Share

DAS 3. Kandang Singa

“Baru ingat pulang kamu?” suara bariton itu terdengar sangat menggelegar bagiku.

Jujur saja, saat ini aku memang merasa berada di kandang singa seperti yang dikatakan Zen tadi. Dari mulai tatapan orang-orang yang penuh dengan kebencian, sampai suara tanya yang lebih terdengar seperti bentakan.

“Assalamu’alaikum!” ucap Zen tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Waalaikumsalam!” lirih terdengar jawaban yang entah dari mulut siapa. Sedangkan yang lainnya lebih banyak mengarahkan tatapan tajam daripada menjawab salam Zen.

Zen pun menarik tanganku untuk mendekat ke arah lelaki yang tadi mempertanyakan kepulangannya.

Zen meraih tangan lelaki itu kemudian menyalaminya. Tak ada respon ataupun tatapan sendu. Yang ada, ia memalingkan mukanya ke arah lain.

“Apa kabar, Pa? Lama tak jumpa. Zen bawa calon menantu buat Papa!” ucapnya sambil melirikku dan tersenyum manis.

“Apa kau gila Zen? Cewek kucel kaya dia kau bawa sebagai calon menantu?” tanya seorang perempuan yang bergaya sosialita.

Zen tak menjawab pertanyaannya sama sekali. Ia malah berbalik arah ke seorang lelaki paruh baya.

“Selamat malam Pak Fandi!”

Zen mengulurkan tangannya ke arah lelaki itu. Nampak sekali jika lelaki itu dalam keadaan tertekan.

“Pak Fandi, saya salut sama anda. Jam 9 malam masih mau melayani klien. Semoga kebaikan anda dibalas oleh Tuhan dengan berlipat ganda!” ucap Zen tulus.

“Terimakasih, Nak Zen.”

Mereka berdua pun berangkulan, sedangkan aku hanya menunggu Zen di balik punggungnya.

“Pak, jangan takut lagi! Aku akan mengambil semua hak ku dan tak akan lagi melarikan diri dari sini!” ucap Zen lirih di telinga pak Fandi.

“Maaf Pak Fandi, kemarin-kemarin saya seperti seorang pengecut. Maklum saja, selama hampir 20 tahun ini, saya dididik dengan cara dikerdilkan secara fisik dan mental...”

“Apa maksud kamu hah? Kamu mau fitnah bundamu?” teriak ayah Zen sambil berdiri dari duduknya.

“Mas, sabar Mas! Nanti darah tingginya kambuh. Aku enggak apa-apa kok,” ucap perempuan bergaya sosialita tadi, yang kupastikan sebagai ibu tiri Zen.

“Maaf Pa, aku hanya mengatakan kebenaran. Papa saja yang tak tahu, atau sengaja menutup mata,” Jawab Zen dengan santai.

Zen berbalik menatapku dan mengajak untuk duduk di samping pak Fandi. Sumpah demi apapun, aku terkesiap melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku ini, layaknya aku baru melihat wajah sang tuxedo bertopengnya Usagi Sukino. Aku terpesona dan hampir tak bisa mengontrol mataku saat pertama kali melihat wajahnya.

“Hey, sini!” ucapnya sambil menepuk-nepuk sofa panjang. Ia mengajakku duduk tepat di sampingnya.

“Ah, iya.” Aku pun segera melangkah dan duduk di sampingnya. Ada desiran hebat yang kini ku rasakan. Jadi, dari tadi aku tertidur di punggung lelaki tampan ini? Ah, rasanya aku menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini, apalagi kalau sudah halal.

“Pak Fandi, jadi warisan Bunda ini ada yang menggugat atau bagaimana?” tanya Zen yang kini duduk di samping pak Fandi.

“Betul Nak Zen. Warisan Almarhumah bu Alisa dibagikan sesuai hukum waris dalam agama yang bu Alisa anut, dalam hal ini Islam. Ahli warisnya hanya ada dua, pak Fatan sebagai suaminya mendapatkan seperempat harta. Sedangkan semua sisa harta jatuh kepada anak kandung laki-laki satu-satunya yaitu anda, pak Zen. Hanya saja, anda tidak diberi kuasa penuh sampai anda menikah.”

“Nah, saya akan menikah malam ini juga dengan gadis pilihan saya. Sebentar lagi pak penghulu juga akan tiba.”

“Kamu gila Zen, mau bawa perempuan seperti ini ke dalam rumah?”

Zen nampak menelan salivanya saat dihardik seperti itu oleh pak Fatan. Mungkin, ia pun berpikir akan hal yang sama karena kami baru saja kenal.

“Mohon maaf kalau calon istri saya agak kucel, Pa. Tadi terjatuh dari motor karena buru-buru mau ke sini, Alea tak sempat ganti baju. Bahkan, untuk mengobati lukanya pun belum kami lakukan.”

Zen menjelaskannya dengan santai. Ia seperti tak berniat meminta restu kepada siapapun, termasuk kepada pak Fatan sebagai ayahnya.

“Permisi Tuan, ada tamu!” ucap seorang satpam.

“Ah, iya. Dia itu penghulu dan polisi. Minta mereka masuk!” ucap Zen yang dibalas dengan tatapan nyalang sang satpam.

“Tuan?” tanya satpam itu lagi kepada pak Fatan.

“Hey, kamu satpam di rumah ini? Nama kamu siapa?” tanya Zen masih dengan nada santai.

Tak kusangka, satpam itu tak bergeming dan hanya menunggu jawaban dari pak Fatan. Setelah pak Fatan memberinya kode, akhirnya satpam itu pun berlalu pergi.

Terdengar Zen menghembuskan nafas terdalamnya, dan kini pak Fandi menepuk-nepuk pundaknya pelan. “Kau lihat kan Pa? Sampai satpam saja tak memberiku muka. Seperti itulah tingkah mereka selama ini.”

“Tenang, sebentar lagi kau bisa segera memecatnya,” bisik pak Fandi ke telinga Zen. Aku mengulum senyum mendengar dukungan pak Fandi kepada Zen.

Pak Fatan nampak meminta penjelasan kepada istrinya. Namun, nampaknya sang istri bisa menjelaskan dengan baik sehingga sang istri berakhir di dalam rangkulan pak Fatan dalam keadaan terisak.

“Playing victim.”

“Kamu bilang apa?” tanya Zen yang tiba-tiba wajahnya berada di dekatku.

“Ah, enggak.” Aku betul-betul tak mengontrol ucapan saat melihat tingkah wanita itu.

“Aku dengar apa ucapanmu. Kau baru lihat sudah bisa menilai kan?” tanyanya tanpa membutuhkan jawaban dariku.

Tak lama, terdengar deru suara mesin mobil berhenti tepat di halaman rumah.

“Assalamu’alaikum!”

Ucap tamu yang datang bersamaan.

“Kau!” hardik pak Fatan kepada Zen. Kukira ia tak terima karena anaknya membawa beberapa polisi berseragam lengkap ke rumah ini.

“Aku hanya membutuhkan perlindungan, Pa! Kau tak tahu siapa perempuan yang selalu bersamamu itu.”

“Jaga mulutmu!” titah pak Fatan. Namun lelaki itu tak berkutik saat penghulu dan rombongan polisi itu menyalaminya.

“Saya mohon anda untuk menikahkan kami sekarang!” pinta Zen kepada pak penghulu.

“Baik. Tolong dituliskan nama pengantin, wali dan mahar yang akan dibayarkan di sini!” pak penghulu memberikan secarik kertas dan pensil kepada Zen.

Aku menelan saliva saat mendengar hal itu. Aku takut mereka tahu dan menghinaku yang tak memiliki ayah.

“Tulis nama kamu, ayah kamu juga ya!” pinta Zen sambil menyodorkan kertas itu ke pangkuanku. “Pak penghulu, untuk walinya diwakilkan enggak masalah kan?” tanya Zen kepada penghulu sebelum mendapatkan jawaban dariku.

“Memangnya tidak bisa hadir?” tanyanya lagi.

“Tidak bisa,” jawab Zen dengan tegas.

“Kau nemu perempuan ini di jalan, Zen? Jangan-jangan dia seorang pelacur!” ucap istri pak Fatan tanpa tedeng aling-aling.

“Ya, kalau tadi aku jadi menikah dengan mister Daniel, mungkin saja statusku berubah jadi pelacur,” lirihku dalam hati.

“Kau dengar kan, Pah? Bagaimana kalimatnya tak pernah disaring! Seperti itulah dirinya selama ini kepadaku.”

“Mamah cuma mau yang terbaik buat kamu!” kilahnya dengan air mata yang semakin membanjir. Pak Fatan pun nampak terus menenangkan sang istri.

“Sudah?” tanya pak penghulu kepada Zen.

Aku menarik baju Zen dan memperlihatkan apa yang kutulis di kertas tadi. “Tolong baca dulu, Zen!” ucapku meminta.

Zen pun segera membaca apa yang kutulis.

(Maaf, aku tak tahu ayahku siapa. Aku tak tahu apakah aku anak zina atau bukan. Aku juga tak punya keluarga lain selain ibuku yang kini sedang tak berdaya di rumah sakit. Jadi, aku tak bisa menuliskan nasabku sama sekali. Maaf)

Zen kini menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status