"Tidak tahu, semua tergantung kemurahan hati Tuan Inzaghi," kata papa Marvel.Perkataan ayahnya membuat Marvel menegakkan punggung. "Apa orang itu adalah Alterio Inzaghi?"Marvel sekilas tahu kalau penyandang dana mereka bermarga Inzaghi. Kalau benar orang tersebut Alterio Inzaghi, maka habislah Marvel. Sebab dia baru saja menyinggung pria itu.Bahkan suami Serena punya akses langsung dengan Mr Richard, sosok penting di balik proyek East Island. Dada Marvel berdebar hebat, jangan sampai ayahnya tahu kalau dialah yang sudah membuat Alterio Inzaghi tidak senang.Dugaan Marvel terbukti setelah sang ayah mengangguk. Lemas tubuh Marvel saat tahu kalau Alterio telah mencengkeram perusahaan keluarganya."Kau tidak menyinggungnya bukan?""Ahh, itu, itu. Aku mana kenal dengannya. Lagi pula aku tidak punya alasan untuk menyinggungnya."Habislah Marvel, ternyata suami Serena adalah orang yang sangat berpengaruh. Sekarang apa yang harus dia lakukan. Tadi dia sudah menyebut Alterio bukanlah siapa-
"Pasti Marvel kena marah sama bapaknya.""Kamu belain dia?" Al meletakkan ponsel yang baru saja dia gunakan untuk bicara dengan Mr Richard. Di ruangan itu tinggal Serena dan Alterio. Marvel baru saja pergi setelah mendapat telepon dari ayahnya.Marvel bahkan tidak menunggu Vanessa yang belum kembali dari toilet, entah apa yang perempuan itu lakukan. Karena Marvel pergi, maka proses pemesanan cincin dengan senang hati Serena hold. Serena justru senang kalau Marvel tidak kembali lagi. Hingga pesanan bisa dibatalkan. Dia enggan berhubungan dengan pria itu. Ah, nanti dia bisa bergosip dengan Riva soal hal ini. Maklum Marvel sempat menargetkan Riva ketika pria tersebut gagal mendapat Serena. Untungnya Riva sempat diselamatkan Beita waktu itu."Kasihan aja. Baru juga mau nikah, sudah kamu gangguin saja." Kata Serena yang langsung duduk di samping sang suami.Al spontan merengkuh pinggang ramping Serena. Dia letakkan kepalanya di bahu istrinya."Ini lebih baik untuk mereka. Jika mereka da
Serena tersenyum tipis ketika pintu ruang pertemuan mereka dibuka dari luar. Alterio Inzaghi muncul dalam balutan kemeja dan jas serta celana yang keseluruhan berwarna hitam.Satu warna yang mampu menampilkan sisi terbaik dari seorang Alterio. Parasnya rupawan dengan aura dominasi begitu kuat.Marvel bahkan tidak berkedip untuk beberapa waktu. Melihat Al berjalan ke arah Serena lantas mencium mesra bibir wanita yang mengenakan setelan kerja berwarna biru.Satu pemandangan yang membuat hati Marvel berdenyut resah. Benarkah Serena sudah menikah? Jika iya, kapan dan siapa suaminya. Kenapa pria di depannya punya tatapan tajam tak terbantahkan.Ditambah sikap dingin juga ekspresi datar yang seketika berubah lembut dan penuh cinta kala berhadapan dengan Serena."Sudah selesai?""Aku sempatkan mampir. Apalagi waktu Mona bilang ada yang mengunjungimu."Alterio memanahkan tatapan penuh peringatan pada Marvel Delayota. "Dengan tuan ...." Marvel kembali berucap setelah mendapatkan kepercayaan d
"Apa saya bilang, Nya. Saya tidak hamil." Raut wajah Lalita kembali ceria, usai dia tahu kalau test pack-nya negatif.Serena dan Mona kembali saling pandang, untuk kemudian menghela napas. Semua bisa terjadi, termasuk hamilnya Lalita yang urung jadi kenyataan. Tapi itu wajar, sebab Max telah memberi pil kontrasepsi pada Lalita."Ya, berarti mereka masih disuruh jalan di tempat aja." Mona berkomentar pada akhirnya."Bisa juga. Ya sudahlah, kita cuma jalanin, Dia yang ngatur jalannya. Nikmati sajalah."Mona mengangguk, mereka lantas berpisah jalan. Mona kembali ke meja kerjanya dan Serena juga Lalita menuju ke tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu pintu dibuka, seorang perempuan segera menyambut kedatangan Serena dan Lalita. Namun kehadiran sosok lain yang mendampingi wanita tadi seketika membuat Serena jengah."Nona Serena, selamat siang. Senang bertemu Anda.""Nyonya, saya sudah menikah. Putra saya sudah berumur enam tahun. Selamat siang juga. Silakan duduk."Serena melur
Dengan mood memburuk dan kepala mendadak nyeri, Serena kembali ke Eternal Diamond. Di tangan Lalita sudah ada beberapa berkas yang harus dia periksa. Mona juga telah menyambutnya dengan setumpuk dokumen yang musti dia telaah. "Dia kenapa?" Mona berbisik pada Lalita."Ketemu Benjamin Cestra.""Oh, pantas." Mona paham betul sebesar apa kebencian Serena pada Ben. Tapi kalau dia jadi Serena, dia juga akan melakukan hal sama. Walau yang terjadi bukan salah Ben seratus persen, tetap saja tindakan Ben jadi pemicu Serena kehilangan calon bayinya.Untuk perempuan manapun, hal tersebut sangat menyakitkan. Perlu waktu untuk memulihkan tubuh dan jiwa akibat kehilangan yang rasanya sangat sulit diungkapkan."Bu, ada klien yang ingin bertemu," Mona mengingatkan jadwal Serena.Perempuan itu mengangguk, Serena minta Mona untuk tidak banyak bergerak mengingat perut besarnya.Tapi Mona menjawab dengan manis. "Bukannya disarankan untuk banyak bergerak jelang lahiran."Serena tepuk jidat, "Sudah lupa
"Hai."Serena berdecak kesal sebelum pilih berbalik arah. Enggan berhadapan dengan sosok yang mendadak muncul di hadapannya.Pun dengan Lalita yang sigap mengikuti sang nyonya. Lalita beberapa waktu terakhir kembali ditugaskan untuk mengawal Serena sekaligus membantu pekerjaan ibu Arthur di kantor. Mengingat Mona sudah memasuki bulan kelahiran. Perempuan itu juga ingin cuti untuk sementara sambil merawat anaknya sendiri. Jadilah tugasnya mulai diambil oleh Lalita."Ren, aku kan cuma menyapa," sosok tadi ikut mengejar ternyata."Gak usah nyapa-nyapa. Gak penting juga." Nada jengkel terdengar kentara dalam suara Serena.Bukannya pergi orang tadi justru makin getol menggoda."Setidaknya aku harus menyapamu meski cuma sekali. Bukan begitu kakak ipar?"Senyum Ben mengembang begitu Serena menghentikan langkah. Tapi yang terjadi setelahnya membuat Lalita menggulung senyum, sang nyonya kalau mode bar-bar memang selalu mengagumkan."Malah nendang, salahku di mana coba." Ben meringis, mengaduh