadi, Fia kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.Dengan waspada Fia menatap ke sekelilingnya hingga langkahnya terhenti saat melihat perisai transparan di depannya.“Apa ini?” gumam Fia sambil menatap penghalang tadi. Dengan perlahan tangan Fia mulai terangkat dan semakin dekat dengan perisai tadi. Saat ujung telunjuknya menyentuh penyekat tadi, jarinya terasa tersengat aliran listrik.“Akh!” kejut Fia sambil menarik tangannya menjauh dari sana.Dengan raut wajah penuh tanya Fia menatap ke arah perisai tadi. Cukup lama Fia mena