Share

BAB 2

“Nduk, usiamu sudah tidak muda lagi. Ibu sama Bapak tidak masalah kalau kamu menikah sama duda. Sudahlah tidak usah pilih-pilih. Apalagi kamu kan sudah kenal siapa Rizal itu,” ujar Bapak. Aku tahu, Bapak menyampaikan itu dengan hati-hati.

Hari itu aku pulang ke rumah orang tuaku. Meski aku kerja di Jakarta, paling tidak, sebulan sekali aku menyempatkan diri untuk menengok Bapak dan Ibu. Dua adikku pun kerja di luar kota. Kami bergantian pulang.

Kepulanganku kali ini, berbeda dengan kepulanganku biasanya. Aku sengaja bicara serius dengan Bapak mengenai rencana Nadia, meski sebenarnya aku tidak setuju. Tapi, berulang kali Nadia memintaku, agar aku menyampaikan maksud baik Rizal ini ke Bapak dan Ibu. Bahkan, sampai tadi pagi, Nadia masih mengingatkanku.

Awalnya, aku berharap Bapak dan Ibu tidak menyutujui perjodohanku dengan Rizal. Apalagi status Rizal yang duda beranak satu. Umumnya, orang tua yang punya anak gadis, belum dapat menerima jika yang meminang seorang duda. Namun, kenapa yang terjadi malah sebaliknya?

“Adikmu sebentar lagi akan dilamar. Kamu anak tertua Bapak dan Ibu. Apalagi kamu anak perempuan. Sebisa mungkin, jangan sampai dilangkahi adikmu,” tutur Bapak.

Aku menarik nafas. Beginikah nasib anak sulung usia menjelang kepala tiga? Apakah aku sudah tak punya pilihan lain? Apalagi adik perempuanku yang baru menginjak umur 25 tahun sudah akan dilamar. Untungnya, adik lelakiku belum ada tanda-tanda mengarah ke sana.

“Ratih nggak masalah kok, Pak, kalau Dini menikah duluan,” ucapku, tak ingin membuat keduanya mengkhawatirkanku. Lagi pula, aku tak ingin memutuskan terburu-buru. Menikah itu adalah keputusan besar. Penentuan masa depan. Tak heran kalau disebut menikah itu setengah agama.

“Bapak ngerti kamu tidak masalah. Tapi, Bapak hanya mau menjaga perasaanmu. Saat ini kamu bisa bilang, tidak apa-apa Dini menikah duluan. Tapi, Nduk, Bapak hanya tidak ingin tetangga dan saudara membicarakanmu. 

Jika sudah datang pria yang akhlaknya baik, mengapa kamu tidak mencoba membuka diri. Coba katakan pada Bapak, apa alasanmu menolak Rizal? Apa karena dia duda?” Pertanyaan Bapak sungguh menyudutkanku.

Aku mengenal Rizal sejak SMA. Meski dia biasa saja, namun memang dari segi akhlak pada orang yang lebih tua, bisa dibilang baik. Itu juga yang membuatku terpikat padanya.

Namun, yang mengherankan, bisa-bisanya dia berucap yang begitu kasar padaku. Bukankah harusnya, kalau punya akhlak baik, dengan siapa saja akan belaku lemah-lembut. Haruskah aku mengatakan pada Bapak tentang hal ini? Tentang ucapannya yang menyakitkan itu?

Tak mungkin! Yang ada, malah aku akan dinasehati oleh Bapak. Bisa-bisanya aku menyimpan dendam selama itu?  

“Kamu perempuan, semakin bertambah umur, resiko memiliki anak sendiri akan lebih kecil. Memang, namanya jodoh, rejeki sudah diatur. Tapi, tidak ada salahnya diikhtiari,” tutur Bapak. 

Bapak melanjutkan nasehatnya panjang lebar. Aku tahu, pasti teramat berat beban Bapak, memiliki anak gadis seusiaku yang belum menikah. Bisa jadi, Bapak juga ingin cepat-cepat mantu, sebagaimana teman-temannya. Atau, juga ingin segera menimang cucu. Namun, nggak harus dari aku, bukan? Toh, adikku sebentar lagi juga akan dilamar dan segera menikah.

