“Nduk, usiamu sudah tidak muda lagi. Ibu sama Bapak tidak masalah kalau kamu menikah sama duda. Sudahlah tidak usah pilih-pilih. Apalagi kamu kan sudah kenal siapa Rizal itu,” ujar Bapak. Aku tahu, Bapak menyampaikan itu dengan hati-hati.
Hari itu aku pulang ke rumah orang tuaku. Meski aku kerja di Jakarta, paling tidak, sebulan sekali aku menyempatkan diri untuk menengok Bapak dan Ibu. Dua adikku pun kerja di luar kota. Kami bergantian pulang.
Kepulanganku kali ini, berbeda dengan kepulanganku biasanya. Aku sengaja bicara serius dengan Bapak mengenai rencana Nadia, meski sebenarnya aku tidak setuju. Tapi, berulang kali Nadia memintaku, agar aku menyampaikan maksud baik Rizal ini ke Bapak dan Ibu. Bahkan, sampai tadi pagi, Nadia masih mengingatkanku.
Awalnya, aku berharap Bapak dan Ibu tidak menyutujui perjodohanku dengan Rizal. Apalagi status Rizal yang duda beranak satu. Umumnya, orang tua yang punya anak gadis, belum dapat menerima jika yang meminang seorang duda. Namun, kenapa yang terjadi malah sebaliknya?
“Adikmu sebentar lagi akan dilamar. Kamu anak tertua Bapak dan Ibu. Apalagi kamu anak perempuan. Sebisa mungkin, jangan sampai dilangkahi adikmu,” tutur Bapak.
Aku menarik nafas. Beginikah nasib anak sulung usia menjelang kepala tiga? Apakah aku sudah tak punya pilihan lain? Apalagi adik perempuanku yang baru menginjak umur 25 tahun sudah akan dilamar. Untungnya, adik lelakiku belum ada tanda-tanda mengarah ke sana.
“Ratih nggak masalah kok, Pak, kalau Dini menikah duluan,” ucapku, tak ingin membuat keduanya mengkhawatirkanku. Lagi pula, aku tak ingin memutuskan terburu-buru. Menikah itu adalah keputusan besar. Penentuan masa depan. Tak heran kalau disebut menikah itu setengah agama.
“Bapak ngerti kamu tidak masalah. Tapi, Bapak hanya mau menjaga perasaanmu. Saat ini kamu bisa bilang, tidak apa-apa Dini menikah duluan. Tapi, Nduk, Bapak hanya tidak ingin tetangga dan saudara membicarakanmu.
Jika sudah datang pria yang akhlaknya baik, mengapa kamu tidak mencoba membuka diri. Coba katakan pada Bapak, apa alasanmu menolak Rizal? Apa karena dia duda?” Pertanyaan Bapak sungguh menyudutkanku.
Aku mengenal Rizal sejak SMA. Meski dia biasa saja, namun memang dari segi akhlak pada orang yang lebih tua, bisa dibilang baik. Itu juga yang membuatku terpikat padanya.
Namun, yang mengherankan, bisa-bisanya dia berucap yang begitu kasar padaku. Bukankah harusnya, kalau punya akhlak baik, dengan siapa saja akan belaku lemah-lembut. Haruskah aku mengatakan pada Bapak tentang hal ini? Tentang ucapannya yang menyakitkan itu?
Tak mungkin! Yang ada, malah aku akan dinasehati oleh Bapak. Bisa-bisanya aku menyimpan dendam selama itu?
“Kamu perempuan, semakin bertambah umur, resiko memiliki anak sendiri akan lebih kecil. Memang, namanya jodoh, rejeki sudah diatur. Tapi, tidak ada salahnya diikhtiari,” tutur Bapak.
Bapak melanjutkan nasehatnya panjang lebar. Aku tahu, pasti teramat berat beban Bapak, memiliki anak gadis seusiaku yang belum menikah. Bisa jadi, Bapak juga ingin cepat-cepat mantu, sebagaimana teman-temannya. Atau, juga ingin segera menimang cucu. Namun, nggak harus dari aku, bukan? Toh, adikku sebentar lagi juga akan dilamar dan segera menikah.
