Part 4 (Mega Meminta Berlian)
Menjelang sore aku baru tiba di kantor Mas Hanzel. Perlu waktu tiga puluh menit dari caffe menuju Mas Hanzel. Dan beruntung Mas Hanzel masih di sini. Tadi aku meluangkan waktu sebentar membeli kue kering kesukaannya. Walaupun aku tak yakin ia mau menyentuh kue ini.Saat memasuki koridor, aku langsung di sambut ramah oleh beberapa karyawan, ada yang menyapa, tersenyum dan ada pula yang sinis. Aku membalas dengan senyuman. Memang bisa apalagi aku ini.Aku memasuki lift khusus menuju ruangan Mas Hanzel. Semenjak menikah kantor ini di pegang penuh oleh Mas Hanzel. Entah lah apa yang terjadi dengan keluarganya, yang jelas Mas Hanzel tak akan mendapatkan bagian sepeserpun pun jika ia masih lajang.Sekeluarnya dari lift, aku hanya perlu berjalan beberapa langkah. Membuka pintu perlahan, kemudian masuk.Ruangannya kosong?Dimana penghuninya, eh maksudku Mas Hanzel?Aku berderap mendekati meja kerjanya, menaruh bingkisan. Kulihat ponsel Mas Hanzel tergelatak di meja,itu tandanya ia lupa membawanya, atau sengaja tertinggal. Nampak benda pipih itu bergetar beberapa kali.Cek? Tidak? Ya!Cek lah, siapa tahu ada hal yang perlu kutahu.Ini privasi Kinan, tapi mau bagaimana lagi aku butuh.Sesekali gapapa, toh Mas Hanzel belum tentu tahu.Dengan tangan gemetar aku memegang ponsel Mas Hanzel. Sial, di sandi. Apa kira-kira polanya.Aku sudah mencoba dua kali, ini yang terakhir. Apa mungkin huruf M—Mega.Akan kucoba.Baiklah Kinan, mentalmu harus sekeras kaca jika berhasil membuka nya. Batinku.Jari lentikku kembali bergerak di atas layar gawai Mas Hanzel.Seketika terbuka, ulu hatiku langsung nyeri menyaksikan hal ini.Sebucin itu kah Mas Hanzel pada Mega, hingga sandi dan wallpaper benda pipih miliknya selalu tentangnya.Kamu beruntung Mega, tapi jangan bangga. Belum tentu kamu akan memilikinya seutuhnya.Aku mendaratkan pantatku di kursi Mas Hanzel, mulai membuka satu persatu aplikasi. Dari yang ringan sampai yang menimbulkan tusukan belati menikam dada. Berharap pria itu tak datang sampai aku selesai.[Sayang aku pengen punya berlian ini, besok teman-teman ngajak arisan.] Begitulah kira-kira isi pesan Mega dan Mas Hanzel. Mega menyertakan gambar berlian yang ia inginkan. Enak saja aku Istrinya saja tak pernah di belikan berlian. Lah kamu, jangan harap.Tanpa pikir panjang aku mengirim foto berlian itu ke nomorku. Nanti aku akan mencari berlian palsu yang mirip dengan ini. Tunggu saja aku akan mempermalukan mu, Mega.[Besok pagi yah, Mas kerumah mu. Nanti malam baru Mas ambil.] Jawab Mas Hanzel. Aku melongo membaca deretan kata itu. Saat aku kirim pesan ia selalu menjawab, Y, oke, Hm, benar kan orang spesial itu di perlakukan berbeda.[Emang ga bisa yah, nanti malam sekalian kamu antar?] Balasan dari Mega membuat darahku mendesir sampai ubun-ubun. Sudah minta gratis, malah ngelujak. Dasar ga tau diri![Ga bisa sayang, nanti malam Mama ngajak makan malam.][Beneran ya besok. Janji ya sayang, awas lho kalo ga! Ini penting soalnya buat arisan, teman-teman lama pada kumpul. Istrimu yang cupu itu juga di undang.][Kinan? Ngapai dia ikut?] Aku langsung menekan tombol tengah di gawai Mas Hanzel. Tak kuat lagi membaca lanjutan ucapan Mas Hanzel. Bisa-bisanya ia menghina Istrinya, wanita yang tak pernah bosan menunggunya pulang kerja. Wanita yang selama ini mengurusnya, menyiapkan segala keperluannya. Sudahlah, lebih baik aku memikirkan, waktu yang pas agar rencana ku cepat berjalan, dari pada mengukit hal-hal yang justru membuatku semakin terluka.Aku menaruh kembali ponsel Mas Hanzel pada tempatnya, sebelum sang empu datang dan malah memergoki kelakuanku.Nanti malam aku ga boleh jauh-jauh dari Mas Hanzel. Aku harus mengawasi gerak-geriknya supaya aku bisa menukar berlian itu dengan palsu. Biar mampus Mega.