“Baru ingat pulang kamu?” suara bariton itu terdengar sangat menggelegar bagiku.
Jujur saja, saat ini aku memang merasa berada di kandang singa seperti yang dikatakan Zen tadi. Dari mulai tatapan orang-orang yang penuh dengan kebencian, sampai suara tanya yang lebih terdengar seperti bentakan.“Assalamu’alaikum!” ucap Zen tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.“Waalaikumsalam!” lirih terdengar jawaban yang entah dari mulut siapa. Sedangkan yang lainnya lebih banyak mengarahkan tatapan tajam daripada menjawab salam Zen.Zen pun menarik tanganku untuk mendekat ke arah lelaki yang tadi mempertanyakan kepulangannya.Zen meraih tangan lelaki itu kemudian menyalaminya. Tak ada respon ataupun tatapan sendu. Yang ada, ia memalingkan mukanya ke arah lain.“Apa kabar, Pa? Lama tak jumpa. Zen bawa calon menantu buat Papa!” ucapnya sambil melirikku dan tersenyum manis.“Apa kau gila Zen? Cewek kucel kaya dia kau bawa sebagai calon menantu?” tanya seorang perempuan yang bergaya sosialita.Zen tak menjawab pertanyaannya sama sekali. Ia malah berbalik arah ke seorang lelaki paruh baya.“Selamat malam Pak Fandi!”Zen mengulurkan tangannya ke arah lelaki itu. Nampak sekali jika lelaki itu dalam keadaan tertekan.“Pak Fandi, saya salut sama anda. Jam 9 malam masih mau melayani klien. Semoga kebaikan anda dibalas oleh Tuhan dengan berlipat ganda!” ucap Zen tulus.“Terimakasih, Nak Zen.”Mereka berdua pun berangkulan, sedangkan aku hanya menunggu Zen di balik punggungnya.“Pak, jangan takut lagi! Aku akan mengambil semua hak ku dan tak akan lagi melarikan diri dari sini!” ucap Zen lirih di telinga pak Fandi.“Maaf Pak Fandi, kemarin-kemarin saya seperti seorang pengecut. Maklum saja, selama hampir 20 tahun ini, saya dididik dengan cara dikerdilkan secara fisik dan mental...”“Apa maksud kamu hah? Kamu mau fitnah bundamu?” teriak ayah Zen sambil berdiri dari duduknya.“Mas, sabar Mas! Nanti darah tingginya kambuh. Aku enggak apa-apa kok,” ucap perempuan bergaya sosialita tadi, yang kupastikan sebagai ibu tiri Zen.“Maaf Pa, aku hanya mengatakan kebenaran. Papa saja yang tak tahu, atau sengaja menutup mata,” Jawab Zen dengan santai.Zen berbalik menatapku dan mengajak untuk duduk di samping pak Fandi. Sumpah demi apapun, aku terkesiap melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku ini, layaknya aku baru melihat wajah sang tuxedo bertopengnya Usagi Sukino. Aku terpesona dan hampir tak bisa mengontrol mataku saat pertama kali melihat wajahnya.“Hey, sini!” ucapnya sambil menepuk-nepuk sofa panjang. Ia mengajakku duduk tepat di sampingnya.“Ah, iya.” Aku pun segera melangkah dan duduk di sampingnya. Ada desiran hebat yang kini ku rasakan. Jadi, dari tadi aku tertidur di punggung lelaki tampan ini? Ah, rasanya aku menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini, apalagi kalau sudah halal.“Pak Fandi, jadi warisan Bunda ini ada yang menggugat atau bagaimana?” tanya Zen yang kini duduk di samping pak Fandi.“Betul Nak Zen. Warisan Almarhumah bu Alisa dibagikan sesuai hukum waris dalam agama yang bu Alisa anut, dalam hal ini Islam. Ahli warisnya hanya ada dua, pak Fatan sebagai suaminya mendapatkan seperempat harta. Sedangkan semua sisa harta jatuh kepada anak kandung laki-laki satu-satunya yaitu anda, pak Zen. Hanya saja, anda tidak diberi kuasa penuh sampai anda menikah.”