Belum sempat aku memberikan alasan pada Bapak, mendadak, sebuah mobil berhenti dan perlahan masuk pekarangan rumah kami.
Aku dan Bapak saling berpandangan.
Kami mengamati mobil itu dari dalam ruang tamu. Kebetulan kaca jendela kami kalau dari luar terlihat gelap. Siapa tahu, hanya tamu tetangga, karena memang halaman depan kami yang cukup luas, tak jarang tamu tetangga numpang parkir di depan rumah.
Namun, detik berikutnya, jantungku menjadi berdegup tak terkontrol. Bagaimana tidak, lelaki yang keluar dari pintu kemudi, adalah sosok yang pernah kukenal. Sosok yang baru saja aku dan Bapak bicarakan.
Rizal! Mengapa dia datang ke rumah? Bukankah aku sudah bilang ke Nadia bahwa aku belum bisa menerima Rizal. Darimana dia tahu rumahku?
Mataku semakin melebar saat tahu siapa yang datang bersamanya. Wanita dan lelaki seusia Bapak dan Ibuku, dan seorang anak kecil berusia lima tahunan.
Jantungku makin berdegup tak karuan.
“Nduk, kamu siapin minum saja di belakang. Biar Bapak dan Ibu ganti dulu,” titah Bapak begitu menyadari kalau tamu itu adalah tamu kami. Lidahku sudah kelu untuk menanyakan, apakah Bapak mengenal tamu itu. Ah, sudahlah.
Bapak terbiasa berganti baju jika hendak menerima tamu. Demikian juga Ibu. Sementara, aku ke dapur untuk memanaskan air dan menyiapkan minum, hingga terdengar pintu diketuk.
Aku segera bergegas ke depan untuk membuka pintu. Namun, langkahku melambat saat hendak mencapai pintu. Ada keraguan terselip. Namun, aku mencoba menguatkan diri. Bismillah, apapun yang terjadi, terjadilah. Batinku, sambil menghela nafas.
“Lha, ini pasti yang namanya Ratih!” Seorang ibu seusia dengan ibuku tersenyum hangat padaku usai aku menjawab salamnya. Pasti ini ibunya Rizal. Beberapa garis wajah, sekilas mirip.
Ibu itu serta merta memelukku.
Aku sedikit kaget dan bingung dibuatnya. Tapi, aku balas juga pelukannya karena merasa tak enak.
Gadis kecil yang tadi digandeng oleh ibunya Rizal mengulurkan tangannya, ingin menyalamiku usai aku mengurai pelukan.
Refleks aku berjongkok dan membalas uluran tangannya. Entah mengapa, spontan aku memeluknya. Dia pun membalas pelukanku erat.
“Siapa namanya?” tanyaku saat gadis itu melepaskan pelukannya.
“Sasti, Tante,” sahutnya.
Menggemaskan sekali gadis ini. Matanya bulat. Pipinya gembil. Ingin rasanya aku menciumnya. Tapi, aku takut tak diijinkan oleh keluarganya. Akhirnya, aku hanya mengusap kepala, lalu mengelus pipinya yang gembil itu.
“Dia kangen mamanya.” Ibu Rizal menyela dengan raut muka yang serius saat aku menoleh padanya.
Mendengar perkataan Ibu Rizal, jantung mendadak seolah berhenti berdetak. Apa maksudnya? Namun, secepat kilat, aku segera mencoba mengendalikan diri.
Saking aku fokus pada Sasti, entah kapan, tiba-tiba Rizal sudah berdiri di hadapanku. Dia mengangsurkan sebuah parcel berisi buah.
Keningku berkerut sejenak sambil menatap Rizal dan parcel yang dibawanya. Tak lupa aku mencoba mengontrol kegugupan.
