“Ratih, aku tahu kamu marah padaku. Tapi, plis. Kasih aku kesempatan.” Rizal sore itu menemuiku di kantor usai jam kerja. Dia ingin mengajakku bicara.
Aku sebenarnya malas. Aku kecewa pada Rizal. Pertama kecewa dengan masa lalu dimana dia pernah menghinaku. Yang kedua kecewa dengan kelancangannya datang kepada orangtuaku bersama orang tuanya tanpa membicarakan dahulu padaku.
“Aku memang tak pernah berarti bagimu. Sehingga, datang ke rumah pun kamu tak memerlukan persetujuanku. Lalu, kenapa aku harus memberimu kesempatan?” balasku.
Apa dia pikir dengan memaksakan datang ke rumahku, dan membawa serta anaknya, hatiku akan melunak dan menerimanya? Tidak akan!
“Ratih. Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tolong beri aku kesempatan. Aku ingin membayar semua perlakuan burukku padamu di masa lalu,” tukasnya.
Café yang berada di seberang kantorku ini sudah mulai ramai. Banyak karyawan kantor yang mampir ke sana, sembari menunggu jalanan terurai karena macet saat jam pulang kerja. Sebenarnya, aku belum pernah ke sini. Tapi, aku tak punya referensi lain, saat Rizal bertanya, sebaiknya bicara di mana.
“Oh, jadi, karena itu?” Aku merespon dengan nada sinis. Entah kekuatan dari mana, aku seperti punya keberanian untuk melampiaskan amarahku, setelah bertahun aku pendam. “Kalau begitu aku jawab sekarang! Aku tak mau!” ucapku dengan penuh penekanan.
Aku hanya menginginkan pernikahan dengan tujuan membangun keluarga sakinah seperti impianku. Bukan pernikahan karena alasan lain, penyesalan di masa lalu misalnya. Aku tak mau itu.
Apa jadinya pernikahanku nanti jika hanya dengan alasan penyesalan? Akankah dia mencintaiku? Aku hanya akan menikah dengannya setelah memastikan calon pasanganku punya tujuan yang sama. Bukan hanya sekedar rasa bersalah.
Aku berajak dari tempat kami bicara. Kutinggalkan Rizal begitu saja tanpa menghiraukan panggilan dan tatapannya. Aku berharap pria itu mengerti, begitu sakit hatinya diriku padanya.
Sampai di kosan, aku segera membersihkan diri. Seperti biasa, tak ada yang kukerjakan di malam hari kecuali bersantai hingga menjelang tidur.
Tiba-tiba telpon dari Dini, adik perempuanku masuk.
“Mbak, ini aku mau nyetak undangan. Kata Bapak, aku dan Mbak Ratih mau dibarengin aja nikahnya. Jadinya gimana, nih, Mbak?” Ucapan adikku sontak membuat keningku berkerut. Apa maksudnya? Kenapa bapak mengatakan seperti itu pada Dini? Bahkan, aku belum menjawab tentang lamaran itu. Mengapa Bapak malah berfikir sejauh itu. Apa Bapak benar-benar mengharap aku segera menikah. Duh, bagaimana ini?
Sepanjang hidup, aku berusaha untuk tidak mengecewakan Bapak. Tapi, urusan menikah, memang aku tahu kedua orang tuaku sangat berharap.
“Kamu duluan saja, Din. Mbak masih nanti-nanti,” sahutku dengan nada pasrah.
“Lho, jangan, Mbak. Kasihan Bapak. Nanti repot. Kalau Mbak Ratih sudah pasti tahun ini, mendingan barengan aja. Biayanya juga bisa dihemat,” sahut adikku lagi.
Ucapan Dini ada benarnya. Dini adalah adikku yang paling cekatan. Dia juga berpikir panjang. Tak heran jika dia mengatakan, Bapak bisa repot kalau dia nikah duluan. Karena, aku tak secekatan dia dalam mengurus segala sesuatunya. Tapi, aku janji, nggak akan merepotkan Bapak dan Ibu jika aku kelak menikah, tanpa ada Dini sebagai panitia utama.
“Nggak, Din. Mbak belum tentu tahun ini juga .…” ucapku menggantung.
“Nunggu apa lagi, sih, Mbak? Kan calonnya sudah ada,” ucap Dini.
Sudah kuduga. Pasti kedatangan Rizal dan orang tuanya kemarin, benar-benar dianggap serius oleh Bapak.
Terbayang aku hanya punya satu-satunya calon, dan itu pun aku belum yakin. Luka masa lalu lebih menakutkan, dibanding rasa yang pernah ada pada Rizal.
“Iya, tapi belum serius kok, Din. Kamu tenang saja. Mbak bisa nyusul kapan-kapan. Yang penting kamu duluan.” Telpon itu segera kututup. Aku tak ingin ada perdebatan.
Adikku memang sudah lama ingin segera menikah. Umurnya sudah dua puluh lima. Dia sudah terlalu lama pacaran, Bapak tidak suka.
Bapak inginnya segera diresmikan hubungan mereka secepatnya. Anak perempuan tidak baik menjalin hubungan dengan lelaki sebelum menikah.
