Bola mata Anthony nyaris keluar dari tempatnya. Ucapan Ravi sama sekali tak masuk akal untuknya. "Omong kosong! Tempat ini milik kami, keluarga Hernandez," tegas lelaki yang masih mempertahankan keangkuhannya."Sejak kapan tempat ini jadi milik kalian?" Serena bertanya setelah diam sejak tadi."Kau tidak akan bisa mengambilnya," cibir Anthony."Kalau begitu Anda harus melihat ini." Pria yang dikenal sebagai pengacara keluarga Alexander bergerak, dia meletakkan sebuah dokumen di meja.Berkas yang langsung dibaca oleh Anthony. Mata pria tersebut melebar. Detik setelahnya, kertas tadi sudah berakhir di lantai jadi serpihan kecil. Anthony baru saja merobeknya "Sekarang tidak lagi, Eternal Diamond milikku. Milik keluarga Hernandez," tegas Anthony."Tidak masalah, yang tadi hanya salinan. Yang asli ada di kantor Alexander Grup. Intinya, Nyonya Nereida Alexander mewariskan Eternal Diamond pada Nyonya Serena Valencia. Kalian tidak berhak ada di sini."Jawaban santai dari sang pengacara memb
"Serius cuma sampai sini? Tidak mau mampir ke rumah." Ravi bertanya ketika dia menghentikan mobil di tepi jalan. Tempat di mana Serena minta diturunkan. Dari jauh Serena bisa melihat Lalita telah menunggu. "He em. Ada yang menjemputku. Dan maaf, aku tidak suka ke rumahmu. Trauma." Terus terang Serena berujar. Ravi tertawa dengan ucapan minta maaf mengiringi. Meski setelahnya pria itu mengganti topik. "Suamimu membuatku penasaran," cetus Ravi blak-blakan pada akhirnya. "Dia ... cuma pria biasa. Tidak suka bertemu banyak orang." Ravi mendengus tidak percaya. Mana ada "pria biasa" yang memberi dua triliun dollar cuma-cuma. Cuma modal laporan keuangan bulanan dengan sistem bagi bagi hasil yang sangat menguntungkan Alexander Grup. "Bikin kepo. Apa kami bisa bertemu dengannya? Bagaimanapun kami ini keluargamu. Papa adalah walimu." "Kak, aku minta maaf soal itu. Pernikahan kami karena ulah keluarga Hernandez. Saat itu aku tidak berani memberitahu kakak, aku takut mereka akan
"Turun!""Enggak mau! Kau bilang aku bau! Asal kau tahu, kau lebih bau!" Balas Serena geram.Al menggeram. Posisinya terjepit. Tubuhnya menegang kaku. Dada kenyal Serena menekan dada berototnya. Belum lagi napas hangat Serena ribut menerpa lehernya.Gawat! Gadis yang memeluknya macam koala adalah bencana yang tidak bisa ditangani badan penanggulangan bencana nasional."Lepas atau kau akan menyesal!" Ancam Al sekali lagi.Serena menggeleng. Dia pandangi paras Al yang menawan dengan garis rahang tegas dan bibir mengatup rapat. Rambut setengah basah yang ehem seksi. Belum lagi kemeja putih yang telah jadi transparan. Gila! Tampilan Al seketika membuat Serena hampir kehilangan kewarasannya.Namun semua buyar ketika Serena dibawa menyelam oleh Al. Dia tidak siap, hingga dia kembali menelan air. Serena tahu Al sedang mengujinya.Dia tidak akan kalah. Dia tidak salah untuk apa mengalah. Lima menit Al muncul ke permukaan, dengan Serena merosot turun.Al sigap menahannya. "Kapok?""Enggak! Ak
