[Met kerja, Fa. Semangat!] Dih, lebay! Aku mencebik, tapi tetap kubalas. Sudah numpang, tak tahu diri pula. [Sama-sama.] Namun, baru saja aku hendak menon aktifkan paket data, tiba-tiba sebuah video masuk dari nomor Rita. Aku segera membukanya pensaran. Soalnya ada tulisan yang Rita kirimkan.[Cepetan buka, urgent!]Jemariku tak menunggu lama untuk mengklik isi video itu. Video itu masuk ke IG-nya Mbak Merina rupanya. Aku menggeram kesal. Video itu membuat darahku mendidih. Sepertinya kabar kedatangan Bapak semalam sampai pada istrinya. Hari ini, Mbak Merina menayangkan dari IG-nya dan menulis caption seolah mereka teraniaya. [Susah kalau punya Papa ganteng, dokter dan kaya. Pelakor bertebaran di mana-mana. Sabar ya, Ma. Pelakor itu biar kita viralkan saja agar jera.] Itu tulisan bersama emoticon peluk sebelum akhirnya video itu diuploadnya. “Nur, apa gak ada lagi laki-laki di dunia ini selain suamiku? Kamu itu harusnya meraba perasaan sesama wanita. Sudah tahu laki-laki itu pun
Seketika aku menoleh bersama bisikan Mario yang melempar komplen padaku,“Hey, itu ada pengunjung masuk! Kenapa gak disapa?”Akhirnya dia datang!Seketika senyum yang tadi surut, kembali terkembang. Rasanya hati ini begitu riang. Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Ah aneh memang, padahal siapa dia?Eh, tahunya dia ngeloyor saja. Tak ada kata-kata apapun dan tak menyapa sedikitpun. Lalu dia masuk ke dalam barisan rak. Setelah itu kembali dengan belanjaan. Lah, dia malah belanja.Aku melayaninya seperti pada pembeli lainnya. Sesekali kuintip ekspresi mukanya. Apa seperti orang yang mau nagih atau tidak? Ah, kok malah makin dilihatin, makin ganteng. Stop, stop Syfa! Stop lihatin dia. Aku sedang memasukkan barang belanjaannya yang tak seberapa itu ke dalam plastik. “Tebus murahnya, Kakak! Bisa dapat biscuit ragil dengan harga lima ribu rupiah atau shampoonya dengan harga sepuluh ribu, Kakak!” tukasku sambil memperhatikan tas selempang yang dipakainya. Sepertinya dia membawa
“Oke, Pak! Jam lima sore saja, ya, Pak. Saya kerja pulangnya jam dua. Besok bisa?” Lidah ini mendadak lancar jaya. “Boleh, Mbak. Oke sampai nanti.” Panggilan pun ditutupnya. Ya Tuhaaan … lancarkan perjuanganku membawa duda untuk Ibu. Usai menyelesaikan panggilan dengan Pak Hakim. Aku segera mengirimi pesan pada Rita. [Ta, besok ke PMM, yuk!] PMM itu singkatan Plaza Meridian Mall [Wah traktir?] Balasan Rita membuat aku berpikir beberapa saat. Uangku saja sedang terancam akibat laptop mahal Pak Hakim yang ketumpahan air. [Cilok.] Balasku. Dari pada Rita gak mau. Aku traktir cilok saja ‘kan dapet lima ribu. Cilok yang biasa mangkal di sekolah SD kami dulu. [Dih!] Balasan kuterima dengan gambar mata mendelik.[Ya sudah, gak jadi traktir kalau gak mau.] Aku membalas cepat. [Iya, deh, oke.] Aku tahu, Rita itu tak serius tadi. Bagaimanapun dia adalah sahabat yang paling baik. Aku bergegas pulang setelah memastikan Rita bersedia mengantar. Segera kulajukan sepeda motorku dengan kecep
Oh, jadi dia itu pemilik mall. Serasi sekali kulihat. Meski sudah paruh baya, tapi waktu mudanya pasti ganteng dan cantik. Yang laki-laki itu pasti ganteng kayak … hmmm … Abang Mart, eh Abang Zayd. “Jadi gimana? Mau membicarakan perihal apa ya, Syfa?” Suara Pak Hakim membuyarkan pikiranku. Jujur, aku masih memikirkan dua orang itu. Sebenernya mau membicarakan soal status Bapak, tapi … itu hanya aku bisa ucapkan dalam hati. “I--Itu, Pak. Terkait laptop yang terkena air itu. Saya mohon maaf banget. Saya beneran gak sengaja.” Akhirnya itulah kalimat yang keluar dari mulutku. “Oh itu, iya saya paham, kok. Jangan khawatir.” “Kata Bang Mart, eh Zayd, itu harganya lima belas jutaan ya, Pak? Boleh saya minta keringanan buat mencicilnya?” tanyaku dengan memasang wajah memelas. Bukan pura-pura sedih, tapi memang beneran sedih. “Cicil?” Pak Hakim menautkan alisnya. “Iy--Iya, Pak. Kalau rusak terus seharga segitu, saya tak ada uang, Pak. Saya cuma pegawai minimarket, Pak. Gajinya UMR. Buat