[Mbak, kata Bapak, minggu depan Mbak Ratih dan Mas Hasan disuruh pulang. Aku mau dilamar.]
Sebuah pesan dari Dini menyusul, karena aku sudah mematikan panggilan teleponnya. Pasti dia paham kalau aku nggak ingin membicarakan itu lagi. Hasan adalah adik lelakiku yang terlahir antara aku dan Dini.
Aku tak berniat untuk menjawabnya. Benar kata Bapak, ketika kita akan dilangkahi oleh adik kita, rasa sesak tentu ada, meskipun bibir bicara tidak apa-apa.
Baru aku meletakkan ponsel di meja sebelah tempat tidurku, sebuah panggilan tanpa nama, masuk. Sejenak aku ragu untuk mengangkatnya.
“Ratih, ini Dewi!” Suara wanita di seberang, menyebutkan namanya.
“Dewi? SMA satu?” Aku masih mengenali dengan jelas suara Dewi. Sahabat SMA ku itu saat kami kuliah pun masih sering berhubungan.
Setelah menanyakan kabar, Dewi berbicara lebih serius.
“Jadi, Rizal menghubungimu?” Aku langsung menembak.
“Hei! Jangan cemburu, dong,” ledek Dewi.
Aku tahu Dewi memang tak pernah punya rasa dengan Rizal. Tapi, Rizal? Bukankah sampai Dewi menikah pun dia masih mengharap?
“Dia ngontak aku karena tahu kita dekat. Dia minta tolong padaku untuk membujukmu. Plis, Tih. Dia orang baik. Ingat kan kamu dulu sampe setengah mati suka padanya. Padahal dulu tampangnya masih ndeso. Sekarang udah keren masak kamu tetep nolak?” goda Dewi disela-sela membujukku.
“Wi ....” Aku memotongnya. Aku tak ingin dia mengungkit masa lalu yang menyakitkan itu.
“Iya, aku mengerti,” potong Dewi.
Dewi memang memahamiku sejak dulu. Aku banyak menceritakan perilaku Rizal. Bahkan, itu juga yang menjadikan Rizal semakin marah dan membenciku, karena mengatakan perilaku buruknya padaku pada gadis yang disukainya.
“Dia kan sudah minta maaf. Semua orang pernah salah bukan? Kita juga pernah salah. Tak ada salahnya memberikan kesempatan,” tukas Dewi.
“Tih, aku mau kamu hidup bahagia. Ingat nggak, Tih, bukannya kamu dulu sampai pernah berdoa untuk mendapatkan jodoh seperti Rizal. Mungkin, Tuhan mendengar doamu,” lanjut Dewi.
Benar, saat aku masih SMA aku pernah bilang begitu kepada Dewi. Tak menyangka dia masih mengingatnya. Aku menjadi malu.
“Terima aja ya, Tih? Kamu boleh memikirkan diri sendiri menolak kehadiran Rizal. Tapi, pikirkan juga orang tuamu. Mereka kan sudah mengharapkan kamu segera bertemu jodoh. Mereka sudah ingin menimang cucu. Kalau ragu, istikharah. Bukan mencari alasan untuk menolak,” sambung Dewi.
“Iya, ustadzah!”ledekku.
--
Ruang tunggu bandara masih sepi. Aku sengaja mengambil penerbangan paling pagi. Biasanya aku hanya naik kereta. Tapi, kali ini aku memilih dengan pesawat. Kata Dini, biar tidak terlalu capek karena bakal ada tamu.
“Tante!”
Aku bergeming saat mendengar suara itu. Mungkin hanya anak kecil yang memanggil saudaranya. Aku tetap melanjutkan membaca novel yang ada di tangan.
“Tante ....” Gadis kecil itu sudah berdiri di depanku, suaranya menjadi terdengar ragu. Mungkin karena aku tadi tak mengindahkannya.
“Eh, Sasti?”
Segera aku memasukkan novel ke dalam tas dan mengalihkan perhatian padanya. Mataku ragu untuk sekedar menatap pada sosok yang sedang bersama Sasti.
“Maaf, Tante tadi tidak tahu kalau Sasti yang manggil,” ujarku sambil menarik tubuh Sasti dan kududukan di sebelahku. Meski aku mencoba relaks, namun, tetap saja ada gemuruh dalam dadaku, menyadari keberadaan Rizal di sini.
Rizal, pria yang kini berubah menjadi tinggi atletis dengan kulit bersih itu berdiri di depanku, mengikuti putrinya. Dia sama sekali tidak canggung membawa tas anak-anak, selain tas punggung dia sendiri, khas bapak-bapak. Kenapa terlihat semakin menarik?
Segera kutepiskan pikiran konyolku ini.
“Mau pulang juga?” tanyaku basa-basi. Pura-pura lupa dengan peristiwa tempo hari, meski dongkol itu masih ada.
Aku dan Rizal berasal dari kota yang sama, karena itu kami dahulu sekolah di SMA yang sama.
Rizal mengerutkan dahinya. Dia terlihat heran dengan pertanyaanku. Ada apa ini?
BERSAMBUNG..
Suasana area ruang tunggu bandara pelan-pelan mulai ramai, karena jadwal keberangkatan semakin mendekat. Banyak penumpang mulai masuk memenuhi ruang tunggu.Gadis kecil di sebelahku ini berceloteh dengan riang, seolah kita sudah lama saling mengenal. Sebenarnya aku termasuk orang yang sulit akrab dengan anak-anak. Aku sering kehabisan bahan ngobrol dengan anak kecil. Namun, Sasti sangat pandai membuat rasa canggungku hilang. Aku hanya cukup menanggapi celotehannya. “Dia tak punya teman di rumah. Jadi, dia suka sekali mendapatkan teman bicara,” jelas Rizal. Lelaki itu duduk di sisi kanan Sasti. Sementara aku berada di sisi kirinya. Orang yang tak tahu, bisa saja menyangka kami adalah suami istri yang bahagia. Ingin rasanya aku mengorek dimana mamanya Sasti. Tapi, rasanya tak pantas aku tanyakan saat ada Sasti di sini. Mungkin, nanti saat anak itu sedang tidak bersama kami. Yang aku tahu dari Nadia, Rizal sudah menduda selama dua tahun. “Mamanya sudah menikah lagi.” Rizal seperti
Mataku mengerjap. Aroma minyak kayu putih tercium di sekitarku. Sudah lama aku tak pernah pingsan. Aku benar-benar shock mengetahui kenyataan kalau aku pun hendak dilamar. Bagiku pernikahan itu menentukan masa depan seseorang. Aku tak boleh gegabah. Mungkin itu juga yang menyebabkan hingga usia mendekati kepala tiga aku masih memilih sendiri. Setiap ada lelaki yang mendekat, aku memilih untuk menjaga jarak. Dan entahlah, sampai kapan itu akan terus terjadi, aku tak tahu. “Nduk, tamunya sebentar lagi datang. Kamu sebaiknya segera bersiap,” tutur Bulik dengan lembut, saat aku masih terbaring di kasur.Aku mengangguk, lalu berusaha bangkit. “Kamu tidak usah mikir macem-macem. Paklikmu sudah tahu siapa Nak Rizal itu. Anaknya baik. Rajin ke masjid. Nggak bakal jahat sama kamu,” terang Bulik di sela-sela merias wajahku. Aku hanya menurut saja. Rumah Paklik dengan rumah Rizal memang cukup dekat. Tak heran kalau Paklik mengenal Rizal dengan baik.Mendengar kata jahat, tiba-tiba hatiku
Tak dapat kupungkiri. Dadaku masih bergetar jika bertemu dengan Rizal. Dia memang cinta pertamaku. Dan setelahnya, aku tak pernah membuka hati untuk pria lain. Dia memang jahat padaku. Dia kejam padaku. Tapi tanpa aku menyadari, rasa ini masih ada. Masih sama dengan saat aku berseragam putih abu-abu.Hatiku memang terluka. Hatiku memang tercabik dengan penolakannya kala itu. Tepatnya bukan penolakan karena aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi, dia secara tak langsung menyalahkanku sebagai penyebab ditolaknya cintanya kepada Dewi. Kini, dia datang padaku. Apakah ini yang dinamakan takdir cinta? “Kamu masih ragu?” tanya Nadia. Aku dan Nadia janjian di salah satu resto di pusat kota. Tengah-tengah antara tempatku dan tempat Nadia.Aku sedang mencoba memantapkan hati. Tak mungkin aku menemui Dewi. Dia tinggal di kota lain. Sementara, Nadia tinggal di kota yang sama denganku. Makanya, Nadialah yang awalnya menjodohkan aku dengan Rizal. “Entahlah, Nad. Jauh di lubuk hatiku masih ber
“Ratih?!” Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?”
“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru
Hari menjelang senja, Aku kembali ke kosan. Kosanku berada di gang sempit di belakang kantor. Kira-kira 700 meter dari kantor. Tapi, jalanannya hanya bisa dilalui motor atau bajaj. Kalau pun bisa dilalui mobil, tapi hanya satu arah dan tidak bisa bersimpangan. Biasanya, bagi yang bertamu menggunakan mobil harus parkir jauh dari kosan. Parkir di pinggir jalan sebelum masuk gang. Kosku itu berada di lantai dua. Lantai satu dihuni oleh pemilik rumah. Kamarku berada tepat di ujung paling depan. Kalau membuka jendela, maka aku bisa mengintip orang yang lalu lalang di jalanan depan kosan. Termasuk juga melihat penjual nasi uduk yang kadang buka dasaran di pagi dan sore hari. Aku sendiri penghuni paling baru di kosan. Semua rata-rata sudah menghuni kosan lebih dari setahun. Kabarnya, penghuni yang paling sering bergantian ya penghuni kamarku ini. Entah mengapa, meski aku pikir kamarku paling nyaman, karena ventilasi langsung masuk udara luar, buktinya tak ada yang mau pindah ke sini. Mungk
“Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti,” jelas Rizal. “Oh.” Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban. "Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti. Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya. "Kok, malah bengong." Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara. "Oh, iya. Ayuk." "Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya. Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekita