Share

BAB 2

Waktu terasa lambat berjalan. Baru dua jam aku mengurung diri di kamar, tapi rasanya seperti dua hari. Sejak kemelut di ruang tamu tadi, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkan hati larut dalam kepedihan. Menumpahkan kecewa dalam tangis.  

Aku bangkit dari ranjang, lalu berjalan mendekat pada meja rias yang masih setia berdiam di sudut kamar, memindai wajah dari pantulan cermin. Cantik, tapi kenapa Mas Rizal lebih memilih Ela?

Jengah dengan aktivitas ini, aku mendekat pada jendela. Kuedarkan pandangan ke luar ruangan, menikmati siluet senja yang mulai meredup. 

Dulu, aku dan Mas Rizal sering menghabiskan waktu berdua sekedar menikmati senja. Merajut mimpi, menatap masa depan dalam balutan cinta. 

“Ve..., sudah mau magrib. Mandi dulu,” teriak Ibu dari luar kamar. 

Aku terjaga dari lamunan. Berjalan membuka pintu lalu membiarkan Ibu masuk. Kami duduk berdua di tepian ranjang.

“Mandi dulu, Ve. Biar pikiranmu jernih.” Ibu menasihati. 

“Nanti saja, Bu.  Malas,” jawabku. 

“Jangan begitu, Ve. Kamu kan anak gadis, jadi enggak boleh malas,” ungkap Ibu. 

“Gadis yang malang ya, Bu.” Aku tersenyum kecut menatap wajah perempuan di sebelahku, “Aku mengorbankan waktu untuk bekerja membiayai sekolah Ela, tapi malah dia menikungku,” 

Aku bisa melihat gurat kesedihan di wajah Ibu. Setiap orang tua pasti ingin anak-anaknya hidup rukun. Tapi sulit jika seperti ini. Aku terbakar cemburu jika melihat Mas Rizal berdekatan dengan Ela. 

“Ve, mereka menikah karena keadaan yang memaksa. Ibu mohon, kamu ikhlaskan Rizal. Bukankah Ibu sudah mewanti-wanti kamu bahwa jodoh, rezeki dan pati itu rahasia Alloh. Tak ada seorang pun yang tahu akan seperti apa hidup kita kelak. Cinta itu tak harus memiliki.” 

Panjang lebar Ibu berceramah, tapi aku tak peduli. Bagiku hanya pecundang yang tak bisa perjuangkan cinta. Jika saja Mas Rizal mau menceraikan Ela, sudah barang tentu kami bahagia. Aku tahu dia sangat mencintaiku. 

“Aku mandi dulu, Bu,” pamitku kemudian menyambar handuk dan pergi ke belakang.

Ketimbang mendengarkan Ibu yang terus memintaku ikhlas, lebih baik aku pergi mandi saja. Lagian tubuh juga sudah gerah karena sejak sampai di rumah belum membersihkan diri. 

Saat tiba di depan kamar mandi, tak sengaja berpapasan dengan Mas Rizal. Getaran di dada masih terasa sama indahnya. Jantung ini berdetak lebih kencang saat sorot mata kami saling bertemu. 

Entah dapat ide dari mana aku menarik tangan Mas Rizal mengajaknya ke belakang rumah. Meski ragu akhirnya dia menurut juga. Mas Rizal duduk pada sebatang kayu yang roboh sementara aku duduk di tunggul kayu. 

“Mas, katakan dengan jujur. Apa di hatimu masih ada aku?” cecarku tanpa basa-basi. 

“Ya!” jawabnya singkat. 

“Lalu kenapa kamu enggan menceraikan Ela? Apa kamu mulai jatuh cinta dengannya?” 

“Pernikahan itu bukan melulu soal cinta, Dek. Tapi juga soal kesetiaan. Pernikahan sesuatu yang sakral jadi tak sembarangan main cerai,” jelasnya. 

“Setia? Apa selama ini aku tak setia, Mas?” cibirku. 

“Bukan begitu, Dek. Aku sama sekali tak meragukanmu. Hanya saja takdir tak berpihak pada kita,” kilah Mas Rizal. 

“Itu karena kau lemah, Mas. Tak mau menolak saat Ibumu memintamu menikah cepat. Setidaknya kamu usaha menyusulku ke kota atau menungguku sampai pulang. Apa kamu sudah lupa dengan janji kita? Apa kamu sudah lupa dengan impian kita?” tanyaku dengan mata mulai terasa mengembun. 

Hati ini berdenyut nyeri tiap kali teringat akan janjinya untuk menjadi ayah dari anak-anakku. Dia juga berjanji untuk selalu menghapus air mataku. Tapi nyatanya apa? Dia justru menjadi penyebab derasnya tangisku. 

“Aku tak pernah lupa itu. Hanya saja keadaan sudah tidak memungkinkan. Sekarang kamu telah menjadi kakak iparku. Tolong lupakan aku,” sahut Mas Rizal. 

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan seseorang yang selama lima tahun ini selalu kusebut namanya dalam doa terindahku. Cinta ini sudah kadung mengakar kuat di sanubari. Jika memaksa mencabutnya maka akan meremukkan hati. 

“Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi, Mas?” tanyaku menahan sesak. 

“Aku akan tetap mencintaimu, Ve, tapi dengan cara yang berbeda. Semua yang telah kita lalui bersama akan kusimpan dalam hati. Kubingkai sedemikian rupa menjadi kenangan yang terindah dan tak akan kulupakan. Tapi bukan berarti kita harus bersama. Jalani hidup masing-masing, Ve. Terima kalau sekarang aku telah menjadi adik iparmu,” jelas Mas Rizal. 

Setelah itu hening terjadi antara kami. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa seperti dulu. Semua sirna dihempas kenyataan dan hanya menyisakan perih yang tak terperikan.

Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki mendekat dari arah rumah. Aku mengarahkan pandangan pada sumber suara tersebut. Ela berdiri tak jauh dari kami dengan wajah menyiratkan kecemburuan. 

“Mas, Mbak, sudah hampir magrib. Ibu manggil,” ucap Ela. 

“Iya,” jawab Mas Rizal. 

Dia berjalan mengekori Ela yang telah lebih dulu pergi tanpa memedulikan aku yang masih rindu akan hadirnya. Oh... Tuhan! Beginikah rasanya merindui suami orang!

Selang beberapa saat aku pun beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur seluruh tubuh dengan air dingin dengan harapan segala dukaku akan hilang terbawa tetesan air yang mengalir. 

 Seusai mandi dan berganti pakaian, aku beranjak ke dapur berniat membantu ibu menyiapkan makan malam. Rupanya Ela sudah ada di sana sibuk memasak sayur. 

Aku menatap kagum pada adikku yang telah tumbuh menjadi gadis yang cekatan. Namun, kekaguman itu menguap saat menyadari dia telah menghancurkan impianku. Gegas aku berbalik ke kamar lalu menghempaskan tubuh di atas ranjang. 

Ya Alloh... kenapa aku harus dihadapkan pada situasi sesulit ini? 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
YuliaBilqis
pergi ve dari pd sikit hati
goodnovel comment avatar
Nunyelis
knp masih aja bertahan dirmh ortumya ....mending pergi dr rumah untuk kerja dr pd sakit hati....berpikirlah yg cerdas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status