Part 5 (Menukarnya Dengan Yang Palsu)
Aku berhenti disebuah toko perhiasan. Tekadku sudah bulat, tak akan kubiarkan dua orang itu bahagia. Apapun akan kulakukan agar mereka merasakan apa yang kurasakan sekarang. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti. Nanti jika waktunya sudah tepat.Buru-buru aku keluar dari mobil, mengayun langkah memasuki toko tersebut. Aku harus mendapatkan duplikat berlian itu, minimal berlian yang asli akan kujual dan kujadikan modal untuk memenuhi segala keperluanku. “Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu pegawai toko, aku mengangguk lalu mengeluarkan gawaiku dalam tas. Segera aku menyalakan benda pipih milikku, dan menunjukkan gambar cincin berlian yang ditaburi permata disekelilingnya pada pegawai toko.Wanita itu nampak berpikir, ia menatap teliti foto tersebut. “Boleh saya pinjam sebentar ponselnya, Mbak?” tanyanya, aku tersenyum tipis sembari memberikan ponselku padanya. Wanita berambut gelombang itu langsung mengeluarkan satu persatu cincin berlian dari etalase dan diperlihatkan padaku. Aku mengerutkan dahi, tak ada satupun yang sama dengan yang di foto. Padahal aku membutuhkannya untuk mempermalukan Mega.“Apa tak ada cincin yang sama seperti itu?” tanyaku lagi, pegawai toko menoleh. Beberapa detik kemudian ia mengeluarkan sebuah cincin lagi dari dalam etalase, dan diberikan padaku. “Ada Mbak cuman ini ga asli, kalau yang berlian asli mirip itu terbatas, Mbak.” jawabnya, aku menyeringai lebar, mataku berbinar penuh harap, ini yang kucari. Aku melihat foto itu, lalu menatap cincin ini. Sama persis, bedanya yang kupegang ini palsu, dan yang dibelikan Mas Hanzel itu asli.Kini tinggal bagaimana caraku menukar yang ini dengan yang asli.“Boleh, Mbak. Berapa ini harganya?”“Gak sampai 200 ribu, Mbak,” ucapnya. Aku mengeluarkan tiga lembar uang merah, lalu memberikannya pada pegawai toko.“Saya ambil yang ini aja, Mbak,” paparku, aku masukkan cincin tersebut ke dalam tas, kemudian berbalik badan dan bersiap pergi.“Eeeh, kembaliannya Mbak,” selanya, aku menengok kebelakang. “Ambil aja Mbak,” kataku dan langsung berjalan menuju mobil.Satu rencana akan berjalan. Masih ada rencana susulan yang siap dieksekusi.***Hari beranjak petang, sisa semburan mentari mulai menghilang diganti gelapnya malam. Aku sampai di rumah Mama tepat sesuai yang dijanjikan, jam 6 malam.Aku dengar deru mobil memasuki halaman rumah, saat kulihat dari samping ternyata mobil Mas Hanzel, itu tandanya pria itu tidak lebur. Lagi-lagi aku merasa dibodohi, tapi ya sudah lah akan ada masanya, aku lah yang membodohinya.Aku keluar bersamaan dengan Mas Hanzel yang membuka pintu mobilnya, pria itu sedikit terkejut kala melihatku. Tak langsung lama ia melempar kunci mobilnya padaku.“Ambil barang di bagasi, dan bawa masuk,” titahnya, aku memincingkan mata. Apa ia sedang menyuruhku?“Kenapa diam, ayo ambil,” tegurnya lagi, aku menghela napas berat. Mas Hanzel berdiri sambil menatapku dingin, tatapan itu tajam dan menawan. Ah, sial sekali hidupku. Dengan gontai aku menuju bagasi mobilnya, membuka dan segera mengeluarkan beberapa bingkisan yang biasa ia bawa untuk Mama.Saat hendak kututup, tak sengaja tanganku menyenggol sebuah kotak kecil, barang itu terjatuh tepat di kakiku.“Apa ini,” ucapku, aku meletakkan kembali bingkisan yang kupegang, lantas berjongkok dan mengambil barang itu.“Cepatan Kinan, nanti Mama nunggu,” teriak Mas Hanzel yang berdiri di ambang pintu, aku memegang jantungku yang berpacu dua lebih cepat, saking terkejutnya.