Beberapa anak tumbuh dengan lagu pengantar tidur. Helena Morgan tumbuh dengan suara peluru.
Bagi sebagian anak, malam adalah tempat mimpi, tapi bagi Helena, malam adalah tempat dunia runtuh... satu dentuman dalam satu napas. Langit Velmora malam itu hitam pekat, seolah menyerap semua cahaya dan harapan. Bintang-bintang lenyap di balik asap mesiu, dan langit tak menawarkan ketenangan—hanya gema dentuman dari wilayah perbatasan antara Morgan dan Xavier. Di ruang bawah tanah yang sempit dan lembap, bau besi, tanah basah, dan peluh menyatu dalam udara yang nyaris tak bisa dihirup. Helena kecil duduk gemetar, memeluk boneka lusuh yang sudah kehilangan sebelah matanya. Tubuh mungilnya bersandar pada tembok dingin, tapi bahkan dinding itu tak cukup untuk meredam suara ledakan dari atas tanah. Dentuman peluru terdengar lagi. Dan saat itu terjadi—sesuatu di dalam dirinya retak. Tangannya mencengkeram boneka makin erat. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Nafasnya memburu. Dengung aneh memenuhi telinganya, seperti dunia menyempit dalam satu nada tinggi yang menusuk. Dunia tiba-tiba jadi terlalu sempit. Udara terasa terlalu tipis. Suara teriakan dan tembakan menumpuk jadi satu dan meledak di dalam kepalanya. "Kak... kak... aku nggak bisa napas... Aku nggak bisa—” David langsung bergerak. Ia menjatuhkan sangkurnya ke tanah, lalu berlari ke arah Helena. Ia berlutut, memeluk tubuh mungil itu erat-erat—tangannya menyentuh wajah adiknya, suaranya pelan namun tegas. “Helena. Lihat aku. Tarik napas. Fokus ke mataku. Aku di sini.” Helena membuka mata sedikit—matanya merah, basah. Tapi napasnya mulai terseret-seret perlahan, mengikuti irama suara kakaknya. "Jangan tinggalin aku, Kak... jangan tinggalin aku..." bisiknya. David mengangguk pelan. “Aku nggak akan pergi. Aku di sini. Sampai kamu kuat.” David menyandarkan punggungnya ke tembok, masih memangku Helena yang setengah bersandar padanya sambil memeluknya. Tangan kirinya sedikit gemetar, tapi sorot matanya tetap tajam seperti baja. Napasnya masih terputus-putus, dan darah yang belum kering menetes dari ujung jaketnya. David belum genap tujuh belas tahun malam itu, tapi cara dia menahan napas... sudah seperti orang yang tahu dunia tidak akan memberinya pilihan lain. “Kak… kau berdarah?” David menggeleng. “Bukan darahku.” Ia mengangkat kepalanya sedikit. Matanya mengamati wajah Helena yang masih pucat. Lalu, dengan gerakan pelan, ia menyentuh rambut adiknya—menyisir debu dan serpihan tanah. “Kenapa mereka teriak seperti itu?” bisik Helena. “Kenapa semua orang marah?” David tak langsung menjawab. Ia memungut daun kering yang nyangkut di kepala boneka milik Helena. “Mereka bukan marah. Mereka takut.” “Kalau takut... kenapa mereka saling bunuh?” David terdiam. “Aku nggak suka suara tembakan. Aku nggak suka tempat ini.” David menatapnya. Pandangannya tak goyah, tapi ada gemetar samar di ujung napasnya. “Kak... aku boleh pegang senjatamu, nggak?” “Nanti,” jawabnya pelan. “Kalau kamu sudah lebih kuat dari aku.” “Kalau aku kuat... aku bisa jaga kakak?” David tersenyum. Tapi bukan senyum lega. Itu senyum luka. Senyum seorang anak yang tak sempat jadi anak-anak. “Ya. Tapi aku harap... kamu nggak perlu.” Helena mengangguk. Lalu ia memeluk lebih erat ke tubuh David. “Kalau aku mati... kakak marah nggak?” David menahan napas. Lalu menjawab, “Kalau kamu mati... dunia ini akan kubakar habis.” Ia menoleh sedikit. Di lengan kiri David—tersembunyi di balik darah dan sobekan jaket—terlihat bekas luka lama, melingkar hitam dengan bentuk mahkota di atas pedang, dan akar yang menjalar ke bawah. Lambang itu. Lambang Morgan. Ia menunduk, menyentuh dada kirinya sendiri, tempat yang kadang masih terasa nyeri di malam-malam dingin. Tanda yang sama, tapi lebih kecil, tertanam di sana sejak ia bayi. Ia tak mengingat prosesnya. Tapi David pernah bercerita... ia menangis seharian waktu melihat alat besi panas itu mencap kulit adiknya yang baru lahir. "Darah kita bukan diwariskan. Tapi dibakar ke dalam daging," ujar David waktu itu. Malam ini, untuk pertama kalinya, Helena merasa... cap itu mulai berarti sesuatu. Bukan hanya tanda keluarga. Tapi sumpah. Sumpah bahwa dunia boleh terbakar—asal mereka tak kehilangan satu sama lain. Dan di tengah dunia yang mengoyak malam, dua anak dari garis berdarah saling berjanji dalam diam. Janji yang tak pernah mereka ucapkan dengan lantang. Tapi terekam dalam suara detak jantung mereka yang saling menggantungkan hidup. David mengatur napasnya perlahan, memastikan detak jantung adiknya mulai mereda. Dunia di luar masih hancur, tapi dalam pelukan itu... mereka sempat mencuri sepotong keheningan. Helena akhirnya tertidur di pelukan David, tubuhnya tenang, tapi dunia di luar masih berdarah-darah. Dan di kepala David... suara lain masih bergema—suara yang tak pernah bisa ia lupakan. Karena tidak semua luka datang dari musuh. Tapi luka tidak pernah berdiri sendiri. Seperti Helena, David juga pernah kehilangan... di malam yang bahkan tak bisa ia lupakan walau sudah tumbuh jadi pria dewasa. . . . David Morgan tak pernah benar-benar tahu arti cinta—hingga malam ketika ayahnya memerintahkannya membunuh seorang wanita. Wanita itu bukan siapa-siapa. Hanya bagian dari strategi bisnis Charles Morgan, seperti pion di papan catur. Tapi setelah seminggu mengawasi gerak-geriknya, David mulai goyah. Wanita itu kuat. Jujur. Tatapannya tak gentar menghadapi ancaman. Tapi yang membuat David diam-diam tersiksa... adalah senyumnya. Senyum yang terlalu mirip Helena. Senyum yang seolah berkata: aku tahu dunia ini kejam, tapi aku masih memilih untuk tidak takut. Saat eksekusi dijadwalkan, David mencoba menangguhkan misi. Charles menolaknya mentah-mentah. “Kalau kau lemah, aku yang bereskan urusanmu. Dalam dunia ini, jangan pernah pikirkan perasaan,” ujar Charles dingin. Mata tajamnya seolah mengiris ruang antara mereka. Dan benar saja—Charles sendiri yang menarik pelatuk. Tepat di depan mata anaknya. Darah memercik ke sepatu David. Tubuh wanita itu ambruk perlahan, seolah sempat meliriknya... dan memaafkannya. David tidak menangis. Tidak juga marah. Ia hanya diam. Terlalu beku untuk meledak. Terlalu dalam untuk bisa diselamatkan. Malam itu, dengan tangan sendiri, ia menggali lubang—lalu mengubur wanita itu di tempat tak bertanda. Di antara akar, tanah basah, dan sumpah yang belum terucap. Aku tidak sempat menyelamatkanmu. Tapi aku tidak akan gagal... lagi. Sejak malam itu, David bersumpah Tak ada lagi yang akan mati karena keraguannya. Ketika Helena tumbuh menjadi wanita yang berani—bukan hanya secara fisik, tapi dengan pikirannya yang tajam dan tekad yang keras— David tahu... Helena akan jadi satu-satunya alasan dia bertahan. Dan satu-satunya alasan dia akan menghancurkan siapa pun yang berani menyentuhnya. Sejak malam itu... bukan kekuasaan yang ia jaga. Tapi seseorang yang jadi satu-satunya alasannya untuk tetap manusia.Ravencourt mungkin terlihat tenang dari kejauhan.Tapi di antara kabut dan reruntuhan kejayaan lama...ada mata yang mengintai Helena sejak sebelum ia tiba.Dan yang paling berbahaya…bukan selalu musuh di luar pagar—tapi darah sendiri yang bernanah dalam diam.Sunyi tidak selalu aman.Ravencourt menyimpan lebih dari sekadar pohon tua.Di tempat sehening itu, peluru bisa terdengar seperti bisikan...dan kematian bisa datang dari balik kabut.Pagi di Velmora masih berkabut saat iring-iringan mobil anti-peluru bergerak diam-diam meninggalkan gerbang kediaman Morgan.Empat mobil lapis baja melaju dalam formasi panah.Suara mesin nyaris tak terdengar, digantikan ketegangan sunyi yang menggantung di antara lapisan baja dan kaca gelap.Di dalam mobil utama, Helena bersandar di jendela.Matanya menatap hutan lebat yang bergulir cepat di luar.Embun tipis menyelimuti kaca, dan ujung jarinya menggambar garis tak beraturan yang segera menghilang.“Tempat ini... sunyi banget ya,” gumamnya pelan
Beberapa perjalanan dimulai dengan tiket... Tapi perjalanan ke Ravencourt dimulai dengan dusta. Dan malam itu, Helena menukar rasa penasaran... dengan langkah menuju jerat. Langit Velmora masih gelap saat mobilnya meluncur pelan ke pelataran mansion. Cahaya lampu halaman menyinari jas David yang masih berbau dingin gudang dan debu malam. Dan saat ia akhirnya tiba, bukan takdir yang menyambutnya— tapi langkah ringan dari seorang adik... yang terlalu keras kepala untuk diabaikan. Begitu pintu terbuka, langkah kaki kecil menyambut dari dalam. “Kak!” Helena berdiri di ambang pintu—masih mengenakan piyama satin, rambut digelung longgar, wajah setengah mengantuk… tapi tetap cantik dalam caranya yang tak dibuat-buat. “Baru pulang?” “Iya.” “Capek?” David belum sempat menjawab. Helena sudah menautkan lengannya dengan manja. Siasat klasik. Dan David tahu. Ia hapal pola itu. “Kamu mau apa?” gumamnya datar. “Hah? Apa sih?” Helena pura-pura polos. “Kamu gak pernah ngelendot gini..
Tak ada yang berubah malam itu. Tapi langit terasa lebih berat dari biasanya.David tahu… ketenangan seperti ini jarang datang tanpa harga.Dan Helena—seperti biasanya—adalah badai yang selalu tiba sebelum peluru pertama dilepaskan.Velmora Utara, Gudang Logistik Morgan.Lampu gantung hanya menyala sebagian. Suara kipas berdecit pelan, diselingi angin malam yang menyusup lewat celah dinding besi.David Morgan berdiri di depan meja logistik. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Sarung tangan tanpa jari masih ia kenakan.Di seberangnya, Dendy Alexander. Mantelnya basah hujan. Diam, seperti biasa.Mereka tidak saling sapa. Ketika dua pria ini bertemu, dunia tahu… ada keputusan yang tak bisa dibatalkan.“Ada informasi baru?” tanya Dendy, suaranya rendah dan netral.David menggeser map berisi foto hasil autopsi.“Tidak utuh.”Dendy melihat. Sekilas. Lalu diam.“Mereka ingin kita bereaksi,” ujar David.“Dan kita akan bereaksi,” balas Dendy. “Tapi bukan dengan marah. Marah itu... untuk manu
Di tengah dunia yang semakin gelap, Helena Morgan tumbuh menjadi wanita yang tak kalah keras dari dunia itu sendiri.Cerdas. Teguh. Keras kepala.Dan satu-satunya kelemahan yang diakui David Morgan.Pagi menjelang di mansion Morgan.Langit masih abu-abu. Awan menggantung rendah seolah enggan mengizinkan hari dimulai.Di lantai atas, aroma sup tulang dan roti panggang menguar dari dapur pribadi.Helena Morgan berdiri di ambang pintu ruang kerja David, masih mengenakan piyama satin dan rambut digelung setengah acak. Matanya mengintip tanpa izin, seperti biasa.“Kak,” sapanya ringan. “Aku masak sesuatu. Temenin aku makan, ya?”David menurunkan penanya dan mengangkat alis.“Kamu selalu tahu cara ngalahin fokus kakak, Lena.”Ia berdiri, merapikan jas tidurnya, dan berjalan menyusul adiknya ke ruang makan.Di meja makan pribadi lantai atas, hanya ada dua piring, dua gelas, dan dua jiwa yang saling menjaga—sejak kecil, sampai sekarang.Helena menyendok sup hangat dan mengunyah pelan, sambil
Ada dua jenis keheningan dalam dunia mafia:Yang satu mendamaikan.Yang lainnya... adalah peringatan sebelum darah tumpah.Dan malam ini, keheningan itu... menyimpan dua eksekusi dalam dua wilayah berbeda—Satu dari trauma, satu dari strategi.Tapi keduanya... lahir dari dendam yang tidak pernah tidur.— Velmora SelatanRuang bawah tanah itu berbau besi dan pembusukan.Dindingnya lembap, dilapisi jamur tua. Cat mengelupas di berbagai sisi. Hanya satu lampu gantung yang berayun pelan di tengah ruangan, menciptakan siluet samar dari tubuh yang nyaris tak berbentuk.Seorang pria tua terikat di kursi besi. Tubuhnya bersimbah luka. Nafasnya satu-satu. Beberapa giginya hilang. Bajunya robek. Matanya setengah tertutup oleh darah kering.Tubuh yang dulu tegap itu sekarang hanya sisa dari kebanggaan masa lalu.Langkah pelan terdengar mendekat.Sepatu kulit hitam yang terlalu rapi untuk tempat sebrutal ini. Suaranya menggema seolah membunuh harapan dari dinding ke dinding.Ronald Xavier.Setela
Beberapa dinasti tumbuh dari kemenangan. Tapi dinasti Morgan, Xavier, dan Alexander… tumbuh dari luka.Sepuluh tahun berlalu—dan darah mereka belum benar-benar kering.Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam dua raja tumbang di tengah reruntuhan. Tapi Velmora tak pernah jadi damai. Ia hanya berganti penjaga.Kini, David Morgan adalah namanya.Tak lagi hanya anak Charles. Ia adalah penguasa penuh Distrik Morgan—dingin, presisi, tak tersentuh.Setiap langkahnya menutup celah. Setiap keputusannya disambut ketakutan dan kekaguman. Tak ada ruang untuk tanya. Tak ada ruang untuk gagal.Di bawah kepemimpinannya, Distrik Morgan berkembang seperti arteri bawah tanah:Hotel mewah sebagai topeng. Pelabuhan gelap sebagai jalur. Klub malam elit sebagai markas komunikasi.Dresvane, Gravemount, Viremont, Bellavene, Kravenholm, hingga Velmora Utara—semua tunduk pada satu pria yang tak memberi ampun.Di ruang rapat bawah tanah yang tak punya jendela, David duduk di ujung meja panjang dari kayu obsidia