POV REYHAN
"Ndah! Bangun kamu kenapa sih dari tadi tidur kayak orang nangis begitu? Kamu kenapa?" Perlahan Indah mulai membuka mata.
"Mas Reyhan!" teriaknya langsung memelukku dengan erat seolah takut kehilangan.
"Kamu kan harusnya sudah pergi dari rumah ini! Kamu malah tidur enak banget sampai sore begitu! Lihat udah jam berapa sekarang. Kamu sengaja? Aku kira kamu mati gak ada keluar kamar. Aku lihat malah masih tidur. Ngigau pula!" ucapku seraya berusaha melepaskan pelukannya yang terasa mampu mengganggu pernapasan.
"Nggak, Mas! Aku gak mau pergi dari sini! Aku gak mau! Pokoknya aku gak mau!" tekannya lalu beranjak dari tempat tidur sambil memegangi keningnya. Mungkin terasa pusing karena dia tidur seperti orang mati. Aku yang ma
Tok… tok ….!"Masuk aja, Mas gak dikunci," ujarnya. Aku sedikit ragu untuk membuka pintu. Aneh memang. Padahal dia itu istriku.Dengan mengumpulkan tekad aku pun membuka pintu. Mataku membulat kala melihat pemandangan yang disuguhkan. Seperti ikan Mas tanpa sisik sebagai penutup. Indah sekali dan begitu segar. Selama kami tinggal bersama ini kali pertama aku melihatnya. Ragu aku pun mendekat. Sebuah penipuan besar ia lakukan karena handuk miliknya tidak terjatuh."Kamu bohong," ucapku. Indah mendekat dan menutup pintu. Menarikku tepat berdiri di bawah shower. Kemudian wanita itu memutar shower hingga airnya jatuh membasahi tubuhku. Indah mulai mendekat dan memelukku sambil memejamkan mata. Ada desiran hebat di dadaku. Entah seperti apa tidak dapat kugambarkan. Apa yang Indah suguhkan saat ini seolah
Malam menyapa, suasana terasa sepi lagi hampa. Entah kemana Indah pergi. Jujur aku khawatir. Tapi bagaimana lagi? Dia berhak untuk bahagia. Kusadari ucapanku tadi menyebutnya wanita mandul memang sangat menyakiti hatinya. Sebab jika tidak begitu, dia akan tetap kekeh untuk bertahan. Aku tidak bisa membiarkan wanita itu terus menghadapi sikapku yang berubah-ubah. Cemburu tak beralasan bila mengingat masa lalunya dengan Danang.Ting … Nong ….!Suara bel bergema. Apa wanita itu kembali? Mau apalagi dia. Betul-betul keras kepala.Ting … Nong ….!Lagi-lagi bel itu terus berbunyi. Sangat mengganggu. Aku menarik nafas panjang kemudian beranjak untuk membuka pintu.
"Selamat Pak Reyhan! Anda telah kehilangan aset besar perusahaan!" Tiba-tiba Haris datang dengan melempar sebuah kertas ke arahku. Dengan senyum menyeringai seolah menertawakanku.Aku membiarkan saja kertas itu tanpa berniat untuk mengambilnya. Meski hati sangat penasaran."Ini masih pagi. Jangan buat mood gue ancur!" sentakku."Pagi? Jam berapa lo liat!" Aku langsung menoleh ke arah dinding. Sudah pukul 11 ternyata.Shit! Indah! Apa dia ada di ruangannya? Aku pun segera berlalu keluar ruangan meninggalkan Haris.Trakt!"Ndah!" ucapku. Kosong! Tidak ada orang sama sekali.
"Iya cepat cari, Rey! Mumpung masih baru!" ucap Papa. Aku pun mengangguk dan pergi."Tapi mau mencari kemana? Bahkan teman-temannya pun aku tidak tahu. Kuburan orang tua Indah tempat yang utama aku cari. Siapa tahu dia sedang menangis di sana karena merindukan orang tuanya. Tidak banyak omong, aku langsung mengambil mobil dan tancap gas.***Beberapa jam setelah menempuh perjalanan, aku tiba juga di pemakaman tempat kedua orang tua Indah dikuburkan. Segera aku pun turun dari mobil dan berjalan ke dalam.Namun, yang membuatku kecewa, sesampainya di sana wanita itu tidak ada. Dengan perasaan tidak bersemangat, aku pun kembali membalikkan badan dan berjalan menuju mobil.
"Kok bisa?" tanya Luna dengan raut wajah penasaran."Ya bisalah, Lun. Wajahnya sedikit mirip sama Indah. Matanya, hidungnya. Tapi juteknya itu luarrr… biasa ….""Kalau gue sih gak suka cowok jutek apalagi dingin. Bukan penuh tantangan. Cuma gak enak aja dijutekin. Cowok jutek sulit ditebak dan sulit mengungkapkan rasa cintanya. Kita tidak tahu dia itu cinta atau gak sama kita. Sayang atau gak sama kita. Ya kan? Gak suka gue sama cowok jutek dan cuek. Secara gue kan ramah dan menyenangkan seperti ini, Nov," ucap Luna lagi. Aku hanya nyengir kuda."Gak mungkin juga aku mau sama Edwan. Secara, pernah pas acara makan malam keluarga aku sama dia di rumahnya, disuruh salaman aja gak mau. Bayangin aja. Mana aku udah ngulurin tangan. Eh dicuekin. Malu-maluin banget kan? Sumpah ya aku mah gak bakalan melupak
Pov Indah"Indah, kamu dipanggil bos suruh ke ruangannya sekarang." Risma karyawan lama di restoran tempatku bekerja saat ini menyapaku. Aku yang merasakan kepala sedikit pusing pun langsung mengangguk."Kamu sakit yah? Wajah kamu pucet banget.""Hanya sedikit pusing saja, Ris. Mungkin kaget karena lama gak kerja. Nanti juga biasa," ujarku. Memang sudah lumayan lama aku tidak pernah bekerja kasar seperti ini."Ya sudah sekarang kamu temui bos yah? Dia sudah nunggu jangan sampai marah. Emosian orangnya. Oh iya, kalau dia ngomong apa juga, kamu dengerin aja ya. Yang penting kita di sini kompak," ucap Risma lagi aku mengangguk. Kemudian aku pun berjalan menuju ruangan bos.
"Bapak serius mau minta nomor saya?" ujarku ragu menerima ponsel itu dari tangan Pak Bos."Emang kenapa? Tidak boleh? Kamu karyawan saya, tidak ada salahnya kan saya minta nomor ponsel kamu?" ucapnya sembari menatap mataku."Ya gak apa-apa si, Pak.""Ya udah! Ambil ponsel saya dan catat nomor kamu! Cepat! Begitu saja lama! Pake acara banyak drama. Biasa perempuan yang goda saya! Minta nomor saya! Tapi saya tidak tertarik! Jadi kamu seharusnya beruntung dapat perlakuan istimewa dari saya!" ucapnya lagi membuat bola mataku mendelik sempurna."Memang yang minta diperlakukan secara istimewa oleh bapak siapa?" Tak sengaja aku menjawab lagi ucapannya. Aku pun langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Seraya sedikit nyengir kuda menyipitkan kedua mata karena
"Rey! Nanti aja ya gue telpon balik. Gue lagi di rumah sakit," ucap Pak Bos kemudian mematikan ponsel."Rey? Rey siapa, Pak?" Aku bertanya dengan raut muka sedikit penasaran."Oh teman saya. Bukan siapa-siapa. Sepertinya dia mau datang kesini. Sejak saya pulang dari luar negeri, tidak sekalipun dia menemui saya," ujarnya. Aku mengangguk."Oh iya, Ndah. Boleh saya bertanya sesuatu?" Laki-laki itu kembali menarik kursi dan duduk di sampingku. Wajahnya mulai terlihat serius. Meski begitu ia tersenyum ramah ke arahku."Boleh, Pak. Silahkan," ujarku sambil mencoba membenarkan posisi tidur. Memilih sedikit bersandar."Kamu bilang, ka