“Iya Mas,” jawabku gugup, buru-buru aku mengambil kotak tersebut, dan sedikit mengintipnya.OMG!Aku melongo, bahkan kedua bola mataku hampir saja lompat keluar. Demi Tuhan, ini berlian yang Mega minta. Aku benar-benar mati kutu dibuatnya. Ternyata semudah ini menukarnya. Aku kira harus membuntuti Mas Hanzel terlebih dulu, ternyata tidak. Aku bersyukur pada Tuhan yang mempermudah rencana ku.Aku menoleh ke kiri, menengok kebelakang, memastikan tak ada satu pun orang yang melihatku. Setelah aman lekas aku mengeluar cincin palsu itu dari tasku, dan menukarnya.Tak boleh lama-lama nanti bisa curiga. Kataku dalam hati. Aku segera menutup kotak itu dan menaruhnya di tempat semula. Kemudian menghembuskan napas panjang. Oksigen di sekitar serasa menipis, padahal angin berhembus kesana kemari.“Lihat Mega, besok kamu akan kubuat malu habis. Arisan yang kamu pikir jadi ajang pamer, justru mempermalukan mu,” gumamku.Aku tersenyum puas, belum apa-apa saja aku sudah bahagia. Apa lagi melihat mereka menderita.Aku membawa bingkisan itu masuk ke rumah, sedangkan tangan kiriku membawa tas milikku. Aku melihat diruang tamu sudah ada Mama, Papa dan Mas Hanzel yang sedang berbincang-bincang.“Kinan,” sapa Mama, wanita paruh baya itu langsung berhambur memelukku. Aku meletakkan bingkisan itu di meja dan membalas pelukan Mama. Ia lah sosok yang menganggapku ada, tak seperti anaknya.“Apa kabar, Ma?” tanyaku, Mama merangkul pundakku. Ia membawaku duduk bergabung dengan yang lainnya. “Baik Kinan, Mama rindu kalian. Kamu kok jarang ke sini,” tutur Mama sedih, aku mengusap punggung tangannya. “Maaf ya Ma, Kinan dan Mas Hanzel sibuk. Tapi sekarang udah ga kok,” sanggahku sembari tersenyum manis. Aku melirik Mas Hanzel yang membuang pandangan ke arah lain. Astaga, pantas ia tak mengenaliku, melihatku saja ia jijik.“Kinan ada yang Mama mau omongin, dan ini penting,” bisik Mama, tubuhku seketika menegang mendengarnya. Apa yang ingin Mama katakan. Apa ia sudah tahu kelakuan anaknya selama ini.“Pa, Mama ke dapur dulu sama Kinan, mau siapin makan malam,” pamit Mama. Nampak Papa mengangguk. Bergegas Mama menarikku menuju dapur.Ada apa lagi ini?***Part 47 Selamat Jalan, Cinta! (Ending)Setibanya di rumah sakit, Hanzel langsung di tangani Dokter. Mengingat banyaknya darah yang keluar dari punggung suaminya membuat Kinan kalut. Ditambah lagi Hanzel tidak sadarkan diri, tangannya terasa begitu dingin.Tubuh Kinan masih menggigil, perempuan itu tak menyangka ternyata Stev memiliki niat buruk padanya. Kesempatan kabur yang ia rencanakan sekian lama kini justru jadi bumerang. "Tenangkan dirimu Kinan, Hanzel akan baik-baik saja. Dia orang yang kuat, dia pasti akan bertahan untukmu." Seketika Kinan menoleh, nampak Xaxier, sahabat suaminya itu berusaha menenangkannya. Sedangkan Blacke, pria itu menghubungi orang tua Hanzel. Manuela dan yang lainnya sibuk mengurus kekacauan di perusahaan Diego dan sebagiannya menjadi saksi di kantor polisi. Kinan menunduk, buliran bening mengalir deras dari pelupuk matanya. Bayangan Hanzel yang tertembak menari-nari dalam benaknya. Kenapa takdir begitu kejam padanya? Apa salahnya, kenapa sulit sekali i
Part 46 (Tameng Untuk Kesekian Kalinya)Mobil yang dikemudikan sopir Stev tiba-tiba saja menepi. Kinan terlonjak, matanya membulat sempurna. Ia seketika panik dan takut. Entahlah, ia merasakan ada kejanggalan di sini. "Kenapa berhenti Stev?" Kinan menoleh, ia langsung menyerbu Stev dengan pertanyaan. Rasa cemas datang membabi buta membuatnya bertanya-tanya."Tunggu aku di sini, aku akan urus orang yang mengikuti kita," jawab Stev. Dengan cepat Kinan menggelengkan kepalanya. Ia berusaha menahan Stev turun, Kinan takut ditinggal sendirian. Ia tidak mau kejadian dulu terulang kembali."Jangan, kumohon tetaplah di sini. Aku takut, Stev," lirih Kinan. "Kamu tidak perlu khawatir, kamu kunci mobilnya dari dalam. Biar saya sama bos yang urus mereka." Anak buah Stev menyahut, menyakinkan Kinan kalau semuanya akan baik-baik saja. Sedikit pun Kinan tak percaya. Ia sudah beberapa kali berurusan dengan maut, dan terakhir Hanzel lah yang menyelamatkannya. Selalu Hanzel yang datang di saat ia se