Belum sempat aku memberikan alasan pada Bapak, mendadak, sebuah mobil berhenti dan perlahan masuk pekarangan rumah kami.

Aku dan Bapak saling berpandangan.

Kami mengamati mobil itu dari dalam ruang tamu. Kebetulan kaca jendela kami kalau dari luar terlihat gelap. Siapa tahu, hanya tamu tetangga, karena memang halaman depan kami yang cukup luas, tak jarang tamu tetangga numpang parkir di depan rumah.

Namun, detik berikutnya, jantungku menjadi berdegup tak terkontrol. Bagaimana tidak, lelaki yang keluar dari pintu kemudi, adalah sosok yang pernah kukenal. Sosok yang baru saja aku dan Bapak bicarakan.

Rizal! Mengapa dia datang ke rumah? Bukankah aku sudah bilang ke Nadia bahwa aku belum bisa menerima Rizal. Darimana dia tahu rumahku?

Mataku semakin melebar saat tahu siapa yang datang bersamanya. Wanita dan lelaki seusia Bapak dan Ibuku, dan seorang anak kecil berusia lima tahunan. 

Jantungku makin berdegup tak karuan. 

“Nduk, kamu siapin minum saja di belakang. Biar Bapak dan Ibu ganti dulu,” titah Bapak begitu menyadari kalau tamu itu adalah tamu kami. Lidahku sudah kelu untuk menanyakan, apakah Bapak mengenal tamu itu. Ah, sudahlah.

Bapak terbiasa berganti baju jika hendak menerima tamu. Demikian juga Ibu. Sementara, aku ke dapur untuk memanaskan air dan menyiapkan minum, hingga terdengar pintu diketuk. 

Aku segera bergegas ke depan untuk membuka pintu. Namun, langkahku melambat saat hendak mencapai pintu. Ada keraguan terselip. Namun, aku mencoba menguatkan diri. Bismillah, apapun yang terjadi, terjadilah. Batinku, sambil menghela nafas.

“Lha, ini pasti yang namanya Ratih!” Seorang ibu seusia dengan ibuku tersenyum hangat padaku usai aku menjawab salamnya. Pasti ini ibunya Rizal. Beberapa garis wajah, sekilas mirip.

Ibu itu serta merta memelukku.

Aku sedikit kaget dan bingung dibuatnya. Tapi, aku balas juga pelukannya karena merasa tak enak.

Gadis kecil yang tadi digandeng oleh ibunya Rizal mengulurkan tangannya, ingin menyalamiku usai aku mengurai pelukan.

Refleks aku berjongkok dan membalas uluran tangannya. Entah mengapa, spontan aku memeluknya. Dia pun membalas pelukanku erat.

“Siapa namanya?” tanyaku saat gadis itu melepaskan pelukannya. 

“Sasti, Tante,” sahutnya.

Menggemaskan sekali gadis ini. Matanya bulat. Pipinya gembil. Ingin rasanya aku menciumnya. Tapi, aku takut tak diijinkan oleh keluarganya. Akhirnya, aku hanya mengusap kepala, lalu mengelus pipinya yang gembil itu.

“Dia kangen mamanya.” Ibu Rizal menyela dengan raut muka yang serius saat aku menoleh padanya.  

Mendengar perkataan Ibu Rizal, jantung mendadak seolah berhenti berdetak. Apa maksudnya? Namun, secepat kilat, aku segera mencoba mengendalikan diri.

Saking aku fokus pada Sasti, entah kapan, tiba-tiba Rizal sudah berdiri di hadapanku. Dia mengangsurkan sebuah parcel berisi buah.

Keningku berkerut sejenak sambil menatap Rizal dan parcel yang dibawanya. Tak lupa aku mencoba mengontrol kegugupan.

Dia masih sama, dingin, tanpa ekspresi keramahan sedikitpun. Lantas buat apa dia datang ke sini? 

“Buat Bapak dan Ibu,” ucapnya karena aku masih terdiam mematung belum menerima parcel yang diberikannya.

