Share

Part 7

"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. 

"Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran.

"Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun."

"Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah.

"Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain."

"Siapa?"

Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. 

"Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?"

"Andar."

"Nah, kau saja mengingat nama itu."

"Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah."

"Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. 

"Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baiklah, siapa yang perduli dengan penampilan hari ini!" protesku. Kemudian pamit pergi. 

.

Beberapa karyawan sibuk membereskan meja dan kursi. Sementara aku sibuk mengobrol di ruangan Hana. kafe ini bukan seperti kafe sungguhan. 

Tak ada struktur menejemen di dalamnya. Hanya ada Hana sebagai pemilik, dan kami sebagai karyawan. Tentu saja aku sebagai karyawan kepercayaan yang mengurus dan bertanggung jawab atas semuanya. 

Seharusnya tugas seperti ini membuat gelarku menjadi naik. Setidaknya menjadi menejer.

"Cukup jadi kasir saja. Tunggu kau dapat gelar sarjana baru aku akan menaikkan pangkatmu," omel Hana saat dulu aku bilang Ibuku malu kalau anaknya hanya bekerja sebagai kasir. 

"Kau pikir, kalau aku sudah dapat gelar sarjana, aku masih mau mengurus cafe ini lagi?" balasku tak mau kalah. 

Hana memang lulus kuliah lebih cepat. Selepas sma dia langsung mendaftar ke universitas negeri dan lulus. Temanku yang satu ini memang sangat jenius. Bukan hanya dibidang pelajaran, tapi juga berbisnis.

Mulai dari jualan online kecil-kecilan, hingga kini bisa membuka kafe sendiri. Padahal dia sendiri tidak bisa memasak. Jangankan memasak, menghidupkan kompor saja mungkin tidak bisa. 

.

Sepanjang hari aku mondar-mandir, seperti merasa kehilangan. Kemana si pria mesum itu? Kenapa belum muncul juga? Hari sudah sore, namun tak ada lagi tanda-tanda dia akan datang. Ah sudahlah, lagipula penampilanku hari ini bukan kutujukan untuk dia.

Tiba-tiba saja tubuhku bergetar, apa yang terjadi? Oh, ternyata ponsel yang ada di saku celanaku. Ada nama Paman Harun di sana. Dengan rasa was-was aku mengangkatnya. 

"Iya, Paman. Ada apa?" 

"Datanglah sekarang. Air di rumah ini mati," serunya. 

"Kalau airnya mati kenapa memanggilku? Seharusnya panggil petugasnya," keluhku. 

"Kau yang menyuruhku tinggal di rumah ini. Kau harus bertanggung jawab. Minggu depan teman-temanku sudah akan datang."

Dasar anak manja. Aku kan hanya menyarankan. Toh itu juga salah satu properti milik keluarga Hana. Kenapa dia tidak menghubungi pemiliknya saja? 

Paman memang sengaja menyewa rumah yang cukup besar. Bangunan yang memiliki tiga buah kamar itu rencananya akan dihuni bersama oleh beberapa rekannya. Entah itu teman kuliah atau teman sekampungnya yang juga mengadu nasib di kota ini. 

Lagi-lagi aku harus tutup telinga mendengar umpatan dari Hana.  

"Dasar teman tidak punya akhlak.. " seperti tarzan dia berteriak dari pintu ruangannya hingga terdengar oleh semua karyawan. 

Sontak mereka tertawa melihatku berlari sambil menenteng kunci mobil dengan gantungan bergambar doraemon itu. Namun tiba-tiba saja pria itu berdiri mematung dan...kami bertabrakan hingga dia terjatuh tepat di bawahku.

 

Seketika pandangan kami bertemu. Lalu senyum manis terukir indah di bibirnya. Cepat aku bangkit sambil menepuk-nepuk telapak tanganku. 

Sungguh pertemuan yang klise. Seperti film-film romantis di jaman sebelum aku dilahirkan. Tidak sengaja bertemu, bertabrakan, kemudian saling jatuh cinta. Astaga! Entah apa saja yang ada di pikiranku. Kutinggalkan pria yang masih dalam posisi terlentang dan jadi sorotan semua orang itu. 

.

"Dasar sial. Lama kutunggu tak datang-datang. Begitu aku mau pergi, baru muncul!" gerutuku dalam hati. Kulajukan mobil dengan rasa dongkol yang teramat sangat.

Tak sampai setengah jam aku sampai di rumah Paman. Kulihat dia begitu gelisah dan mondar-mandir di teras rumah. 

"Lama sekali, Sarah. Sudah gerah aku, tidak mandi dari malam tadi."

"Terus aku harus apa? Bukankah nomor tukang ledeng sudah kuberikan pada Paman?"

"Kau saja yang hubungi," ketusnya.

"Kenapa harus aku?"

"Kau yang bertanggung jawab dengan rumah ini."

"Terserahlah!"

.

"Aku lapar," keluhnya lagi.

"Terus?"

"Omak bilang kalau butuh apa-apa aku bisa meminta bantuanmu. Sudah seharusnya keponakan mengabdi kepada Pamannya. Kau bisa masakkan?"

"Paman, aku harus segera kembali bekerja. Jika tidak, aku bisa dipecat."

"Jangan berbohong. Dia melirik benda bulat besar yang menggantung di dinding ruangan. Ini sudah lewat jam kerja. Kau pikir aku secara sembarangan, mengganggu pekerjaanmu?"

Benar juga. Bukankah aku sendiri yang bilang, kalau aku ini kerja kantoran. Kupikir setelah semua ini, dia tidak akan punya waktu lagi menggangguku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
makanya jangan bohong sarah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status