Share

BAB 3

Lamunanku buyar tatkala pintu kamar diketuk tiga kali. Suara lembut ibu terdengar memanggil, meminta aku keluar untuk makan malam bersama. 

“Iya, Bu. Sebentar,” jawabku berteriak. 

Dengan malas aku bangkit lalu beranjak keluar. Saat sampai di ruang makan, semua keluarga sudah berkumpul mengitari meja makan, tak terkecuali Mas Rizal. 

Perih di hati kembali terasa saat melihat Mas Rizal duduk berjajar dengan adikku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan  bokongku di sebelah Ibu, berseberangan dengan Mas Rizal dan Ela. 

Seharusnya makan malam ini menjadi momen bahagia karena sudah hampir dua bulan tak berkumpul. Sayangnya ini menjadi momen paling menyakitkan karena harus melihat Mas Rizal bersanding dengan adikku. 

“Ibu sengaja masak ayam goreng kesukaanmu. Maka  yang banyak ya, Ve,” ucap Ibu. 

“Iya, Bu,” jawabku datar. 

Aku mengambil secentang nasi beserta sepotong ayam goreng dan sambal terasi. Sesuap demi sesuap aku terus memaksa untuk makan meski sebenarnya aku sama sekali tak menikmatinya. 

“Ve, Minggu depan Bapak minta uang ya,” ucap Bapak di sela makan malam kami. 

“Berapa, Pak?” tanyaku. 

“Dua puluh juta,” jawab Bapak. 

Aku tersentak kaget mendengar permintaan Bapak. Biasanya paling dia minta beberapa ratus ribu saja selain uang dua juta yang rutin kukirim tiap bulan. 

Ya. Sejak aku bekerja di kota, memang rutin kukirim uang bulanan untuk sekolah Ela. Sisanya untuk bantu keperluan keluarga. 

“Banyak banget, Pak? Buat apa?” Aku menatap Bapak penuh selidik. 

“Buat biaya resepsi pernikahan adik kamu. Mereka akan menikah secara resmi. Kita selamatan kecil-kecilan saja,” jawab Bapak tanpa rasa bersalah. 

Sontak aku terkejut dengan permintaan Bapak. Bagaimana mungkin aku diminta membiaya pernikahan Ela sedangkan mempelai lelakinya adalah calon suamiku sendiri? 

Sebisa mungkin aku menahan sesak yang kian menyeruak. Luka di hati sudah menganga karena kenyataan pahit ini, kenapa malah Bapak menyiram dengan air garam? Tidakkah  Bapak memikirkan perasaanku? 

“Maaf, Pak. Aku enggak punya uang!” jawabku bohong. 

Sorry! Aku tak sudi membiayai pernikahan mereka. Bahkan dalam hati aku ingin semuanya dibatalkan. Uang segitu memang ada, tapi tak mungkin aku kasih. Untuk apa memberi pada orang-orang yang tak tahu balas budi. 

“Kamu kan punya tabungan di bank, pakai saja dulu,” usul Bapak. 

Ya. Aku pernah bercerita kalau punya tabungan yang rencananya akan kupakai buat biaya jika menikah nanti. Lalu, apa aku harus memberi pada Bapak. 

“Sudah habis, Pak!” jawabku bohong. 

“Kamu bagaimana sih. Tabungan kok malah dihabiskan. Bapak kan sudah mewanti-wanti kamu buat irit. Kenapa malah sampai menghabiskan tabungan segala!” 

Bapak mendengkus kesal. Wajahnya memerah seperti menahan amarah. Sorot mata itu tajam seolah ingin menerkamku, membuat nyaliku sedikit menciut. Namun, secepatnya aku memupuk keberanian. 

“Loh! Kenapa Bapak marah! Yang mau menikah siapa, yang membiayai siapa?” ucapku sembari melirik pada Ela. 

Adikku menundukkan pandangan. Mungkin saja dia tersinggung dengan ucapanku. Masa bodo! Salah siapa merebut calon suamiku. Jangankan memberi untuk biaya pernikahan, untuk jajan saja rasanya tak rela. 

“Vera! Yang sopan kamu!” bentak Ibu yang sedari tadi diam menyimak. 

Aku mengalihkan pandangan, memberanikan diri menatap mata Ibu yang mendelik tajam. Entah dapat keberanian dari mana sampai aku tak sopan begini. Sebelumnya, aku tak pernah berani membantah ucapan Bapak atau Ibu. 

“Sopan? Sopan pada siapa, Bu? Pada orang-orang yang mengkhianati kebaikanku?” sindirku. 

“Ini semua takdir! Jadi jangan menyalahkan siapapun!” protes Bapak tak terima. 

Tersenyum kecut, aku berganti menatap wajah Bapak yang terlihat garang. Dulu aku akan ketakutan jika melihat kilat kemarahan di wajah Bapak, tapi entah kenapa sekarang tak sedikitpun rasa takut itu ada. 

“Jangan bawa-bawa takdir! Ini juga salah Bapak. Jika Bapak tak merestui mereka, semua tak akan begini. Seharusnya Bapak menolak. Bukan malah mau menjadi wali pernikahan mereka.  Bisa enggak sih Bapak memikirkan perasaanku sedikit saja!” teriakku dengan nada suara semakin meninggi. 

Jujur, aku sudah terlalu lelah mengalah. Apa-apa Ela yang didahulukan. Semula aku pikir sudah sepantasnya aku mengalah dengan adikku, tapi setelah semua yang terjadi, aku tak lagi bisa jika harus terus mengalah. 

“Kamu berani membentak Bapak! Dasar anak tak tahu diri!” Bapak bangkit ingin mendekat ke arahku, tapi Ibu mencegah. 

“Sabar, Pak! Sabar...,” bujuk Ibu. 

Baik Ela ataupun Mas Rizal tak berani membuka suara. Keduanya mematung seperti tak punya nyali untuk mengakui kesalahan mereka. 

“Yang tak tahu diri itu Ela, Pak! Bukan aku. Sudah capek-capek aku membiayai sekolahnya, Eh... dia malah menikungku. Dasar murahan!” umpatku tanpa pikir panjang. 

“Diam kamu!” bentak Bapak. 

“Ve, kamu masuk kamar dulu, Ve... jangan terus membuat masalah. Kamu sudah keterlaluan,” perintah Ibu. 

Aku menghela nafas kasar untuk menepis kecewa. Di sini aku yang menjadi korban, kenapa malah aku diperlakukan seperti pelaku kejahatan? Edan! 

“Yang keterlaluan itu kalian semua! Bukan aku!” Aku bangkit menyambar piring di depanku kemudian membantingnya hingga membuat suara berisik khas benda pecah. 

Tanpa menunggu lama aku berlalu meninggalkan ruang makan. Menyambar kunci motor di atas televisi kemudian pergi meninggalkan rumah. 

Seharusnya rumah menjadi surga bagiku, tapi kenapa seperti ada di neraka? sepertinya akan lebih baik jika aku menjauh dari mereka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
YuliaBilqis
menjauh ve jangan lg dekati mereka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status