Begitu masuk Masjid...
Bwuss..., Terasa hembusan udara sejuk yang di pancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah, Nikmat rasanya jika berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat berjamaah setelah mendengar iqamah. Kuletakkan tas ranselku di tembok samping masjid. aku berdiri di shaf pertama paling kanan. Kuniatkan dalam hati, terasa kedamaian mengalir deras dalam hembusan nafas. Kuangkat takbir dalam khusyu menghadap Ilahi. Allah terasa begitu dekat, lebih dekat dan sangat dari urat leher.
Usai shalat, aku bertemu dengan Irfan. Ia datang menghampiriku. pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia terlihat segar dan berpakaian sangat rapih, dibalut kemeja lengan panjang berwarna merah marun dan celana bahan hitam. Aku ingin diskusi masalah keuanganku. Aku ingin mencari penghasilan tambahan yang tidak menggangguku kuliah dan mengajar TPA.
"Apa kabar Mal?" tanya Irfan sambil menepuk pundak kiriku dan langsung duduk disebelahku.
Aroma parfumnya yang mahal begitu menyengat masuk ke pernafasanku. Aku heran kenapa ia begitu harum hari ini.
"Alhamdulillah, Baik. Kau harum sekali hari ini, ada apa gerangan?"
"Iya..., aku habis menemani ibu kondangan di gedung Bidakara."
"Fan, aku mau minta tolong nih? aku lagi cari kerja sampingan untuk bantu Umi. Apa kau bisa bantu?"
Irfan menatapku, ia diam dan berpikir sambil mengaruk-garuk kepalanya. Kutunggu dia bicara. Semoga saja dia bisa membantuku.
"Oh iya, om ku punya kenalan, ia sedang butuh karyawan penjaga toko buku. Aku yakin kamu pasti bisa. Tapi kalau kau mau?"
"Wah, boleh itu Fan. Mau.. mau..." Kulepaskan senyumku lebar-lebar. Ini adalah peluang untukku. Aku yakin aku pasti bisa.
"Ya sudah, Nanti secepatnya aku kabari ya Mal. Akan aku tanyakan pada Om ku, beliau yang akan merekondasimu."
"Makasih ya Fan. Kau memang dewa penolongku, he..he..he..."
"Ah... kau ini, kalau urusan memuji paling bisa."
"Iya siapa dulu dong, Akmal...he..he..he.."
Saat asik bercanda, tiba-tiba Irfan menoleh kearah hijab. Aku pun melihat ke arah yang sama. Ternyata hijab masjid yang berwarna hijau tua, bergoyang-goyang kencang. Kumelirik jam dinding di atas mihrab. Jarum jam menunjukan pukul satu. Para akhwat sudah memberi isyarat bahwa rapat sudah siap di mulai. Seluruh ikhwan menghampiri hijab itu. Aku dan Irfan bergegas menuju hijab itu. Ikhwan yang hadir rapat hanya sepuluh orang, yang aku tau jumlah anggota ikhwan seluruhnya berjumlah dua puluh lima orang, dan yang akhwat aku juga kurang tau.
Rapat dimulai. Aku duduk di sebelah Irfan. Di antara ikhwan dan akhwat tidak bisa saling bertatap satu sama lain, mereka dipisahkan oleh hijab. Mereka hanya bisa mendengar suaranya saja. Papan tulis di senderkan di tengah hijab, agar terlihat dari kedua belah pihak. Mereka membahas susunan acara dan tugas panitia masing-masing. Kudengarkan pembicaraan mereka, semua di paparkan secara detail tanpa ada yang tersisa. Saat pembagian tugas, aku dikejutkan oleh seorang akhwat yang memutuskan aku menjadi ketua panitia konsumsi bersama Anisa. Aku kaget. Apa yang harus aku lakukan? aku tidak bisa memasak dan tidak punya keahlian di bidang itu.
Seperti yang telah dipaparkan bahwa panitia konsumsi tugasnya didapur. Bagaimana denganku? Aku mulai panik. Keringat dingin keluar membasahi tubuh. Dan siapa Anisa? sepertinya aku baru mendengar nama itu di antara para akhwat yang ada di rohis. Aku di berikan sebuah kertas kecil dari bawah hijab yang telah di tulis oleh akhwat di balik hijab itu. katanya itu nomor telepon rumah Anisa, mereka memberikannya agar aku bisa berkomunikasi untuk menyiapkan peralatan yang di butuhkan.
"Fan, Anisa siapa?" tanyaku berbisik perlahan di kupingnya.
Kulihat Irfan hanya tersenyum-senyum memandangku. aku yakin Irfan tersenyum karena tau kalau aku sangat gugup bila bertemu akhwat. Apalagi harus satu ruangan bersama mereka, didapur. Wah gawat. kulihat ikhwan yang lain juga menatapku dengan tersenyum. Aku semakin salah tingkah saja di buatnya.
