LOGINJam menunjukkan pukul 11 lewat sepuluh malam.Ziva yang baru saja selesai mencuci muka tiba-tiba bersuara manja dari kamar. “Rezaaa…”“Iya sayangku?”“Aku pengen bubur kacang hijau Mang Dani…”Reza yang sedang rebahan langsung menoleh, setengah kaget.“Sekarang?”“Iya. Aku kebayang banget rasanya, apalagi santannya yang gurih. Harus Mang Dani ya, jangan yang lain.”Reza menatap istrinya yang kini memegang perut kecilnya sambil manyun.Dalam hati, dia cuma bisa bergumam pelan, 'Mang Dani jam segini udah pasti pulang tidur, Sayang…'Tapi Reza ingat pesan bijak dari Pak Guntur, satpam apartemen:'Kalau istri ngidam, jangan banyak mikir. Jalan aja. Kalau dia tenang, hidup bapak aman.'Dengan langkah pelan tapi pasrah, Reza berdiri.“Oke, tunggu di sini ya. Aku beliin.”“Yang Mang Dani, Reza. Aku bisa tau kalau bukan.”“Iya, iya, yang Mang Dani.”Reza akhirnya keliling pakai mobil, muter lima blok, dan seperti dugaannya —gerobak Mang Dani sudah tutup.Yang ada cuma satu tukang bubur lain
Sejak kejadian cemburu di kantor kemarin, Reza pikir badai hormon Ziva sudah berlalu.Ternyata… dia salah besar.Sore itu, mereka baru aja pulang dari belanja kebutuhan rumah. Cuaca adem, langit cerah suasana yang harusnya tenang. Tapi begitu masuk apartemen, suasana langsung berubah 180 derajat.Ziva yang tadi masih tertawa di mobil, kini berdiri di depan pintu sambil menghela napas panjang.“Reza…”“Hmm?”“Kenapa sih kamu gak pernah ngerti aku?”Reza langsung berhenti di tempat.“Hah? Aku salah apa lagi?”Ziva melirik pelan, matanya sedikit berair. “Kamu tuh… tadi di jalan, aku bilang pengen es krim rasa stroberi, tapi kamu malah beli yang cokelat.”Reza menatap kantong belanja di tangannya. “Tapi… kamu bilang ‘apa aja boleh, asal dingin’.”“Itu kode, Reza!” seru Ziva, mulai gemas. “Aku tuh pengen kamu peka!”Reza mengedip beberapa kali, bingung antara minta maaf atau ketawa.“Maaf, Ziv. Aku… gak peka.”Ziva menghela napas dramatis. “Ya udah, aku capek ngomong. Aku cuma pengen dime
Hari itu, setelah selesai jadwal di rumah sakit, Ziva duduk sebentar di ruang istirahat dokter. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Meski sudah dua bulan kehamilannya berjalan lancar, rasa mual dan cepat lelah masih sering datang tiba-tiba. Ia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi—pesan dari Reza.[Aku gak bisa anterin kamu pulang hari ini, kamu pulang sendiri bisa?"][Masih siang, aku males sendirian di apartemen][Terus kamu mau kemana setelah ini][Kayaknya mau nyamperin kamu]Setelah berpamitan pada rekan kerjanya, Ziva pun langsung berangkat menuju perusahaan Reza.Begitu tiba di lobby gedung megah itu, semua orang seolah langsung tahu siapa dia. Resepsionis menyapa dengan ramah.“Selamat siang, Bu Ziva. Mau langsung ke lantai 15?”Ziva tersenyum, “Iya"Sampai di lantai 15, suasana kantor terasa tenang dan profesional. Beberapa staf menatap penasaran, dan beberapa lainnya berbisik pelan, “Eh, itu istrinya Pak Reza, kan?”Ziva berjalan dengan l
Reza menggaruk kepala, bingung. “Tapi udah malem banget, Ziv. Aku takut kamu kecewa kalau aku keluar, terus nggak dapet juga.”Ziva menatapnya lama, lalu menunduk. Bibirnya bergetar kecil, lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.“Reza… kamu nggak ngerti, ya?” suaranya pecah. “Aku tuh cuma pengen dimengerti. Aku capek banget hari ini. Pengen makan yang aku mau, tapi kamu malah bilang 'Nanti .”Reza langsung panik, duduk di sebelahnya. “Eh, eh, jangan nangis dong… Aku nggak bermaksud begitu, sumpah.”Tapi Ziva justru menunduk makin dalam, bahunya bergetar. “Aku ngerasa kayak… semua yang aku pengen itu repot buat kamu.”Reza menghela napas panjang, lalu mengusap pipinya pelan. “Sayang, denger aku ya. Aku nggak ngerasa repot sama kamu, sedikit pun. Aku cuma takut kamu makin kecewa kalo aku gagal dapetin satenya. Tapi kalau kamu mau, aku cari sekarang juga.”Ziva menatapnya dengan mata merah dan hidung yang memerah. "Gak terpaksa kan?”Reza tersenyum kecil. “Enggak. Demi kamu dan d
Setelah malam yang ramai dan penuh tawa itu, akhirnya satu per satu anggota keluarga pamit pulang.Suasana apartemen yang tadinya riuh seketika berubah hening.Ziva dan Reza berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan.Begitu pintu tertutup, keduanya menghela napas bersamaan.“Akhirnya…” “...sunyi lagi,” kata Ziva, hampir bersamaan dengan Reza.Mereka berdua saling pandang lalu tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung berubah jadi tatapan bingung saat Ziva melangkah ke dapur.“Reza…”“Hm?”“Kulkas kita… kenapa… kayaknya… mau meledak?”Reza langsung ikut melihat, dan benar saja — kulkas mereka kini penuh sesak.Kotak makanan tertata rapat, ada wadah besar berisi sayur rebus, ikan kukus, susu ibu hamil, jus segar, sampai ramuan herbal berwarna aneh yang aromanya menusuk hidung.“Astaga… ini mereka sempat belanja sebanyak ini pas kita makan malam?”“Kayaknya iya…”“Aku yakin ini bukan kulkas kita lagi, tapi kulkas umum untuk program gizi nasional,” gumam Reza sambil menatap penuh hera
Di dalam apartemen, suasana langsung ramai.Mamah Lia langsung ke dapur tanpa izin, Mamah Indri sibuk menata bantal, Papah Adrian nyalain TV, dan Kakek malah duduk santai sambil berkata,“Nah, ini baru rumah tangga! Ada aroma keluarga.”Ziva cuma bisa saling pandang dengan Reza dan terkekeh pelan.“Aku rasa apartemen kita baru aja diserbu pasukan cinta keluarga.”“Pasukan cinta… dengan volume suara lima kali lipat dari normal,” balas Reza sambil terkekeh.Meja makan apartemen malam itu terlihat seperti sedang menggelar pesta kecil.Piring, mangkuk, dan aroma masakan memenuhi ruangan.Semua tampak sibuk kecuali satu orang, Ziva.“Ziva, duduk aja, jangan berdiri! Nanti capek!”“Iya, sayang, biar Mamah aja yang ambilin.”“Eh, jangan pegang piring panas, nanti tangannya kepanasan. Aduh, kasihan calon cucu Kakek.”Ziva sampai bingung mau napas di mana.Dia duduk manis di kursi tengah, sementara seluruh keluarga sibuk melayaninya seperti dia baru aja naik tahta jadi ratu hamil pertama di d