Serena baru menginjakkan kaki di Royal Diamond. Moge Al barusan menghilang di belokan menuju basement pribadi pria itu. Meski semalam mereka gelut tidak jelas. Paginya pria itu masih sudi membawanya naik motor ke kantor.Benar-benar pasangan absurb yang membuat geleng-geleng kepala Max dan kawan-kawan. Sekali lagi cukup menciptakan kerut tambahan di wajah Ara.Dan hari masih pagi ketika satu tamparan mendarat di pipi Serena. Perempuan itu cuma tertawa kecil, tidak membalas perbuatan Thalia padanya."Dasar anak haram! Beraninya kau mengambil apa yang jadi milik kami!" Bentak Thalia tanpa ragu.Serena tersenyum tipis. Istri Al masih terlihat tenang. Kalem dengan mata memandang lurus pada Thalia."Milik kalian? Berikan bukti padaku kalau Eternal Diamond milik kalian. Sejak awal tertulis jelas kalau pemiliknya Nereida Alexander, ibuku." "Di sana juga tertulis jika ibuku meninggal, hanya aku yang ditunjuk jadi penerus. Hanya namaku, tidak ada nama kalian. Jadi, di bagian mana Eternal Diam
"Ibu," lirih Serena seraya memeluk makam Nereida.Hari ini dia merasa rindu dengan ibunya. Jadi dia putuskan mengunjungi makam Nereida. Sebuket besar mawar dia bawa. Dia letakkan di atas makam Nereida.Tidak banyak kata yang terucap. Serena lebih banyak menghabiskan waktu dalam diam. Hingga akhirnya dia mulai bicara. "Ibu, ED sudah kembali ke Alexander Grup. Paman dan kak Ravi akan mengurusnya dengan baik. Ibu tidak perlu cemas. Rena juga hidup baik belakangan ini."Serena yang tadinya hanya bungkam. Kini mulai cerewet, dia luapkan apa yang ada dalam pikirannya. Dia katakan isi hatinya. Tidak terasa hampir satu jam Serena berada di sana.Namun Serena seolah tak ingin beranjak dari sana. Padahal tempat itu sepi. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah komplek pemakaman. Meski masih masuk dalam area mansion Alexander. Tetap saja tempat itu terpisah jauh dari kediaman utama.Bahkan tidak ada penghuni mansion yang tahu kalau Serena mengunjungi makam Nereida. Dia masuk melalui pintu belakan
Serena berontak, dia coba melepaskan diri dari siapapun yang kini menyeretnya menjauh. Dia tidak peduli apapun selain ingin menghabisi Frans saat itu juga. Dendam dan sakit hatinya hanya bisa diakhiri dengan kematian Frans. Begitu pikir Serena."Cukup Ren! Cukup, membunuhnya hanya akan membuatmu sama dengannya."Suara itu, aroma yang mulai familiar di hidung Serena, sekarang melingkupinya. Alterio Inzaghi muncul dalam jangkauan pandangan Serena begitu dia mendongak.Tatapannya bersua dengan manik sekelam malam sarat peringatan. Bunyi pisau terjatuh di lantai membuat kesadaran Serena pulih. Al biarkan Serena terduduk dengan derai air mata mulai mengalir.Pria itu memandang tajam pada Frans yang jelas menunjukkan ekspresi terkejut. Diakah Alterio Inzaghi, sosok yang begitu ditakuti di dunia bawah kini muncul di hadapannya.Al lantas mendekat ke arah Frans."Tu-tu-an ...." Frans tak berdaya berhadapan dengan Alterio. Aura lelaki di depannya begitu kuat. Menekan mentalnya hingga ke titik
Degup jantung Frans meningkat drastis. Dia ingat betul kalau kecelakaan Clarisa terjadi karena rem blong. Hingga mobil menabrak pembatas jalan. Clarisa meninggal saat itu juga.Kesedihan dan kesibukan mengurus dua buah hati membuat Frans tidak mengusut lebih lanjut laporan soal kecelakaan sang istri. Ditambah, hati kecil Frans merasa bersyukur, Clarisa meninggal. Toh dia memang tidak cinta. Pikiran pria itu selalu mengarah pada Nereida, sampai dia mengabaikan Soraya. Teman Clarisa waktu itu. Saat Frans sibuk dengan pekerjaannya, ada Soraya yang merawat Anthony dan Thalia. Usia Soraya memang masih muda. Entah kenapa dia bisa begitu akrab dengan Clarisa yang notabene lebih tua umurnya.Awalnya Soraya dengan senang hati merawat dua anak Frans. Sampai suatu hari Frans membawa pulang Nereida. Seorang wanita yang sangat cantik dalam pandangan Soraya.Bahkan lebih cantik dari Clarisa. Segera perhatian Anthony dan Thalia teralihkan pada Nereida. Apalagi Nereida memiliki kelembutan dan penuh
Suara barang yang dibanting terdengar dari kamar Serena. Penghuni lain tak ada yang mendengar, tapi Al dan anggota inti Black Diamond bisa. Hampir semua kamar utama sound proof alias kedap suara. Termasuk kamar Serena. Tapi dari anting Serena mereka bisa memantau betapa frustrasinya sang gadis. Al sejatinya bisa menghidupkan kamera pengawas, tapi dia tidak mau yang lain melihat keadaan Serena. "Apa yang dia lakukan?" Max bertanya. "Dia habis membunuh Frans," info Al santai. Max tertawa mendengar ucapan Al. Beda dengan Serena yang setelah lelah mengamuk, hanya bisa berdiam di sudut ruangan. Dia pandangi kamarnya yang persis kapal pecah. Bahkan ponselnya turut hancur kena banting. Gampang, dia kaya sekarang. Bisa beli apa saja, tidak macam dulu. Isak lirih Serena terdengar tertahan. Dia tatap tangannya yang dua jam lalu membuat Frans meregang nyawa. Pria itu hanya berjengit sesaat sebelum mengulas senyum, seolah berterima kasih pada Serena. Gadis itu benci melihat Frans bahagia
"Tidurlah."Alterio mengusap punggung Serena yang terbaring di atas dadanya. Mereka sudah pulang dari mansion Alexander dua jam lalu.Keduanya menolak saat diminta untuk menginap. Alterio menjawab dengan santai kalau kewajibannya sebagai menantu keluarga Alexander setidaknya sudah dia penuhi.Jadi perkara menginap atau tidak akan diurus lain kali. Nandito tak bisa mencegah Alterio, terlebih pria itu berujar masih punya masalah yang harus diurus.Dari ekspresi Al, Nandito langsung tahu kalau persoalan yang harus dibereskan Al adalah perkara Thalia."Enggak bisa.""Masih mikirin Thalia. Dia sudah mati. Langsung dikubur tadi.""Ngapain mikirin mayat. Serem.""Lalu?" Al sejatinya sangat terganggu dengan tingkah Serena yang mendadak jadi kelinci imut yang menggemaskan.Serena yang biasanya tantrum kalau dia sentuh, kini tiba-tiba jadi pasrah. Diam saja saat pria itu menariknya dalam pelukan."Terima kasih buat dua triliun itu."Akhirnya Serena tahu kalau Al adalah orang yang membantu keuan
Ekspresi Elle berubah tegang. Sama halnya dengan Nandito. Bedanya pria itu dengan cepat bisa mengendalikan diri."Bukan hal besar. Hanya saja dulu ibumu sangat baik pada tantemu. Tapi dia justru berlaku buruk padamu. Om jadi malu."Serena mengulas. Dia sangat senang sikap Nandito tak berubah padanya. Meski di luaran sana banyak orang blak-blakan mencacinya."Kapan kamu datang? Kenapa tidak kasih tahu. Datang sama Lalita atau Sergie? Atau sama suamimu?"Pertanyaan beruntun Nandito berikan. Pria itu aslinya sangat cemas dengan pemberitaan soal Serena. Takut Serena terpengaruh lantas tak mampu bertahan."Aku datang sama Lalita. Sergie lagi ada urusan. Tahu sendirilah."Nandito tersenyum merespon jawaban Serena. Sang keponakan sengaja tak menjawab soalan seputar suaminya."Turunlah makan sebentar lagi. Tante siapkan makan malam." Elle pilih menghindar dari situasi yang menyudutkan dirinya. Serena mengangguk, tidak merespon berlebihan. Setelahnya suasana hening menyelimuti ruangan dengan
Kejadiannya persis seperti Nereida. Serena merekam dengan apik di benaknya. Seperti apa ibunya saat terjatuh dari tangga, lalu berhenti dengan kepala terus mengucurkan darah.Akibatnya, tak lama kemudian Nereida meninggal. Serena mematung di tempatnya berdiri, menyaksikan beberapa orang mulai berdatangan memberi pertolongan pada Thalia.Jiwa Serena serasa terhisap kembali ke masa itu. Saat dia menangis histeris saat Lalita dan Sergie mencoba menyelamatkan ibunya. Namun gagal."Ibu, mereka sudah mendapat balasannya. Ibu bisa tenang di sana.""Dia yang mendorongnya!" Suara itu membuat Serena tersadar. Saat itu Serena merasa ada tangan yang menyentuh bahunya. Lalita ada di sana. Jelas untuk melindunginya."Jangan sembarangan menuduh. Memangnya kamu lihat kejadiannya?" Seru yang lain. Tubuh Thalia sudah diangkut menuju rumah sakit. Yang tersisa di sana tinggal staf umum RD. Kenapa disebut umum, sebab mereka murni karyawan biasa.Kalau mereka merangkap anggota Black Diamond. Mana berani
Paras Serena berubah pucat begitu dia ditarik ke atas. Al sungguh berniat ingin membunuhnya. Jantungnya serasa lepas dari tempatnya. Pun dengan tubuhnya mendadak kaku, tidak bisa bergerak. Ditambah dia sempat sesak napas.Al sempat terbahak sebelum memeluk erat tubuh Serena yang terasa dingin. "Mati aku, mati aku," gumam Serena tiada henti."Belum," kata Al singkat.Serena lekas mendorong tubuh sang suami menjauh. Dia duduk selonjor dengan tubuh terasa lemas.Keadaannya lumayan membaik saat Jeff mengulurkan air untuk Serena minum. Rona merah lekas mewarnai paras sosok yang kecantikannya Jeff akui di atas rata-rata.Pantas saja si kutub utara sampai meleleh karenanya. Premium punya dan pasti limited edition alias langka. "Kau keterlaluan!" Maki Serena seketika.Tapi yang dimaki cuma diam saja. Tidak membantah atau membela diri. Al bergeming memandang Serena yang mengomel panjang lebar, tak peduli tempat. Bahkan Jeff sampai geleng kepala melihat tingkah Serena. Dalam keadaan biasa, Al
"Edgar Martinez punya putra? Tidak masuk akal!" Max berkomentar sambil memasukkan cairan hijau bening ke tabung reaksi berisi cairan berwarna transparan.Desis lirih terdengar sebagai reaksi pertemuan antara dua cairan beda jenis itu. Max menunggu sejenak, mengamati perubahannya sebelum tersenyum tipis.Tangan dan otaknya benar-benar jenius. Dari proses awal sudah terlihat kalau percobaannya bakal berhasil. Perhatian Max kembali teralihkan ketika dia memandang berkas kesehatan Edgar yang tergeletak di meja. Dia amati tulisan di dalamnya, kemudian dia membuat panggilan.Max bicara dengan seseorang di ujung sana. "Jadwalkan pemeriksaan ulang untuk Edgar Martinez. Komplit."Awalnya Max tidak tertarik dengan urusan Edgar. Mengingat pria itu cukup merepotkan Al selama ini. Jadi Max juga menaruh rasa tidak suka pada pria itu.Namun melihat kejanggalan dalam laporan kesehatan Edgar, hatinya tergerak untuk mencari tahu. Bagaimanapun Max punya basic dokter, yang mana tugasnya menolong tanpa p
Max menerima panggilan dengan dahi berkerut dalam. Tidak pernah dia duga kalau Edgar akan menghubunginya. "Siapa?" Paul bertanya. Tangannya selalu sibuk dengan benda persegi pipih nan canggih. Kalau tidak tablet ya laptop."Edgar, dia bilang ingin bertemu. Urusan apa ya?" Max jarang bersentuhan dengan dunia luar. Dia benar-benar suka mengurung diri di lab.Berkutat dengan rumus, formula dan berbagai percobaan. Entah berhasil atau tidak, Max tidak peduli. Yang penting dia nyaman dengan dunianya. Soal hasil pikir nanti."Apa dia berubah pikiran mau menjodohkanmu dengan Vasti, setelah Al menolak terus-terusan. Siapa tahu dia berminat dengan pembunuh tanpa rasa sakit." Paul mulai memprovokasi."Kalau dia berani melakukannya, akan kuhabisi dia dengan racun terbaruku. Tidak terdeteksi.""Pantas namanya Invinsible."Max membusungkan dada, jumawa dengan pencapaiannya. Dua pria itu berhenti berbincang ketika Al keluar dengan Serena setengah terpejam dalam gendongan sang suami."Sudah lebih ba