****Saking lamanya menunggu Mas Hanzel kembali aku sampai tertidur. Aku menggeliat, mengucek mataku yang masih berat. Menyelami alam mimpi memang menyenangkan. Beberapa hari terakhir pola tidurku baru kembali normal, setelah beberapa kali aku dihantui mimpi buruk.Aku melirik ke samping, tunggu. Aku di mana? Bukannya tadi aku ketiduran di kursi. Lantas ini kenapa jadi di sofa.Menyadari ada yang aneh, aku refleks bangun. Mencari ada sosok lain kah di tempat ini. “Udah bangun,” aku setengah terkejut mendengar suara itu. Suara berat nan irit milik Mas Hanzel.“Ya,” aku menjawab sekadarnya, entah lari kemana perasaanku yang dulu menggebu itu, kini malah surut. Justru yang tertanam hanya lah rasa benci, naluri balas dendam, dan lupakan apa yang terjadi.“Ini kamu yang bawa?” tanya Mas Hanzel sambil memperlihatkan kue yang tadi kubawa. Kue itu tinggal beberapa biji saja, syukurnya ia mau makan. Kenapa coba aku tak mencampurkannya dengan sianida. Membuat peristiwa langkah ini semakin berkenan untuknya.Habis kopi sianida, sate sianida, terbitlah kue sianida.“Yups, itu tadi aku yang bawa, mampir di jalan buat beli kue itu.” aku masih berdiri, memperbaiki letak kacamataku. Entah kapan Mas Hanzel akan menatapku jika bicara. Awas saja nanti, akan kubuat pria sialan itu mengemis cinta padaku, supaya ia bisa merasakan di terbangkan tinggi lalu dihembaskan ke bumi. Meski bukan dengan wujud Kinan yang ini.Setelah percakapan itu, suasana diselimuti keheningan. Mas Hanzel bergelut dengan berkas-berkas yang masih menumpuk. Sedangkan aku? Memandanginya yang tak pernah menganggapku ada.“Pulang aja, nanti saya mau lembur,” katanya memijat pangkal hidungnya. Dua tahun bukan waktu yang lama untuk mengenal tabiat Mas Hanzel. Jika lelah ia akan memijat pangkal hidung atau tidak memijat pelipisnya. Namun, tak satupun sikapku yang ia tahu.“Bukannya nanti malam, kita ke rumah Mama ya, Mas?” tanyaku menahan diri, ingin sekali aku menampar wajahnya. Namun, tahan, Kinan. Belum waktunya. Harus dengan cara elegan. Supaya apa? Supaya ada efek jera.“Hmzz,” sontak aku tercengang mendengar jawaban singkatnya, dengkusan kasar tak mampu ku sembunyikan. Baiklah lebih baik aku pulang dan mencari duplikat yang sama persis dengan berlian itu. Daripada di sini, dan kelepasan.Next?Tinggalkan komentar.Part 47 Selamat Jalan, Cinta! (Ending)Setibanya di rumah sakit, Hanzel langsung di tangani Dokter. Mengingat banyaknya darah yang keluar dari punggung suaminya membuat Kinan kalut. Ditambah lagi Hanzel tidak sadarkan diri, tangannya terasa begitu dingin.Tubuh Kinan masih menggigil, perempuan itu tak menyangka ternyata Stev memiliki niat buruk padanya. Kesempatan kabur yang ia rencanakan sekian lama kini justru jadi bumerang. "Tenangkan dirimu Kinan, Hanzel akan baik-baik saja. Dia orang yang kuat, dia pasti akan bertahan untukmu." Seketika Kinan menoleh, nampak Xaxier, sahabat suaminya itu berusaha menenangkannya. Sedangkan Blacke, pria itu menghubungi orang tua Hanzel. Manuela dan yang lainnya sibuk mengurus kekacauan di perusahaan Diego dan sebagiannya menjadi saksi di kantor polisi. Kinan menunduk, buliran bening mengalir deras dari pelupuk matanya. Bayangan Hanzel yang tertembak menari-nari dalam benaknya. Kenapa takdir begitu kejam padanya? Apa salahnya, kenapa sulit sekali i
Part 46 (Tameng Untuk Kesekian Kalinya)Mobil yang dikemudikan sopir Stev tiba-tiba saja menepi. Kinan terlonjak, matanya membulat sempurna. Ia seketika panik dan takut. Entahlah, ia merasakan ada kejanggalan di sini. "Kenapa berhenti Stev?" Kinan menoleh, ia langsung menyerbu Stev dengan pertanyaan. Rasa cemas datang membabi buta membuatnya bertanya-tanya."Tunggu aku di sini, aku akan urus orang yang mengikuti kita," jawab Stev. Dengan cepat Kinan menggelengkan kepalanya. Ia berusaha menahan Stev turun, Kinan takut ditinggal sendirian. Ia tidak mau kejadian dulu terulang kembali."Jangan, kumohon tetaplah di sini. Aku takut, Stev," lirih Kinan. "Kamu tidak perlu khawatir, kamu kunci mobilnya dari dalam. Biar saya sama bos yang urus mereka." Anak buah Stev menyahut, menyakinkan Kinan kalau semuanya akan baik-baik saja. Sedikit pun Kinan tak percaya. Ia sudah beberapa kali berurusan dengan maut, dan terakhir Hanzel lah yang menyelamatkannya. Selalu Hanzel yang datang di saat ia se
Part 45 (Dalam Bahaya!) Aku melihat Kinan pergi dengan seorang pria, wajahnya tidak terlalu jelas. Bisa tolong beritahu Hanzel." Blacke menghubungi Xaxier, pasalnya ia sudah menelepon Hanzel namun tidak diangkat. Pesan yang ia kirim pun masih belum dibaca, itu tandanya ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi di dalam. Tidak mungkin, Kinan pergi tanpa sepengetahuan Hanzel. Pria itu sangat posesif sekali pada istrinya. Pikir Blacke. "Seorang pria? Sialan, di sini kacau C'k!" Blacke mengerutkan kening, ia menatap Kinan dari kejauhan. Kacau? Benar dugaannya, ada sesuatu yang terjadi di acara pesta perusahaan? tanya Blacke pada dirinya sendiri. "Kurasa ada yang tidak beres," sambungnya masih mengamati Kinan yang hendak masuk mobil. "Coba kamu ikuti, aku akan beritahu Hanzel. Share lokasimu nanti." "Oke." Setelah mengatakan kalimat singkat itu, dengan sepihak Blacke mematikan sambungan telepon. "Mau kemana Kinan? Dari gelagatnya, ada yang tidak beres." Blacke menganto
Part 44 (Di ujung Kisah)Kekacauan tak terelakkan lagi. Makian, umpatan hingga sumpah serapah menggema di tempat ini. Suara ricuh mengalahkan lagu yang berdentum keras. Para tamu undangan menatap Hanzel sinis, guratan kekecewaan terpancar di wajah mereka. Tidak ada yang menyangka, putra seorang Diego ternyata memperlakukan istrinya dengan amat buruk. Diego masih menghajar Hanis. Suara pekikan hingga jeritan dari Mega tidak membuat orang di sekeliling iba. Mereka membiarkan pria tua itu melampiaskan amarahnya. Kinan memang bukan anaknya, bukan pula terlahir dari rahim istrinya. Namun, ia sudah berjanji akan menjaga Kinan seperti yang ia utarakan dulu pada sahabatnya."Lepaskan Hanis, jangan sakiti dia, Om!""Aku bilang lepaskan!"Dari kejauhan Kinan menyaksikan semuanya. Sorot kesakitan makin menyala di matanya. Ia berpaling saat Hanzel menoleh kebelakang. Mencari istrinya ditengah kerumunan. "Aku ingin pergi. Apa masih ada yang belum selesai?" tanya Kinan. Banyak yang belum sele
Part 43 (Pertunjukan Di mulai)Kegaduhan terjadi, tamparan dari Diego membuat para tamu undangan tercengang. Betapa hancurnya hati pria paruh baya itu, ia melihat dengan matanya sendiri putra yang selama ini Diego bangga-banggakan ternyata bajing*n. Ketakutannya selama ini telah menjadi nyata, Diego tak mengira hubungan putranya dengan simpanannya itu sampai sejauh ini. Benar-benar memalukan. Dada Kinan sesak, matanya buram oleh lelehan kristal. Sekuat apa pun ia menahan perasaannya, dirinya tetap kalah. Pertahanannya runtuh. Beruntung Stev segera memegang kedua pundak Kinan saat wanita itu hendak luluh ke lantai. Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini, apa salahku? Kenapa aku tidak pernah bahagia, jeritnya dalam hati. "Pa—""Cukup Hanzel, apalagi yang ingin kamu jelaskan. Lihat video itu baik-baik, kurang apa Kinan hah, papa benar-benar menyesal. Menjodohkan kamu dengan berlian jika pada akhirnya kamu tetap buang." Diego tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, ia bahkan tidak berani mel
Part 42 (Siapa Yang Salah)Kinan mengerakkan bola matanya, mencari sosok pria bernama stev. Sebentar lagi acara akan dimulai, tapi Kinan belum juga bertemu dengan Stev. Apa yang pria itu rencanaka membuatnya dirundung rasa penasaran. Terlebih kalimat yang Mega ucapkan terngeliang di kepalanya."Kamu sedang cari siapa, Kinan?" Hanzel membelai lembut pipi istrinya. Seketika lamunan wanita itu buyar. "Bukan apa-apa, Mas," jawab Kinan gugup. Dari ekor matanya Hanzel menatap istrinya, pria berbalut kemeja itu mencoba mencari kebohongan di mata Kinan, pasalnya wanita itu sejak tadi bergerak gelisah. "Kamu yakin?" Kinan mendongak, tatapan matanya langsung bersibohok dengan netra tajam Hanzel. "Iya Mas, bukan apa-apa. Aku hanya gugup saja," alibi Kinan.Hanzel mengatupkan mulutnya, ia menahan ribuan tanya yang membelit benaknya. Ditariknya kursi, lantas mempersilakan istrinya duduk. "Kamu butuh sesuatu?""Tidak,""Ingin minum?""Aku tidak haus Mas,""Baik lah." Hanzel mendorong kursi m