Dia masih sama, dingin, tanpa ekspresi keramahan sedikitpun. Lantas buat apa dia datang ke sini?
“Buat Bapak dan Ibu,” ucapnya karena aku masih terdiam mematung belum menerima parcel yang diberikannya.
“Terimakasih.” Aku mengangguk, seraya menerima parsel itu.
“Bapak, Ibu, silahkan duduk dulu.” Aku mohon diri ke belakang saat terdengar bunyi air mendidih, tanpa menatap Rizal. Ada rasa canggung masih menyelimuti. Beruntung Bapak dan Ibu segera keluar untuk menyambut tamu itu.
“Jadi begini, Pak….” Terdengar suara Ayahnya Rizal memulai pembicaraan. “Rizal dan Ratih ini kan sudah kenal sejak SMA...”
Aku sengaja menajamkan pendengaran sambil mengaduk teh yang akan segera disajikan untuk mereka.
“Duduk sini, Nak Ratih,” titah Ayah Rizal memintaku bergabung, usai aku meletakkan set cangkir berisi teh panas, di hadapan para tamu itu.
Aku segera duduk di sebelah Ibu. Tak tergambar bagaimana perasaanku. Ada rasa gugup dan tak tenang, bercampur menjadi satu. Aku takut apa yang dikatakan Nadia, terjadi dengan cepat. Padahal aku belum menyiapkan jawabannya. Apalagi kalau sudah melibatkan orang tua seperti ini.
Ayah Rizal menyampaikan tujuan kedatangan mereka untuk menjalin silaturahim.
Aku hanya menyimak saja ungkapan bersayap sambil menduga-duga maksudnya.
Bapak dan Ibu menanggapi dengan ringan. Mereka lalu mengobrol sana sini, dan terlihat cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu. Entahlah, apa yang membuat mereka nyambung. Mungkin karena Bapak yang orangnya gampang akrab, juga Bapaknya Rizal.
Karena kedatangan Rizal yang mendadak, terpaksa aku memesan makan siang lewat aplikasi. Beruntung, tak lama makanan itu datang, hingga menyelamatkanku pada kondisi yang canggung itu. Aku segera ke belakang, untuk menyiapkan makan siang untuk tamu.
“Tante, aku mau pipis.” Suara Sasti menghentikan gerakan tanganku yang sedang menata nasi dan lauk di meja makan.
Tangan gadis kecil itu digandeng oleh Rizal menghampiriku.
Sedetik aku agak bingung. Maklum, aku tak terbiasa dengan anak kecil. Apalagi, ini anaknya Rizal.
“Sini, Tante bantu.” Aku segera mengusir kecanggunganku dan berusaha bersikap sewajar mungkin.
Kalau rasaku masih sama dengan saat aku SMA, tentu berinteraksi dengan anak Rizal akan kujadikan cara meluluhkan hatinya. Tapi, bukankah kini kejadian malah sebaliknya. Aku sedang tak ingin menerima Rizal. Jadi, aku tak perlu berpura-pura terlihat keibuan, bukan?
“Makasih, Tante,” ucap Sasti saat aku usai membantunya di toilet. Gadis mungil itu segera berlari kembali ke depan. Sementara Rizal, masih mematung di posisi yang sama sebelum aku mengajak Sasti ke toilet.
“Ratih...”
Rizal menghampiriku yang sudah kembali sibuk menyajikan makanan di meja ruang makan. Adik-adikku tidak ada. Mereka bekerja di luar kota. Sehingga, mau tak mau, aku sendiri menyiapkan semuanya.
“Maaf, tadi mendadak Bapak dan Ibu mengajak ke sini,” ujarnya, seperti tahu aku tak nyaman dengan kehadirannya yang serba mendadak ini.
“Aku minta maaf pernah membuatmu sakit hati,” tambahnya dengan suara terdengar sedikit bergetar.
Sekonyong-konyong air mataku merebak. Luka lama yang mulai mengering, kini basah kembali.
BERSAMBUNG...
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di