Al berada di kantin tak lebih dari lima menit. Begitu Max mengangguk, Al langsung menggendong Serena. Pekik kekaguman lirih kembali terdengar. Meski tertutup masker mereka bisa menduga, betapa rupawannya sosok yang tengah membawa Serena pergi dari sana dengan gagah.Di belakangnya ada Max yang mengekor juga Eva. Hening menyelimuti ketika pintu kantin tertutup."Cowok tadi siapa? Ganteng banget gak sih?" Celetuk seorang teman Vasti."Beruntung banget sih Serena ini. Eksekutif mana yang berhasil dia goda."Dari rasa penasaran, kalimat yang terlontar kemudian berubah jadi cibiran. Mereka tentu merasa iri melihat betapa baiknya nasib Serena. Kemarin persoalannya langsung diatasi oleh perusahaan.Sekarang dia sesak napas. Ada Max juga seorang pria tampam yang merawatnya. Benar-benar membuat cemburu rekan Serena.Tapi obrolan sang teman sama sekali tidak mengganggu Vasti yang sejak tadi berdiri menahan amarah."Yang tadi itu Al, Alterio Inzaghi. Aku yakin. Apa hubungan dia dengan Serena."
Serena menggeliat pelan dalam tidurnya. Membuat seseorang yang memeluknya membuka mata. Dia bentangkan jarak, biarkan Serena bergerak, mengubah posisi.Detik setelahnya, Al menghembuskan napas kasar. Serena meringkuk nyaman di dadanya. Puncak kepala Serena menyentuh telinga Al. Napas hangat Serena berhembus di lehernya.Penyiksaan level akut sedang Al rasakan. Bagaimana dia bisa tidur kalau begini caranya. Satu tangan Serena memeluk pinggangnya. Dada Serena yang cuma terhalang piyama menempel di dada berotot Al.Dia lelah, ingin tidur. Tapi yang dia dapati justru godaan ekstra kuat dari istrinya."Kalau aku terkam sekarang, dia pasti ngamuk."Ya jelas, secara baru tadi siang mereka melakoni dua ronde panas di dalam kabin sempit dan mewah Bugatti La Voiture Noire milik Al. Sebagai bayaran test drive super eksklusif yang Al berikan.Tapi kalau begini terus miliknya yang terancam penderitaan. Benda itu sejak tadi sudah menegang minta diasah. Sementara Serena sudah lelap di alam mimpi.Al
"Sebal, tidak mau jalan dulu.""Gak ingat kejadian kemarin?"Al menjawab enteng sambil memarkirkan kendaraannya. Di sebuah garasi super luas di basement The Palace.Sejauh mata memandang, hanya ada deretan mobil mewah berjajar di tempat itu. Ini sih bukan garasi, tapi show room. Serena langsung lupa pada rasa kesalnya.Bola mata Serena melebar melihat kendaraan yang kebanyakan hanya pernah dia lihat di layar kaca dan jalanan. Kini tampak nyata di depan mata."Boleh pegang gak?" Tanya Serena antusias.Belum pernah dia lihat hal ini sebelumnya. Makanya dia sangat antusias. "Yang paling mahal mana?"Al menunjuk mobil hitam di pojokan yang dari tampangnya sudah tercium aroma uangnya."Ganteng ya. Mobilnya."Serena buru-buru merevisi pujiannya. Walau tidak ada cinta di antara mereka. Serena sempat belajar kalau lelaki tidak suka diduakan, meski sekedar pujian."Dia cuma ganteng, tapi gak bisa bikin kamu enak."Serena lekas menoleh. Dia harus waspada kalau Al berubah ke mode mesum. Dia tid