“Nah, saya akan menikah malam ini juga dengan gadis pilihan saya. Sebentar lagi pak penghulu juga akan tiba.”“Kamu gila Zen, mau bawa perempuan seperti ini ke dalam rumah?”Zen nampak menelan salivanya saat dihardik seperti itu oleh pak Fatan. Mungkin, ia pun berpikir akan hal yang sama karena kami baru saja kenal.“Mohon maaf kalau calon istri saya agak kucel, Pa. Tadi terjatuh dari motor karena buru-buru mau ke sini, Alea tak sempat ganti baju. Bahkan, untuk mengobati lukanya pun belum kami lakukan.”Zen menjelaskannya dengan santai. Ia seperti tak berniat meminta restu kepada siapapun, termasuk kepada pak Fatan sebagai ayahnya.“Permisi Tuan, ada tamu!” ucap seorang satpam.“Ah, iya. Dia itu penghulu dan polisi. Minta mereka masuk!” ucap Zen yang dibalas dengan tatapan nyalang sang satpam.“Tuan?” tanya satpam itu lagi kepada pak Fatan.“Hey, kamu satpam di rumah ini? Nama kamu siapa?” tanya Zen masih dengan nada santai.Tak kusangka, satpam itu tak bergeming dan hanya menunggu jawaban dari pak Fatan. Setelah pak Fatan memberinya kode, akhirnya satpam itu pun berlalu pergi.Terdengar Zen menghembuskan nafas terdalamnya, dan kini pak Fandi menepuk-nepuk pundaknya pelan. “Kau lihat kan Pa? Sampai satpam saja tak memberiku muka. Seperti itulah tingkah mereka selama ini.”“Tenang, sebentar lagi kau bisa segera memecatnya,” bisik pak Fandi ke telinga Zen. Aku mengulum senyum mendengar dukungan pak Fandi kepada Zen.Pak Fatan nampak meminta penjelasan kepada istrinya. Namun, nampaknya sang istri bisa menjelaskan dengan baik sehingga sang istri berakhir di dalam rangkulan pak Fatan dalam keadaan terisak.“Playing victim.”“Kamu bilang apa?” tanya Zen yang tiba-tiba wajahnya berada di dekatku.“Ah, enggak.” Aku betul-betul tak mengontrol ucapan saat melihat tingkah wanita itu.“Aku dengar apa ucapanmu. Kau baru lihat sudah bisa menilai kan?” tanyanya tanpa membutuhkan jawaban dariku.Tak lama, terdengar deru suara mesin mobil berhenti tepat di halaman rumah.“Assalamu’alaikum!”Ucap tamu yang datang bersamaan.“Kau!” hardik pak Fatan kepada Zen. Kukira ia tak terima karena anaknya membawa beberapa polisi berseragam lengkap ke rumah ini.“Aku hanya membutuhkan perlindungan, Pa! Kau tak tahu siapa perempuan yang selalu bersamamu itu.”“Jaga mulutmu!” titah pak Fatan. Namun lelaki itu tak berkutik saat penghulu dan rombongan polisi itu menyalaminya.“Saya mohon anda untuk menikahkan kami sekarang!” pinta Zen kepada pak penghulu.“Baik. Tolong dituliskan nama pengantin, wali dan mahar yang akan dibayarkan di sini!” pak penghulu memberikan secarik kertas dan pensil kepada Zen.Aku menelan saliva saat mendengar hal itu. Aku takut mereka tahu dan menghinaku yang tak memiliki ayah.“Tulis nama kamu, ayah kamu juga ya!” pinta Zen sambil menyodorkan kertas itu ke pangkuanku. “Pak penghulu, untuk walinya diwakilkan enggak masalah kan?” tanya Zen kepada penghulu sebelum mendapatkan jawaban dariku.“Memangnya tidak bisa hadir?” tanyanya lagi.“Tidak bisa,” jawab Zen dengan tegas.“Kau nemu perempuan ini di jalan, Zen? Jangan-jangan dia seorang pelacur!” ucap istri pak Fatan tanpa tedeng aling-aling.“Ya, kalau tadi aku jadi menikah dengan mister Daniel, mungkin saja statusku berubah jadi pelacur,” lirihku dalam hati.