Ketika Al sampai seorang pria sudah duduk di kursi dalam keadaan terikat. Sergie dan dua rekannya tampak terjaga."Sudah dapat infonya?" Kejar Al.Penjahatnya sudah berani menerobos gerbang sekolah. Artinya mereka tidak sedang main-main dengan Al dan yang lainnya."Seperti biasa, Tuan. Dia berhasil melarikan diri. Tapi yang jelas motifnya ingin memberi tekanan pada kita."Alterio mengepalkan tangan. Jelas tidak terima ketika musuhnya lolos begitu saja. Paul lantas berjongkok untuk memindai wajah sang pelaku.Netranya menyipit dengan otak sibuk bekerja. "Dia cuma staf di sini," ujarnya kemudian."Benar, dia hanya bilang ada orang yang ingin membagikan donat buatannya pada anak-anak. Dan begitulah.""Tapi kenapa anak lain tidak apa-apa, tapi justru anak kita yang kena dampaknya. Kalau random dibagikan semua anak akan keracunan. Tapi ini cuma anak kita." Al melontarkan sebuah spekulsi."Penjelasannya di sini. Sebab Ivander yang pertama kali mengambil. Dia langsung berbagi dengan Aria. Ke
Dalam suasana panik yang melanda. Al dan Paul menyerbu masuk sekolah anak-anak mereka. Raut wajah panik terlihat kentara. Paul lebih dulu menemukan putrinya ketika Al menyusul melihat Arthur. Keduanya berada dalam pelukan seorang guru yang berteriak ketakutan. Satu anak lagi terbaring di atas rumput tidak bergerak."Pa, Aria dan Ivander." Suara Arthur terputus ketika bocah itu limbung.Paul lekas meraih tubuh Aria. Tangannya cepat memeriksa. Bibir mulai membiru dengan detak jantung juga melemah."Ruang kesehatan di mana?" Paul meraung panik.Seorang guru membimbing Paul. Arthur berada dalam gendongan Al ketika dia berbisik. "Ivander, Pa. Metabisulfit."Alterio menoleh, melihat Ivander terabaikan di lantai berumput.Paul sudah lebih dulu masuk rusng kesehatan. Serena datang dengan Lucia tak lama kemudian."Bu, Ivander," kata Arthur lagi.Serena pun mendapati Ivander tidak dipedulikan. Serena mengambil alih Arthur lantas mengedikkan kepala. Al paham, ketika Serena berderap masuk ruang
"Nanti jangan lupa makan bekalnya. Jangan makan sembarangan.""Siap, Papa," balas Aria sambil mencium pipi sang ayah.Bukan momen langka, tapi Paul memang tidak selalu bisa mengantar Aria ke sekolah. Beda dengan Al dan Serena tiap hari mengantar Arthur meski mobilnya beda.Dan pemandangan Paul menggendong Aria keluar dari mobil adalah saat paling membahagiakan untuk Lucia. Senyum lebar Aria bersanding dengan lengkung bibir sang papa. Satu hal yang membuat Lucia berkali-kali berucap syukur. Dia tidak peduli sejumlah sosialita memandang dengki padanya. Menurut mereka Lucia yang seorang janda tidak pantas untuk Paul Litvinenko.Tapi selama ini tidak ada yang berani mengungkapkannya terang-terangan. Paul dengan jelas menunjukkan sikapnya pada Lucia. Pria itu melindungi Lucia dari siapapun yang coba mengancamnya, menindasnya bahkan sekedar menyindirnya. Jadi meski tidak suka, mereka hanya berani bersuara dalam hati."Heran sekali aku, apa sih yang menarik dari dia. Kalian lihat kan betap
"Halo."Sapaan itu membuat Sica menoleh. Wajahnya langsung cemberut melihat siapa yang mendadak duduk di depannya."Menteri pertahanan sepertinya punya waktu cukup luang hingga bisa jalan-jalan," cibir Sica tanpa basa basi.Mateo mengulas senyum. Gadis di depannya benar-benar berubah. Tidak ada Sica yang lemah dan penuh air mata. Jesica Miria tumbuh tangguh dengan sorot mata tajam penuh ambisi."Kamu tahu aku bisa lakukan apapun sekarang," info Mateo yang secara garis besar menyiratkan peringatan.Lengkung bibir Sica tampak. "Sayangnya aku tidak takut. Berulahlah, maka akan kubongkar siapa dirimu."Senyum Mateo hilang, berganti rahang yang mengatup rapat menahan emosi. Walau detik setelahnya, pria itu kembali menebar senyum."Kamu semakin menarik Sica. Aku tebak berapa kali kamu tidur dengan Alex untuk mendapatkan posisi ini."Kalimat Alex belum sepenuhnya selesai ketika siraman jus telah mendarat di wajahnya. "Aku tidak sehina dirimu. Mateo Jefferson, kau sungguh mengecewakanku."Si
"Ibuku!"Dia istriku, Cil!" Geram Alterio ketika mereka duduk di meja makan untuk makan siang."Ibuku. Minggir kamu!""He! Kita belum bicara soal kejadian semalam. Dari mana drone itu?"Interogasi dimulai dengan Arthur langsung melengos. Enggan menjawab. "Arthur De Angelo," panggil Al.Arthur mendengus sebelum menyahut, "Bikin sendiri.""Bohong," respon Al cepat."Dibantuin om Beita," kata Arthur pada akhirnya.Giliran Al yang menggeram. Ingin dia marah tapi apa yang dikatakan Serena pada keduanya membuat ayah dan anak itu bungkam."Kalau dia tidak melakukan itu, aku tidak tahu kita selamat apa tidak."Bahu Al merosot dengan dagu Arthur terangkat jumawa."Tetap saja itu berbahaya," Al kekeuh dengan pendapatnya."Arthur tahu itu, tapi Arthur gak bisa diam saja. Ibuku dalam bahaya. Kamu belum tentu bisa melindunginya.""Papa akan usahakan yang terbaik untuk melindunginya. Dia ini separuh nyawanya Papa."Arthur mencibir tidak percaya. Al mendelik demi melihat respon sang putra."Asal ka
Lucia menggeliat pelan ketika sinar mentari menyerbu kamarnya. Tirai tebal yang tergantung di jendela bahkan tidak sanggup menghalau cahayanya. Perubahan dari gelap menjadi terang secara tiba-tiba membuat perempuan itu kesulitan membuka mata.Saat Lucia ingin beranjak pergi dia mendapati perutnya dipeluk dari belakang. Dia menunduk guna mendapati tubuhnya hanya terbalut selimut. Sekali lihat Lucia tahu kalau dia tidak mengenakan apa-apa di balik benda tebal berwarna pastel.Perempuan itu memejamkan mata hanya karena mengingat apa yang terjadi semalam. Setelah Aria tertidur, Paul yang katanya lapar memang makan.Namum definisi makan ternyata bukan secara literally saja. Sebab setelah makanan kandas, dan Lucia baru selesai mencuci piring. Dirinya sudah diserang oleh Paul yang tanpa basa basi ingin melakukannya di meja makan.Hanya ketika Lucia memperingatkan soal Aria yang bisa bangun kapan saja. Barulah Paul menggendongnya ke kamar. Lalu melanjutkan pergulatan panas mereka di sana.Luc