Part 3 (Pemberian Stev)
Aku menarik kursi, lantas duduk di sana. Menyatukan kedua tanganku sambil menelungkupkan wajahku di meja, menahan isak tangis agar tak terdengar. Siapa yang akan memelukku di masa sulit seperti ini?Keluarga?Aku tak seberuntung orang diluar sana. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal, waktu itu aku baru berusia sepuluh tahun. Hanya selang tiga bulan selepas kepergian Ayah dan Ibu, kakak lelakiku merenggut nyawa akibat motor yang dibawanya menabrak sebuah truk. Aku tak menyangka akan sendirian, hal yang paling ku takuti sejak aku kecil.Kinan kecil tak mengerti apapun, ia hanya berusaha untuk tetap bertahan. Menangis saat kesepihan, dan membenci keramaian.Aku bersyukur kala itu, bisa bertemu dengan seseorang yang membawaku tinggal di panti, selama itu pula aku tak kesepian, dan mengantungkan hidupku di sana. Kinan hanya lah sosok yang mencoba menghibur diri di tenang ke sendirian. Dan parahnya suamiku sendiri tak dapat mengenaliku.Kapan terakhir Mas Hanzel menyentuhku? Jawabannya dua tahun yang lalu, ketika ia tak sengaja pulang dengan keadaan mabuk.Entah di anggap apa aku selama ini olehnya? Barang? Remukan peyek? Atau batu loncatan.Aku berusaha untuk tidak menangis, sesakit apapun itu aku berusaha menguatkan diri, tetap saja lelehan kristal ini luruh. Benteng yang kubangun sekeras baja seketika runtuh. Dan pada akhirnya aku akan tetap rapuh. Apalagi saat mengetahui lelaki yang amat kucintai ternyata mencintai sahabatku sendiri. Sosok yang selama sembilan tahun terakhir mendampingiku. Bayangkan betapa sakitnya? Sembilan tahun aku bersahabat dengan Mega? Ia tahu bagaimana hidupku? Sehancur apa aku? Tapi —ya sudahlah. Mungkin ini memang sudah jalannya.“Ayah peluk Adek, bentar aja. Adek ga kuat di sini,” bisikku dalam hati. Di kondisi seperti ini aku merindukan keluarga, bagaimana ayah yang selalu memelukku kapanpun. Bagaimana Ibu yang selalu membacakan ku dongeng sebelum tidur. Atau Abang Skala yang hobi membuatku menangis, tapi tak rela jika aku menangis karena alasan lain. Aku merindukan mereka, sangat. Mereka berkumpul, dan aku sendiri di sini. Ya Tuhan, kendalikan diriku. Jangan biarkan aku semakin lemah. Kuseka kasar pipiku, lalu menyandarkan punggung pada kursi. Berulangkali aku menarik napas berat, mencoba memendam segala rasa sakit yang menggerogoti jiwa. Kuputuskan memasukkan kartu memberian Mas Hanzel dalam tas. Meski aku sudah tahu nomor telepon dan nama lengkapnya. Apa ini, untuk dilirik suamiku sendiri, aku harus menjadi orang lain. Berpenampilan se-menarik mungkin agar ia mau menyuguhkan secarik senyum meski canggung.Kupejamkan mata sejenak, untuk saat ini mengesampingkan rasa sakit jauh lebih baik. Aku harus fokus pada misiku, memberi dua parasit itu pelajaran berharga, bila perlu sampai mereka sulit melupakannya.Tak berselang lama Steven datang, ia membawa paper bag seperti yang kuminta. Aku tak mengenal terlalu jauh pria ini, tapi justru dia lah yanh menampakan diri saat aku benar-benar butuh dorongan.