“Kau dengar kan, Pah? Bagaimana kalimatnya tak pernah disaring! Seperti itulah dirinya selama ini kepadaku.”“Mamah cuma mau yang terbaik buat kamu!” kilahnya dengan air mata yang semakin membanjir. Pak Fatan pun nampak terus menenangkan sang istri.“Sudah?” tanya pak penghulu kepada Zen.Aku menarik baju Zen dan memperlihatkan apa yang kutulis di kertas tadi. “Tolong baca dulu, Zen!” ucapku meminta.Zen pun segera membaca apa yang kutulis.(Maaf, aku tak tahu ayahku siapa. Aku tak tahu apakah aku anak zina atau bukan. Aku juga tak punya keluarga lain selain ibuku yang kini sedang tak berdaya di rumah sakit. Jadi, aku tak bisa menuliskan nasabku sama sekali. Maaf)Zen kini menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan.*Bersambung*Zen menarik pergelangan tanganku. Aku hanya mengikuti langkahnya dan tak ingin bertanya apapun.Setelah kami berada di teras luar, ia pun menarik nafasnya panjang-panjang. “Dengar, aku tak mungkin mundur lagi. Kau bisa menyebutkan nama yang kau ingat? Maksudku, mungkin ada sekelebat ingatan yang lewat dan itu tentang nama Ayah kamu.” Zen menangkupkan kedua tangannya pertanda ia memohon atas hal ini.“Kalau sebagian catatan di sekolah sih, itu Fauzan. Jadi, ibu daftarin aku dengan nama Ayah Fauzan, tapi Aku enggak tahu Fauzan itu siapa. Aku enggak pernah ketemu, juga enggak ada di kartu keluarga.” Aku bersender ke tembok sambil berusaha mengingat sesuatu. "Enggak ada sedikitpun ingatan tentang... Ayah," ucapku lagi seraya melepas beban-beban berat. “Isshhh... “ Zen menyugar rambutnya dengan frustasi. Sepertinya Ia bingung apabila harus mundur.Selama ini, harta warisan ibunya dikuasai oleh Rima, ibu tiri yang selama ini memperlakukannya tak adil. Baru kali ini juga Ia sadar untuk mela
Akad pun sudah dilaksanakan. Kini, Aku sudah resmi menjadi istri Zen.Dengan ditemani anak buah pak Fandi, Aku bertolak ke rumah sakit dengan membawa uang beberapa juta, serta sebuah kartu debit dari pak Fandi yang berisi ratusan juta di dalamnya.Sedangkan Zen, Ia sedang menyelesaikan urusannya dalam pengambil alihan harta yang merupakan haknya. “Dari awal aja udah nampak alot, mudah-mudahan lancar,” gumamku berharap kebaikan untuk Zen.Aku turun dari mobil high MPV milik pak Fandi, tepat di lobi rumah sakit. Demi keamanan, Aku mengenakan masker atas permintaan Zen dan pak Fandi. Mereka mengatakan bahwa ketika sudah menjadi istri Zen, hidupku akan mulai tak tenang. Bisa jadi, Aku akan mulai diincar oleh anak buah Rima.“Saya akan parkir dulu, nanti Saya masuk. Atas nama siapa pasiennya?” tanya Ruslan, anak buah pak Fandi yang sebenarnya bukan sopir biasa, tapi sopir yang merangkap sebagai pengawal pribadi."Emmhh, tidak perlu merepotkan!"ucapku merasa tak enak hati."Saya ditugaskan
"Mama!"Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya."Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir."Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya."Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya."Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru."Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik
Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku. Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan men
“O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb
“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze