Lamunanku buyar tatkala pintu kamar diketuk tiga kali. Suara lembut ibu terdengar memanggil, meminta aku keluar untuk makan malam bersama.
“Iya, Bu. Sebentar,” jawabku berteriak. Dengan malas aku bangkit lalu beranjak keluar. Saat sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul mengitari meja makan, tak terkecuali Mas Rizal. Perih di hati kembali terasa saat melihat Mas Rizal duduk berjajar dengan adikku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan bokongku di sebelah Ibu, berseberangan dengan Mas Rizal dan Ela. Seharusnya makan malam ini menjadi momen bahagia karena sudah hampir dua bulan tak berkumpul. Sayangnya ini menjadi momen paling menyakitkan karena harus melihat Mas Rizal bersanding dengan adikku. “Ibu sengaja masak ayam goreng kesukaanmu. Maka yang banyak ya, Ve,” ucap Ibu. “Iya, Bu,” jawabku datar. Aku mengambil secentang nasi beserta sepotong ayam goreng dan sambal terasi. Sesuap demi sesuap aku terus memaksa untuk makan meski sebenarnya aku sama sekali tak menikmatinya. “Ve, Minggu depan Bapak minta uang ya,” ucap Bapak di sela makan malam kami. “Berapa, Pak?” tanyaku. “Dua puluh juta,” jawab Bapak. Aku tersentak kaget mendengar permintaan Bapak. Biasanya paling dia minta beberapa ratus ribu saja selain uang dua juta yang rutin kukirim tiap bulan. Ya. Sejak aku bekerja di kota, memang rutin kukirim uang bulanan untuk sekolah Ela. Sisanya untuk bantu keperluan keluarga. “Banyak banget, Pak? Buat apa?” Aku menatap Bapak penuh selidik. “Buat biaya resepsi pernikahan adik kamu. Mereka akan menikah secara resmi. Kita selamatan kecil-kecilan saja,” jawab Bapak tanpa rasa bersalah. Sontak aku terkejut dengan permintaan Bapak. Bagaimana mungkin aku diminta membiaya pernikahan Ela sedangkan mempelai lelakinya adalah calon suamiku sendiri? Sebisa mungkin aku menahan sesak yang kian menyeruak. Luka di hati sudah menganga karena kenyataan pahit ini, kenapa malah Bapak menyiram dengan air garam? Tidakkah Bapak memikirkan perasaanku? “Maaf, Pak. Aku enggak punya uang!” jawabku bohong. Sorry! Aku tak sudi membiayai pernikahan mereka. Bahkan dalam hati aku ingin semuanya dibatalkan. Uang segitu memang ada, tapi tak mungkin aku kasih. Untuk apa memberi pada orang-orang yang tak tahu balas budi. “Kamu kan punya tabungan di bank, pakai saja dulu,” usul Bapak. Ya. Aku pernah bercerita kalau punya tabungan yang rencananya akan kupakai buat biaya jika menikah nanti. Lalu, apa aku harus memberi pada Bapak. “Sudah habis, Pak!” jawabku bohong. “Kamu bagaimana sih. Tabungan kok malah dihabiskan. Bapak kan sudah mewanti-wanti kamu buat irit. Kenapa malah sampai menghabiskan tabungan segala!” Bapak mendengkus kesal. Wajahnya memerah seperti menahan amarah. Sorot mata itu tajam seolah ingin menerkamku, membuat nyaliku sedikit menciut. Namun, secepatnya aku memupuk keberanian. “Loh! Kenapa Bapak marah! Yang mau menikah siapa, yang membiayai siapa?” ucapku sembari melirik pada Ela. Adikku menundukkan pandangan. Mungkin saja dia tersinggung dengan ucapanku. Masa bodo! Salah siapa merebut calon suamiku. Jangankan memberi untuk biaya pernikahan, untuk jajan saja rasanya tak rela. “Vera! Yang sopan kamu!” bentak Ibu yang sedari tadi diam menyimak. Aku mengalihkan pandangan, memberanikan diri menatap mata Ibu yang mendelik tajam. Entah dapat keberanian dari mana sampai aku tak sopan begini. Sebelumnya, aku tak pernah berani membantah ucapan Bapak atau Ibu. “Sopan? Sopan pada siapa, Bu? Pada orang-orang yang mengkhianati kebaikanku?” sindirku. “Ini semua takdir! Jadi jangan menyalahkan siapapun!” protes Bapak tak terima. Tersenyum kecut, aku berganti menatap wajah Bapak yang terlihat garang. Dulu aku akan ketakutan jika melihat kilat kemarahan di wajah Bapak, tapi entah kenapa sekarang tak sedikitpun rasa takut itu ada. “Jangan bawa-bawa takdir! Ini juga salah Bapak. Jika Bapak tak merestui mereka, semua tak akan begini. Seharusnya Bapak menolak. Bukan malah mau menjadi wali pernikahan mereka. Bisa enggak sih Bapak memikirkan perasaanku sedikit saja!” teriakku dengan nada suara semakin meninggi. Jujur, aku sudah terlalu lelah mengalah. Apa-apa Ela yang didahulukan. Semula aku pikir sudah sepantasnya aku mengalah dengan adikku, tapi setelah semua yang terjadi, aku tak lagi bisa jika harus terus mengalah. “Kamu berani membentak Bapak! Dasar anak tak tahu diri!” Bapak bangkit ingin mendekat ke arahku, tapi Ibu mencegah. “Sabar, Pak! Sabar...,” bujuk Ibu. Baik Ela ataupun Mas Rizal tak berani membuka suara. Keduanya mematung seperti tak punya nyali untuk mengakui kesalahan mereka. “Yang tak tahu diri itu Ela, Pak! Bukan aku. Sudah capek-capek aku membiayai sekolahnya, Eh... dia malah menikungku. Dasar murahan!” umpatku tanpa pikir panjang. “Diam kamu!” bentak Bapak. “Ve, kamu masuk kamar dulu, Ve... jangan terus membuat masalah. Kamu sudah keterlaluan,” perintah Ibu. Aku menghela nafas kasar untuk menepis kecewa. Di sini aku yang menjadi korban, kenapa malah aku diperlakukan seperti pelaku kejahatan? Edan! “Yang keterlaluan itu kalian semua! Bukan aku!” Aku bangkit menyambar piring di depanku kemudian membantingnya hingga membuat suara berisik khas benda pecah. Tanpa menunggu lama aku berlalu meninggalkan ruang makan. Menyambar kunci motor di atas televisi kemudian pergi meninggalkan rumah. Seharusnya rumah menjadi surga bagiku, tapi kenapa seperti ada di neraka? sepertinya akan lebih baik jika aku menjauh dari mereka.****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak
“Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran
Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah
Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela
*** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te
Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.