Share

9. Bab 9

DIKIRA MISKIN 9

Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa.

"Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. 

"Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. 

Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. 

"Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sinis.

"Berapapun tetap kami syukuri, Mbak, besar atau sedikit kami tetap bersyukur. Orang kaya dan punya uang banyak belum tentu cukup, pun sebaliknya, seperti kami yang meski punya penghasilan sedikit sudah cukup sehingga bisa kami sisakan untuk ibu. Meski tidak seberapa. Ya, seperti kata Mbak tadi, memberi ibu uang seperti menabur garam di atas lautan. Bagiku, bisa berbagi dengan ibu adalah hal yang paling membuatku bahagia karena berbagi dengan ibu juga bisa kita niatkan sedekah. Bukankah lebih utama bersedekah kepada keluarga sendiri, termasuk ibu sebelum bersedekah kepada orang lain. Bukannya aku mau minta yang lebih banyak, Mbak, aku hanya ingin ibu mendo'akan agar kami selalu mendapatkan rezeki yang berkah, halal, dan manfaat," ucapku panjang lebar seperti ceramah.

Usai mengucapkan kata-kata itu, aku geli sendiri. Kenapa aku bisa berbicara layaknya ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Namun, apa yang kukatakan barusan itu benar, kan? Kalau sedekah itu sebaiknya mengutamakan orang terdekat. Percuma sedekah jauh-jauh ke sana ke mari, tetapi keluarga sendiri tidak diperhatikan. 

"Oh, jadi maksud kamu, hidup kami ini tidak berkah karena tidak pernah berbagi dengan ibu, begitu. Uangku itu banyak dan akan semakin banyak meski tidak pernah memberi ibu uang. Ibu juga akan tetap mendo'akan yang terbaik untukku, karena sebagai anak yang berada di tengah, aku adalah anak kesayangan Ibu. Terbukti, kan, berkat do'a ibu aku bisa mendapatkan seorang suami yaang punya pekerjaan mapan, tidak harus berpanas-panasan, setiap bulan gajian. Tidak seperti Yudi, sungguh malang nasip adikku itu, sudah tidak punya pekerjaan tetap, eh, dapat istri juga model kaya kamu, seandainya ia pintar mencari istri, pasti hidupnya tidak akan seperti ini sekarang," ucap Mbak Wiwid juga panjang lebar, bahkan lebih panjang dari yang kukatakan tadi. Aku jadi gemas mendengar perkataan yang keluar dari mulutnya itu. 

Mencoba bersabar menghadapi mulut pedas Kakak suamiku itu. Mbak Wiwid, Mbak Wiwid, sombongnya itu lho kebangetan, nggak ingat apa, kalau baru saja nangis-nangis mau pinjam uang sama aku? Kalau sudah begini, aku yakin orang seperti Mbak Wiwid ini meskipun sudah dikasih pinjam, sombongnya tidak akan hilang. Tak jamin itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status