Share

BAB 2

Penulis: Putri putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-17 15:43:02

Waktu terasa lambat berjalan. Baru dua jam aku mengurung diri di kamar, tapi rasanya seperti dua hari. Sejak kemelut di ruang tamu tadi, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Membiarkan hati larut dalam kepedihan. Menumpahkan kecewa dalam tangis.  

Aku bangkit dari ranjang, lalu berjalan mendekat pada meja rias yang masih setia berdiam di sudut kamar, memindai wajah dari pantulan cermin. Cantik, tapi kenapa Mas Rizal lebih memilih Ela?

Jengah dengan aktivitas ini, aku mendekat pada jendela. Kuedarkan pandangan ke luar ruangan, menikmati siluet senja yang mulai meredup. 

Dulu, aku dan Mas Rizal sering menghabiskan waktu berdua sekedar menikmati senja. Merajut mimpi, menatap masa depan dalam balutan cinta. 

“Ve..., sudah mau magrib. Mandi dulu,” teriak Ibu dari luar kamar. 

Aku terjaga dari lamunan. Berjalan membuka pintu lalu membiarkan Ibu masuk. Kami duduk berdua di tepian ranjang.

“Mandi dulu, Ve. Biar pikiranmu jernih.” Ibu menasihati. 

“Nanti saja, Bu.  Malas,” jawabku. 

“Jangan begitu, Ve. Kamu kan anak gadis, jadi enggak boleh malas,” ungkap Ibu. 

“Gadis yang malang ya, Bu.” Aku tersenyum kecut menatap wajah perempuan di sebelahku, “Aku mengorbankan waktu untuk bekerja membiayai sekolah Ela, tapi malah dia menikungku,” 

Aku bisa melihat gurat kesedihan di wajah Ibu. Setiap orang tua pasti ingin anak-anaknya hidup rukun. Tapi sulit jika seperti ini. Aku terbakar cemburu jika melihat Mas Rizal berdekatan dengan Ela. 

“Ve, mereka menikah karena keadaan yang memaksa. Ibu mohon, kamu ikhlaskan Rizal. Bukankah Ibu sudah mewanti-wanti kamu bahwa jodoh, rezeki dan pati itu rahasia Alloh. Tak ada seorang pun yang tahu akan seperti apa hidup kita kelak. Cinta itu tak harus memiliki.” 

Panjang lebar Ibu berceramah, tapi aku tak peduli. Bagiku hanya pecundang yang tak bisa perjuangkan cinta. Jika saja Mas Rizal mau menceraikan Ela, sudah barang tentu kami bahagia. Aku tahu dia sangat mencintaiku. 

“Aku mandi dulu, Bu,” pamitku kemudian menyambar handuk dan pergi ke belakang.

Ketimbang mendengarkan Ibu yang terus memintaku ikhlas, lebih baik aku pergi mandi saja. Lagian tubuh juga sudah gerah karena sejak sampai di rumah belum membersihkan diri. 

Saat tiba di depan kamar mandi, tak sengaja berpapasan dengan Mas Rizal. Getaran di dada masih terasa sama indahnya. Jantung ini berdetak lebih kencang saat sorot mata kami saling bertemu. 

Entah dapat ide dari mana aku menarik tangan Mas Rizal mengajaknya ke belakang rumah. Meski ragu akhirnya dia menurut juga. Mas Rizal duduk pada sebatang kayu yang roboh sementara aku duduk di tunggul kayu. 

“Mas, katakan dengan jujur. Apa di hatimu masih ada aku?” cecarku tanpa basa-basi. 

“Ya!” jawabnya singkat. 

“Lalu kenapa kamu enggan menceraikan Ela? Apa kamu mulai jatuh cinta dengannya?” 

“Pernikahan itu bukan melulu soal cinta, Dek. Tapi juga soal kesetiaan. Pernikahan sesuatu yang sakral jadi tak sembarangan main cerai,” jelasnya. 

“Setia? Apa selama ini aku tak setia, Mas?” cibirku. 

“Bukan begitu, Dek. Aku sama sekali tak meragukanmu. Hanya saja takdir tak berpihak pada kita,” kilah Mas Rizal. 

“Itu karena kau lemah, Mas. Tak mau menolak saat Ibumu memintamu menikah cepat. Setidaknya kamu usaha menyusulku ke kota atau menungguku sampai pulang. Apa kamu sudah lupa dengan janji kita? Apa kamu sudah lupa dengan impian kita?” tanyaku dengan mata mulai terasa mengembun. 

Hati ini berdenyut nyeri tiap kali teringat akan janjinya untuk menjadi ayah dari anak-anakku. Dia juga berjanji untuk selalu menghapus air mataku. Tapi nyatanya apa? Dia justru menjadi penyebab derasnya tangisku. 

“Aku tak pernah lupa itu. Hanya saja keadaan sudah tidak memungkinkan. Sekarang kamu telah menjadi kakak iparku. Tolong lupakan aku,” sahut Mas Rizal. 

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan seseorang yang selama lima tahun ini selalu kusebut namanya dalam doa terindahku. Cinta ini sudah kadung mengakar kuat di sanubari. Jika memaksa mencabutnya maka akan meremukkan hati. 

“Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi, Mas?” tanyaku menahan sesak. 

“Aku akan tetap mencintaimu, Ve, tapi dengan cara yang berbeda. Semua yang telah kita lalui bersama akan kusimpan dalam hati. Kubingkai sedemikian rupa menjadi kenangan yang terindah dan tak akan kulupakan. Tapi bukan berarti kita harus bersama. Jalani hidup masing-masing, Ve. Terima kalau sekarang aku telah menjadi adik iparmu,” jelas Mas Rizal. 

Setelah itu hening terjadi antara kami. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa seperti dulu. Semua sirna dihempas kenyataan dan hanya menyisakan perih yang tak terperikan.

Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki mendekat dari arah rumah. Aku mengarahkan pandangan pada sumber suara tersebut. Ela berdiri tak jauh dari kami dengan wajah menyiratkan kecemburuan. 

“Mas, Mbak, sudah hampir magrib. Ibu manggil,” ucap Ela. 

“Iya,” jawab Mas Rizal. 

Dia berjalan mengekori Ela yang telah lebih dulu pergi tanpa memedulikan aku yang masih rindu akan hadirnya. Oh... Tuhan! Beginikah rasanya merindui suami orang!

Selang beberapa saat aku pun beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur seluruh tubuh dengan air dingin dengan harapan segala dukaku akan hilang terbawa tetesan air yang mengalir. 

 Seusai mandi dan berganti pakaian, aku beranjak ke dapur berniat membantu ibu menyiapkan makan malam. Rupanya Ela sudah ada di sana sibuk memasak sayur. 

Aku menatap kagum pada adikku yang telah tumbuh menjadi gadis yang cekatan. Namun, kekaguman itu menguap saat menyadari dia telah menghancurkan impianku. Gegas aku berbalik ke kamar lalu menghempaskan tubuh di atas ranjang. 

Ya Alloh... kenapa aku harus dihadapkan pada situasi sesulit ini? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
YuliaBilqis
pergi ve dari pd sikit hati
goodnovel comment avatar
Nunyelis
knp masih aja bertahan dirmh ortumya ....mending pergi dr rumah untuk kerja dr pd sakit hati....berpikirlah yg cerdas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   bahagia

    ****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   minta izin

    “Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   HANA KEMBALI

    Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   NASIHAT

    Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   mengusir benalu

    *** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   Bayiku .... tidak...

    Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status