“Apa kau baru saja selesai menangis Kinan?” tanyanya, lebih tepatnya interogasi. Ia menarik kursi di depanku, kemudian duduk sambil menatapku lekat.Aku menggeleng sebagai jawaban, cukup diriku saja yang tau, seberapa terpuruknya jiwaku sekarang. Karena banyak orang hanya ingin tahu, mereka tak ingin perduli.“Saya baik-baik saja Stev,” jawabku memasang senyum palsu. Aku mengalihkan perhatianku pada paper bag tersebut, satu dress berwarna biru laut, sesuai yang biasanya kupakai. Ngomong-ngomong Stev ini punya butik di dekat cafe ini. Aku tak mungkin pergi ke kantor Mas Hanzel dengan baju yang sama, walaupun masih layak pakai. Meski Mas Hanzel belum tentu mengenali wajahku sih. Buktinya aku sedekat tadi dengannya, ia masih tak bisa membedakan.Setiap hari aku selalu mengirim makan siang ke kantor, berharap Mas Hanzel mau menyantapnya. Dan beberapa hari yang lalu aku baru disadarkan kenyataan. Makanan yang kukirim selama ini tak pernah ia sentuh, selalu diberikan pada satpam atau karyawan lain. Bahkan tak jarang langsung di buang.Ternyata sesakit ini Mas menjadi Istrimu.“Mulut bisa berbohong, tapi matamu tidak, Kinan.” lamunanku buyar mendengar ucapan Stev. Aku tetap memperlihatkan baik-baik saja. “Im fine, Stev.”“Baiklah mari bicara layaknya teman, jangan terlalu formal. Kita bisa pakai kosakata lo-gue kalau mau?” tawar Stev, aku mengulurkan tangan ke samping, merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Aku mengambil beberapa lembar uang berwarna merah lantas menaruhnya di meja, bermaksud memberinya pada Stev.“Oke gue setuju. Makasih juga ya, oh ya ini uangnya. Gue baru kenal Lo, tapi Lo dah baik banget” jawabku antusias. Kening Stev mengerut, menandakan ketidaktahuannya. Aku lupa, pria ini telmi. Ingatkan diriku jika Stev kurang peka.“Ini uang untuk dress ini Stev, ambil lah. Dan sekali lagi terimakasih,” ulangku, Stev manggut-manggut. Ia menolak pemberianku secara halus.“Tidak perlu Kinan, gue kasih itu sebagai tanda pertemanan kita. Kalo Lo butuh bantuan, datang ke gue. Apapun selama gue bisa bantu, gue bakal lakuin.” “Pasti Stev, apapun itu jika gue butuh pasti bakalan ngabarin Lo. Makasih banget, gue ga bisa bayangin sih seberapa hancur gue nanti. Gue benar-benar bersyukur, Tuhan tunjuki yang ga baik. Meski baru sekarang,” baru kali ini aku mengucapkan kalimat panjang lebar pada Stev. Pria itu tertawa kecil, ia mengacungkan jempolnya.“Apapun yang di rencanakan Tuhan, itu pasti yang terbaik, Kinan. Gue tau rasanya pasti sakit, tapi gue percaya elo wanita kuat, elo berhak dapatin pria yang baik,” ungkap Stev, aku mengamini kalimat itu. “Gue merasa menjadi orang paling bodoh di dunia setelah tahu, gue mencintai orang yang salah,” candaku, Stev manggut-manggut. Itu tandanya aku memang bodoh.“Dan Lo jauh lebih bodoh lagi kalau diam, Kinan.” Aku tak Stev tertawa bersama, tiga menit kemudian. Ia pamit ingin kembali ke kantor.“Gue cabut duluan, ada meeting,” pamitnya, aku menunduk lesu mendengar penuturan Stev. Pria itu beranjak dari kursi, aku menatapnya sosoknya hingga hilang dibalik pintu.Segera aku meraih paper bag, dan berjalan menuju toilet. Aku harus ke kantor Mas Hanzel. Siapa tahu ada informasi yang bisa kudapatkan. Minimal aku bisa memperkecil kegagalan dendamku nanti.Buru-buru aku mengganti pakaian, memakai kembali kacamataku. Menghapus setiap riasan yang ada di wajahku. Dan tak lupa mengepang rambutku. Banyak rencana yang telah kususun, hanya tinggal di eksekusi. Mari berjuang Kinan, ada dua orang yang perlu kamu hancurkan.Next?Part 31 (Tegang!) Aku menarik napas dalam-dalam, tatkala Mas Hanzel membawaku masuk ke dalam bilik kamar yang ada di ruangannya. “Ngapain kamu tarik aku ke sini, kita kedatangan tamu loh Mas,” ucapku memarahinya. Makin lama, sikap Mas Hanzel makin menyebalkan. Kutepis tangannya kasar, sambil terus melototinya. Sampai segitunya dia cemburu? istrinya sendiri di sembunyikan seperti ini, di larang pergi ke mana-mana, kebebasan istrinya serasa direnggut paksa oleh egonya sendiri. “Tunggu di sini, biar saya yang temui stev,” katanya, keningku langsung mengernyit. Apa aku tak salah dengar? “Lah, bukannya Stev mau ketemu aku yah Mas. Bukan kamu, ngapain jadi kamu yang temui dia.” Mas Hanzel berdecak kesal, sorot matanya kian tajam. Ia mengayun langkah mendekatiku, sejurus kemudian aku mundur. “Memangnya kenapa? Tidak ada salahnya bukan. Kamu istri saya Kinan, suka-suka saya dong melarang kamu dekat dengan siapa. Jadi kamu enggak usah pecicilan,” omelnya, perlu aku tandai lagi, ini su
Part 30 (Kedatangan Stev?) POV Kinan. “Mas, pulang yuk.” Aku berusaha merayu Mas Hanzel, berbagai macam rayuan pun telah aku keluarkan. Namun, nihil, tidak ada satu pun rayuan yang berhasil meluluhkan hati Mas Hanzel, suamiku tetap pada pendiriannya. Jangankan pulang, diijinkan keluar dari ruangnya pun tidak. Aku bangkit dari sofa, setelah berjam-jam duduk membuat pantatku panas. Kutepuk dress yang kukenakan, kemudian kembali memandangi suamiku yang dinginnya setara dengan es. Dengan gontai aku berjalan mendekati Mas Hanzel, memeluknya dari belakang. Bisa kurasakan suamiku sedikit menegang, namun, hanya beberapa detik ia kembali tenang. “Mas, aku bosan cuman duduk dan perhatiin kamu kerja. Boleh ya kalau pulang,” kataku memanyunkan bibir. Pria yang berstatus suamiku tersebut hanya bergeming, seolah menulikan pendengaran mengenai keluhan istrinya ini. Kuhentakan kaki, rasa kesal sudah membuncah dada. Tidak di tanggapi membuatku ingin memakan orang. Aku heran, demit mana yang su
Part 29 (Putus & Posesif) “Rekayasa kamu bilang! Hanya orang bod*h yang percaya omong kosongmu, Mega! Siapa pria ini! katakan, C'k!” tanya Hanzel, raut wajahnya sudah menunjukan betapa murkanya pria itu sekarang. Ia tidak tahu pasti, dengan siapa Mega masuk ke dalam kamar hotel, dan apa yang wanita itu lakukan di sana. Yang jelas, foto yang ia dapatkan sudah membuat kepercayaan seorang Hanzel goyah terhadap kekasihnya. “Katakan Mega! Atau-” “Atau apa Mas!”potong Mega, napas wanita itu ikutan memburu, dadanya naik turun. Seisi kepalanya ingin meledak, lantaran pria berstatus kekasihnya itu terus memojokkannya. “Kita usai sampai di sini, ya kita akhiri hubungan ini,” ujar Hanzel menekan setiap kata yang ia lontarkan. Bagai dilempar granat tetap mengenai jantungnya, bagian itu mencelos tanpa ampun. Mega tertegun, ia tidak bisa berbohong, kalau dirinya sungguh terkejut. Seorang Hanzel, memilih mengakhiri hubungan dengannya. Yang benar saja, ini tidak boleh terjadi. Dulu Hanzel yan