Hari ini putaran jam yang terpampang pada dinding minimarket berjalan lambat. Berulang kali aku meliriknya. Ingin sekali waktu berputar lebih cepat. Namun, tetap saja putarannya tak berkurang. Tetap enam puluh detik dalam satu menit dan enam puluh menit dalam satu jam. “Syfa, Syfa! Kamu pikir itu jam kalau terus-terusan diplototin bisa jadi dollar?” Mario yang sejak tadi ngedumel hanya mendapat lemparan ballpoint dariku. Berisik sekali sejak pagi. Di tengah kerusuhan Mario, tiba-tiba satu buah mobil yang aku kenal berhenti. Aku tahu pemilik mobilnya. Dia pasti Reza. Ah, apakah karena pesannya gak aku balas sejak malam. Tubuh jangkungnya keluar dari mobil. Gaya coolnya masih jadi andalan. Dia memasukkan kedua ujung tangannya pada saku hoodie dan berjalan masuk ke minimarket. “Selamat datang di Mama Mart, Kakak! Silakan belanja!” tukasku sambil tersenyum dan mengangguk. Bersikap professional seperti biasa. “Terima kasih, Adek!” tukas Reza sambil tersenyum mendekat. Aku memutar bola
Aku baru hendak menyahut ketika Bang Zayd sudah ada di hadapan Ibu. Dia pun mencium punggung tangan Ibu dengan khidmat. “Ini anak kamu, Mas?” tanya Ibu pada Pak Hakim. “Ahm … ini ….” Pak Hakim tampak berpikir, tapi Bang Zayd menyahut dengan cepat. “Saya keponakannya, Bu!” tukasnya seraya mengangguk sopan. “Oh, jadi dia keponakannya, ya?” batinku. Aku hanya manggut-manggut saja. Pantas saja sampai-sampai laptop Pak Hakim ada di Bang Zayd. Rupanya mereka sodara. “Wah, ternyata dunia emang sempit, ya, Mas?” Ibu tersenyum dan mempersilakan Pak Hakim dan Bang Zayd masuk. “Iya, Nur. Saya juga gak nyangka bisa bertemu lagi di sini. Ahm, si Pak Dokter marah gak nih saya ke sini?” kekeh Pak Hakim sambil mengikuti Ibu masuk. “Dokter apa lah, Mas? Kami sudah pisah lama.” Ibu bicara sambil mempersilakan Pak Hakim dan Bang Zayd duduk.“Loh, pisah? Sejak kapan?” Pak Hakim tampak terkejut.“Lupa tepatnya kapan, tapi lama banget. Sudahlah, gak usah bahas dia lagi.” Ibu beranjak ke dapur. Aku
“Biarin Ibu berdua dengan Pak Hakim. Jangan ganggu dulu.” Aku bicara padanya dengan ekspresi datar. Tak mau terlihat kalau aku terkesima dengan wajahnya yang hmmm, kuakui memang tampan. Berkali-kali lipat jauh di atas Bang Irfan malah. “Kenapa?” tanyanya dengan kedua alis saling bertaut. Aku mengusap wajah. Namun baru saja hendak menjelaskan, sorot lampu mobil membuat perhatianku teralihkan. Seketika senyum pada bibirku mengembang. Tuhan sedang baik padaku hari ini. Mobil yang sangat kukenal menepi. Tak berapa lama, laki-laki paruh baya yang bergelar dokter itu turun. Kaca matanya yang membuatnya terlihat gagah bertengger pada hidung mancungnya. Tak kupungkiri, Bapak memang tampan. Karena itu juga tak bisa kusalahkan jika Ibu masih saja gagal move on. “Ibu kamu ada, Fa?” tanya Pak Dokter Restu Handika alias Bapak. “Ya, di dalam! Hanya saja sedang ada tamu.” “Tamu? Tumben.” Alis Bapak saling bertaut, keningnya berkerut. Namun, tak banyak tanya lagi. Dia langsung beranjak pergi da
Aku kerja seperti biasa. Rita sudah kuusir pulang. Pagi-pagi malah bawa gosip yang tak penting. Aku duduk di balik meja kasir sambil memainkan kartu ATM. Entah kenapa kok rasanya malah tak menentu. Ada yang hilang dari sudut hati ini, meski tak pasti itu apa. Hanya saja, tak ada alasan lagi untuk aku menunggu kedatangannya, Bang Zayd. Eh, pemikiran apa ini? Wake up, Asyfa!“Selamat datang di Mama Mart, Kakak!” Mario menyenggol lenganku yang bengong. Mario tersenyum sambil mengucap selamat datang. Aku menoleh. Eh, rupanya Pak supervisor lagi visit. Mood yang sedang tak baik, bertambah parah akibat kedatangan dia. Mukanya kusut, sorot matanya terlihat lelah. Apa seperti itu kalau akan jadi calon Bapak rumah tangga? Bukannya bahagia ya nunggu hari H?Aku tak menertawakannya, tapi entah kenapa karma memang bisa datang lebih cepat. Padahal aku tak mendoakan yang jelek untuk mereka. Aku lebih fokus doa yang baik-baik buat diriku sendiri. “Syfa, abang mau bicara!” tukasnya sambil mendekat