Alterio memijat pelipisnya. Pening dan nyeri menyerang sekaligus. Arthur dengan tegas meniru dirinya. Padahal dia tidak sekejam dulu. Hanya kadang-kadang."Kenapa tidak meniru ibumu?""Ibu juga bar-bar kalau kepepet."Habis kosakata Alterio meladeni putranya. Pria itu berusaha agar Arthur tidak terlalu kejam saat mengeksekusi targetnya. Tapi Arthur dengan tegas menyahut, "Apa yang Arthur lakukan, sepadan dengan perbuatan mereka.""Lagi pula Arthur tidak akan sejahat itu pada orang kalau mereka tidak memulainya lebih dulu."Jaminan dari Arthur membuat lelaki itu bisa menarik napas berat. Selain itu sang putra menegaskan kalau dia tahu batas."Jangan terlalu dipikirkan. Kita akan tetap awasi dia." Max mendadak muncul, seolah tahu apa yang Alterio pikirkan."Diawasi saja masih bisa lolos," gerutu Al tidak habis pikir.Sungguh, dia kelabakan menghadapi Arthur yang fisiknya saja bocah, tapi kelakuan dan omongan sudah seperti orang dewasa. Eh, putranya bukan orang tua yang terjebak dalam t
"Arthur!"Teriakan melengking dari sang ibu membuat Arthur yang sedang sembunyi di perpustakaan bersama Yue, langsung ngibrit ke arah sumber suara.Bocah itu hanya mengangkat jempol sambil mengedip penuh kode pada adik Glen. Setelahnya dia menghilang di balik pintu. Meninggalkan Yue dengan kertas bertebaran di meja. Rancangan drone terbaru mereka."Nona, perlu bantuan?" Pertanyaan itu membuat Yue mendesah lemas. "Bukan saya yang perlu bantuan tapi tuan mudamu.""Dia akan baik-baik saja. Tapi Nona tidak."Yue mendengus kesal, dia tahu pria tinggi besar di hadapannya tidak akan melepaskannya begitu saja, setelah beberapa hari tidak bertemu.Ketika tangan besar Sergie menyentuh lembut pipi Yue, gadis itu melotot tidak terima. "Ingat perjanjiannya.""Saya mengingatnya dengan baik, tidak ada sentuhan ... selama ada kakak Nona."Yue melotot ketika Sergie tanpa ragu menciumnya. "Laki-laki tidak ada yang bisa dipercaya," maki Yue dalam hati. Dia terus menolak, tapi Sergie lebih sigap mengun
"Kamu gak apa-apa, Sica?"Alex mendekat, sejurus Mateo memilih pergi dari sana. Sang menteri pertahanan agaknya masih enggan berhadapan dengan Alex."Enggak," balas Sica singkat."Dia siapa?" Tatapan Alex memicing tajam. Seolah sedang memindai wajah Sica untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Enggak tahu juga, mungkin orang yang tidak puas dengan kinerja kita. Atau orang yang sakit hati sama aku. Ada banyak yang seperti itu kan. Ini bukan kali pertama aku mengalaminya."Alex menghela napas. Benar sekali, bukan kali ini Sica nyaris dicelakai oleh musuh klien, atau orang yang tidak suka dengan dirinya. "Kamu tidak apa-apa?"Alex kembali bertanya, Sica langsung menggandeng sang atasan, menuju mobil mereka. "Makan," ucapnya manja.Alex mendorong napasnya kasar. Lalu manut saja ketika Sica membawanya ke sebuah resto.Tanpa Sica tahu, Mateo mengikuti Sica dan Alex. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Mateo, merah padam menahan amarah."Jesica Miria, awas kamu!"Alex melambaikan tangan ket
"Bagus, aku ingin dia ikut terseret. Tidak hancur tidak apa-apa. Tapi setidaknya hidupnya akan kacau walau hanya sesaat. Aku suka melihatnya pontang panting kesusahan."Mateo tersenyum puas mendengar laporan anak buahnya."Tapi Tuan. Alex Ferguso bukan orang yang mudah dihadapi. Dia pasti punya jalan keluar, atau rencana lain. Buktinya sampai sekarang pihak mereka belum melakukan apapun untuk mengantisipasi pernyataan Alastor Abby."Mateo menyeringai. Dia bukannya tidak tahu reputasi Alex. Dia juga mengerti kepala Alex isinya stratedi juga ratusan tipu daya untuk menjatuhkan lawan.Alex bukan pria yang bisa dibungkam dengan mudah. Pun dengan Alterio, pria itu jelas bukan lawan yang mudah ditumbangkan. Jika keduanya kolab dapat dibayangkan akan seperti apa powernya.Karena itu dia ingin mengadu domba Al dan Alex. Mateo ingin mereka saling menjatuhkan.Ketika Mateo sedang asyik dengan pikirannya. Ponsel sang asisten berdering. Pria itu mengangkatnya lantas mendengar seseorang di ujung s
"Kamu sengaja?" "Enggak," balas Arthur santai. Alterio memandang tajam pada sang putra. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Alterio kali ini benar-benar tidak habis pikir dengan Arthur. "Arthur, kamu tahu Ibu baru sembuh. Kamu tidak seharusnya mengatakan hal itu pada ibumu. Nanti dia akan kepikiran. Itu tidak baik untuk kesehatan ibumu." Arthur menundukkan kepala. Terlihat penyesalan di mata birunya. "Arthur beneran tidak punya maksud apa-apa sama Ibu." Alterio mendesah kesal. "Arthur please, tolong. Jangan bikin pikiran Ibu tambah ruwet. Ibu benar-benar perlu waktu buat sembuhin diri. Jadi jauhkan ibumu dari hal-hal yang bisa membuat dia jadi bimbang." Arthur menggumam tidak jelas. Tapi intinya dia bilang "iya" Entah dalam hati bilang apa. Yang pasti waktu Alterio menekan putranya, Arthur manut saja. "Sekolah baik-baik saja, Cil," pesan Alterio pada Arthur ketika sang putra akan masuk ke sekolah. Arthur mengacungkan jari jempolnya. Sang putra menghilang di ba
Serena tampak menyimak kertas yang ada di hadapannya. Matanya sempat menyipit untuk menelaah isi lembaran berkas tersebut. Ekspresinya berubah dalam sekejap."I-ini?" Itulah frasa pertama yang terucap dari bibir Serena ketika dia menyadari kalau kertas di tangannya adalah hasil USG. Perempuan itu mendongak ketika tangan hangat Al menggenggam erat jarinya. "Maafkan aku.""Aku hamil?""Tadinya.""Sekarang?""Sudah pergi."Jantung Serena serasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. "Su-sudah pergi?" Kutip Serena.Untungnya dalam momen ini, Arthur sudah pamit pergi. Beralasan ngantuk, tapi Arthur mengerti kalau orang tuanya perlu waktu berdua.Kata Arthur, dia akan memberikan kesempatan kali ini. Namun lain kali tidak ada peluang seperti itu lagi."Karena kejadian hari itu?" Tanya Serena penuh selidik.Alterio mengangguk lemah. Tangis Serena pecah saat itu juga. Dengan Al sigap memeluk serta menenangkan."Aku ibu tidak berguna. Menjaga anak sendiri saja tidak becus," ratapnya penuh kep