“Terimakasih.” Aku mengangguk, seraya menerima parsel itu.

“Bapak, Ibu, silahkan duduk dulu.” Aku mohon diri ke belakang saat terdengar bunyi air mendidih, tanpa menatap Rizal. Ada rasa canggung masih menyelimuti. Beruntung Bapak dan Ibu segera keluar untuk menyambut tamu itu.

“Jadi begini, Pak….” Terdengar suara Ayahnya Rizal memulai pembicaraan. “Rizal dan Ratih ini kan sudah kenal sejak SMA...” 

Aku sengaja menajamkan pendengaran sambil mengaduk teh yang akan segera disajikan untuk mereka. 

“Duduk sini, Nak Ratih,” titah Ayah Rizal memintaku bergabung, usai aku meletakkan set cangkir berisi teh panas, di hadapan para tamu itu.

Aku segera duduk di sebelah Ibu. Tak tergambar bagaimana perasaanku. Ada rasa gugup dan tak tenang, bercampur menjadi satu. Aku takut apa yang dikatakan Nadia, terjadi dengan cepat. Padahal aku belum menyiapkan jawabannya. Apalagi kalau sudah melibatkan orang tua seperti ini.

Ayah Rizal menyampaikan tujuan kedatangan mereka untuk menjalin silaturahim.

Aku hanya menyimak saja ungkapan bersayap sambil menduga-duga maksudnya.

Bapak dan Ibu menanggapi dengan ringan. Mereka lalu mengobrol sana sini, dan terlihat cepat akrab, meski baru pertama kali bertemu. Entahlah, apa yang membuat mereka nyambung. Mungkin karena Bapak yang orangnya gampang akrab, juga Bapaknya Rizal.

Karena kedatangan Rizal yang mendadak, terpaksa aku memesan makan siang lewat aplikasi. Beruntung, tak lama makanan itu datang, hingga menyelamatkanku pada kondisi yang canggung itu. Aku segera ke belakang, untuk menyiapkan makan siang untuk tamu.

“Tante, aku mau pipis.” Suara Sasti menghentikan gerakan tanganku yang sedang menata nasi dan lauk di meja makan.

Tangan gadis kecil itu digandeng oleh Rizal menghampiriku.  

Sedetik aku agak bingung. Maklum, aku tak terbiasa dengan anak kecil. Apalagi, ini anaknya Rizal.

“Sini, Tante bantu.” Aku segera mengusir kecanggunganku dan berusaha bersikap sewajar mungkin.

Kalau rasaku masih sama dengan saat aku SMA, tentu berinteraksi dengan anak Rizal akan kujadikan cara meluluhkan hatinya. Tapi, bukankah kini kejadian malah sebaliknya. Aku sedang tak ingin menerima Rizal. Jadi, aku tak perlu berpura-pura terlihat keibuan, bukan?

“Makasih, Tante,” ucap Sasti saat aku usai membantunya di toilet. Gadis mungil itu segera berlari kembali ke depan. Sementara Rizal, masih mematung di posisi yang sama sebelum aku mengajak Sasti ke toilet.  

“Ratih...” 

Rizal menghampiriku yang sudah kembali sibuk menyajikan makanan di meja ruang makan. Adik-adikku tidak ada. Mereka bekerja di luar kota. Sehingga, mau tak mau, aku sendiri menyiapkan semuanya.

“Maaf, tadi mendadak Bapak dan Ibu mengajak ke sini,” ujarnya, seperti tahu aku tak nyaman dengan kehadirannya yang serba mendadak ini.

“Aku minta maaf pernah membuatmu sakit hati,” tambahnya dengan suara terdengar sedikit bergetar. 

Sekonyong-konyong air mataku merebak. Luka lama yang mulai mengering, kini basah kembali.

BERSAMBUNG...

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Rizal tiba tiba meminta maaf pada Ratih...... Apa jawaban Ratih?
goodnovel comment avatar
Mina Destine
menarik ni
goodnovel comment avatar
Jess
klo gak suka kenapa dibahas dengan orang tua ? harusnya dipikirpun ndak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status