Part 45 (Dalam Bahaya!) Aku melihat Kinan pergi dengan seorang pria, wajahnya tidak terlalu jelas. Bisa tolong beritahu Hanzel." Blacke menghubungi Xaxier, pasalnya ia sudah menelepon Hanzel namun tidak diangkat. Pesan yang ia kirim pun masih belum dibaca, itu tandanya ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi di dalam. Tidak mungkin, Kinan pergi tanpa sepengetahuan Hanzel. Pria itu sangat posesif sekali pada istrinya. Pikir Blacke. "Seorang pria? Sialan, di sini kacau C'k!" Blacke mengerutkan kening, ia menatap Kinan dari kejauhan. Kacau? Benar dugaannya, ada sesuatu yang terjadi di acara pesta perusahaan? tanya Blacke pada dirinya sendiri. "Kurasa ada yang tidak beres," sambungnya masih mengamati Kinan yang hendak masuk mobil. "Coba kamu ikuti, aku akan beritahu Hanzel. Share lokasimu nanti." "Oke." Setelah mengatakan kalimat singkat itu, dengan sepihak Blacke mematikan sambungan telepon. "Mau kemana Kinan? Dari gelagatnya, ada yang tidak beres." Blacke menganto
Part 44 (Di ujung Kisah)Kekacauan tak terelakkan lagi. Makian, umpatan hingga sumpah serapah menggema di tempat ini. Suara ricuh mengalahkan lagu yang berdentum keras. Para tamu undangan menatap Hanzel sinis, guratan kekecewaan terpancar di wajah mereka. Tidak ada yang menyangka, putra seorang Diego ternyata memperlakukan istrinya dengan amat buruk. Diego masih menghajar Hanis. Suara pekikan hingga jeritan dari Mega tidak membuat orang di sekeliling iba. Mereka membiarkan pria tua itu melampiaskan amarahnya. Kinan memang bukan anaknya, bukan pula terlahir dari rahim istrinya. Namun, ia sudah berjanji akan menjaga Kinan seperti yang ia utarakan dulu pada sahabatnya."Lepaskan Hanis, jangan sakiti dia, Om!""Aku bilang lepaskan!"Dari kejauhan Kinan menyaksikan semuanya. Sorot kesakitan makin menyala di matanya. Ia berpaling saat Hanzel menoleh kebelakang. Mencari istrinya ditengah kerumunan. "Aku ingin pergi. Apa masih ada yang belum selesai?" tanya Kinan. Banyak yang belum sele
Part 43 (Pertunjukan Di mulai)Kegaduhan terjadi, tamparan dari Diego membuat para tamu undangan tercengang. Betapa hancurnya hati pria paruh baya itu, ia melihat dengan matanya sendiri putra yang selama ini Diego bangga-banggakan ternyata bajing*n. Ketakutannya selama ini telah menjadi nyata, Diego tak mengira hubungan putranya dengan simpanannya itu sampai sejauh ini. Benar-benar memalukan. Dada Kinan sesak, matanya buram oleh lelehan kristal. Sekuat apa pun ia menahan perasaannya, dirinya tetap kalah. Pertahanannya runtuh. Beruntung Stev segera memegang kedua pundak Kinan saat wanita itu hendak luluh ke lantai. Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini, apa salahku? Kenapa aku tidak pernah bahagia, jeritnya dalam hati. "Pa—""Cukup Hanzel, apalagi yang ingin kamu jelaskan. Lihat video itu baik-baik, kurang apa Kinan hah, papa benar-benar menyesal. Menjodohkan kamu dengan berlian jika pada akhirnya kamu tetap buang." Diego tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, ia bahkan tidak berani mel
Part 42 (Siapa Yang Salah)Kinan mengerakkan bola matanya, mencari sosok pria bernama stev. Sebentar lagi acara akan dimulai, tapi Kinan belum juga bertemu dengan Stev. Apa yang pria itu rencanaka membuatnya dirundung rasa penasaran. Terlebih kalimat yang Mega ucapkan terngeliang di kepalanya."Kamu sedang cari siapa, Kinan?" Hanzel membelai lembut pipi istrinya. Seketika lamunan wanita itu buyar. "Bukan apa-apa, Mas," jawab Kinan gugup. Dari ekor matanya Hanzel menatap istrinya, pria berbalut kemeja itu mencoba mencari kebohongan di mata Kinan, pasalnya wanita itu sejak tadi bergerak gelisah. "Kamu yakin?" Kinan mendongak, tatapan matanya langsung bersibohok dengan netra tajam Hanzel. "Iya Mas, bukan apa-apa. Aku hanya gugup saja," alibi Kinan.Hanzel mengatupkan mulutnya, ia menahan ribuan tanya yang membelit benaknya. Ditariknya kursi, lantas mempersilakan istrinya duduk. "Kamu butuh sesuatu?""Tidak,""Ingin minum?""Aku tidak haus Mas,""Baik lah." Hanzel mendorong kursi m