Part 28 (Pertengkaran?) Hanzel mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Mega. Pikirannya berkecamuk kemana-mana. Tak bisa pria itu elak, sebagian besar didominasi rasa penasaran. Setibanya di depan rumah Mega, yang tak lain adalah kekasih gelapnya itu. Gegas Hanzel turun dari mobilnya, pandangan matanya tak sengaja melihat mobil berwarna hitam itu terparkir disebelah mobil Mega. Dari lat mobilnya saja, seperti tidak asing baginya. Tapi mobil siapa? Tak mau ambil pusing, Hanzel meraih gagang pintu, dan memutarnya. Di kunci? Pikirnya. Apa Mega sedang tidak ada di rumah, atau kekasihnya itu masih di hotel tadi. Sialan! Hanzel mendadak teringat omongan Kinan yang mengatakan, jika Mega pergi bersama pria lain. Menolak percaya, tapi istrinya tak mungkin berbohong. Hanzel berinisiatif mengintip dari celah jendela, nampak sofa ruang tamu bergoyang-goyang, tidak jelas, karena hanya terlihat sedikit. Hanzel semakin emosi, ia lantas merogoh ponselnya, berjalan mondar-ma
Part 27 (Kenyataan Macam Apa Ini?)*** “Jawab Pa, kenapa kalian berdua malah diam? Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyikan selama ini? siapa Kinan, sebenarnya?” tanyaku penuh penekanan, aku menatap mereka berdua lekat. Udara malam kian terasa menusuk tulang, Papa mengecilkan AC, bukan berarti suasana diruangan ini ikut kembali tenang. “Kinan Istrimu, Hanzel,” jawaban Papa membuatku tidak puas. Selalu kalimat itu yang menjadi andalan mereka. Siapa yang bertanya kalau Kinan bukan istriku, kami menikah lebih dari dua tahun. “Kalian ini sampai kapan berbohong, aku bukan lagi anak kecil yang percaya omong kosong.” Tarikan napas panjang Papa hembuskan, sedangkan Mama terus menatap suaminya dengan perasaan yang entah, aku sendiri tak tahu. “Gimana Pa, kita jujur aja, dari pada nanti terjadi sesuatu dengan Kinan,” ungkap Mama, sesaat Papa bergeming, lalu akhirnya mengangguk setuju. Baiklah, obrolan serius akan di mulai, aku menyimak baik-baik apa yang hendak mereka ucapkan. “Papa ju
Part 26 (Penyelidikan Hanzel)**** Dahiku mengerut, nomor ini? Bukannya ini nomor Mega? Aku segera menyalin nomor tersebut, untuk memastikan ini benar nomor Mega atau hanya dugaanku saja. Kalau memang benar ini nomor Mega, ada hubungan apa ia dengan pria misterius itu, jangan bilang, kalau dua pria tadi itu suruhan Mega? Tapi untuk apa?Apa karena Mega cemburu dengan Kinan? Pikirku. Aku mengetik nomor tersebut di log panggilan, dan seketika mataku melebar kala nama Mega muncul di sana, tidak salah, ini memang nomor Mega. Aku mengingat betul angka terakhir nomor tersebut. Shit, apa maksud dari semua ini? Siapa Mega sebenarnya? Berbagai pertanyaan pun akhirnya timbun di benakku. Aku merasa seperti tengah dipermainkan takdir, dua tahun aku menikah dengan Kinan, dan satu tahun menjalin hubungan dengan Mega. Tapi kenapa baru sekarang, aku merasakan keganjalan diantara keduanya, terlebih Papa memberiku pilihan yang tak masuk akal. Intinya, aku harus memilih diantara, Kinan? atau Meg