"Oh, Ia mahasiswi akuntansi yang baru masuk rohis. Tapi hari ini tidak hadir, ada urusan keluarga kata Irma."
Aku mengerutkan kening. Aku yakin ini pasti ulahnya Irma yang menyuruhku menjadi panitia konsumsi. Kalau tidak siapa lagi, dari semua akhwat irmalah yang cukup akrab denganku dan Irfan. Rapat terus berlangsung, karena cukup banyak yang harus dipersiapkan. Semua panitia juga sudah mendapat tugasnya masing-masing dari ketua panitia Acara. Dari depan mihrab pak Iman mulai mengumandangkan Adzan. Rapat di tutup dan dilanjutkan setelah shalat Ashar. Tapi, aku tidak bisa melanjutkan rapat, karena harus mengajar di masjid al-Irsyad. Usai Shalat aku besiap pamit. Kulihat kembali jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum menunjukkan jam setengah empat lewat lima menit. Waktunya sudah mepet.
"Fan, Aku pamit dulu," kataku sambil bangkit berdiri. Irfan ikut berdiri. kupakai tas ransel dan sedikit merapikan baju.
"Mau kemana buru-buru. kan rapatnya belu selesai?"
Sepertinya Irfan lupa jadwalku hari ini. sambil tersenyum aku berkata,
"Mau ke Al-Irsyad ngajar TPA, aku takut anak-anak itu menunggu lama. Kau lupa ya?" Sambil menjawab Irfan menaruh tangannya di kepala,
"Oh iya, aku hampir lupa. Ya sudah, salam buat murid-murid al-Irsyad ya, nanti kalau masih ada waktu aku nyusul membantumu mengajar."
"Iya. Terima kasih. Salam untuk semuanya ya Fan."
"Sip"
Kulihat pak Iman berdiri di teras masjid. Kuambil sepatu dan kusalami beliau. Beliau berpesan supaya aku hati-hati di jalan. Cepat-cepat kuberlari kecil menuju halte. Baru beberapa saat berjalan. Tiba-tiba, Ups, dihadapanku sebuah mobil sedan Volvo terbaru berpelat BS menghampiriku. Mobil itu berhenti di hadapanku.
Lalu keluarlah seorang wanita berbusana muslimah yang begitu indah. Nurfidini Namanya. Ia seorang akhwat yang terpandang di kampusku. Ia wanita yang cantik, putih dan bertubuh tinggi. Walaupun tidak lebih tinggi dariku tapi ia bisa di katakan tinggi dari pada akhwat-akhwat yang lain. Ia sangat kaya dan termasuk wanita terkaya di kampus ini.
Dini adalah anak dari salah seorang petinggi di pemerintahan saat ini. Kedermawanan orang tuanya membuat dosen-dosen dikampus sangat menghormatinya. Hampir setiap acara kegiatan orang tuanya selalu menjadi donatur tunggal. Aku salut padanya, kata temanku Dini wanita solehah yang baik. Dini sangat pendiam dan jarang bicara dalam rapat atau kegiatan yang lain. Bawaannya yang tenang dan terlihat cuek membuat seluruh wanita di kampus segan kepadanya. Saat ini ia baru saja menjabat sebagai wakil ketua keputrian dari seluruh fakultas.
Tiba-tiba aku teringat ledekan teman-teman kepadaku, katanya Dini simpatik dan suka padaku. Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki wanita atau isteri salehah adalah dambaan setiap muslim. Tapi...ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dari pinggiran Jakarta dan dia adalah bidadari dari keluarga terpandang yang kaya raya. Ia menghampiriku dengan tersenyum,
"Mau kemana Mal kok buru-buru?" tanya Dini dengan menunjukan senyum yang ramah sambil menatap wajahku. Sekejap kutundukan kepala.
"Wa'alaikumussalam. Saya mau pulang, ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan."
"Rapatnya sudah selesai?"
"Belum, rapatnya masih berlangsung. Aku pergi dulu ya." Jawabku terburu-buru. Aku tidak ingin adik-adik kecil di al-Irsyad menungguku terlalu lama.
"Mal, gimana kalau di anter supirku saja?"
"Tidak usah, terima kasih. Saya duluan ya Din, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam" Ia menjawab salamku.
Kulanjutkan berjalan tanpa menoleh kearahnya. Aku tau dia masih memandang ke arahku, tapi aku tidak berani untuk menoleh. Aku sedikit terkejut, kenapa tiba-tiba ia menjadi begitu perhatian padaku. Apa yang di bilang temanku itu benar? Ah, aku tak perduli. Aku tidak ingin berprasangka yang tidak-tidak.
***
Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya
Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un
Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala
Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb
Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.
Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i