Suasana area ruang tunggu bandara pelan-pelan mulai ramai, karena jadwal keberangkatan semakin mendekat. Banyak penumpang mulai masuk memenuhi ruang tunggu.
Gadis kecil di sebelahku ini berceloteh dengan riang, seolah kita sudah lama saling mengenal.
Sebenarnya aku termasuk orang yang sulit akrab dengan anak-anak. Aku sering kehabisan bahan ngobrol dengan anak kecil. Namun, Sasti sangat pandai membuat rasa canggungku hilang. Aku hanya cukup menanggapi celotehannya.
“Dia tak punya teman di rumah. Jadi, dia suka sekali mendapatkan teman bicara,” jelas Rizal.
Lelaki itu duduk di sisi kanan Sasti. Sementara aku berada di sisi kirinya. Orang yang tak tahu, bisa saja menyangka kami adalah suami istri yang bahagia.
Ingin rasanya aku mengorek dimana mamanya Sasti. Tapi, rasanya tak pantas aku tanyakan saat ada Sasti di sini. Mungkin, nanti saat anak itu sedang tidak bersama kami.
Yang aku tahu dari Nadia, Rizal sudah menduda selama dua tahun.
“Mamanya sudah menikah lagi.” Rizal seperti membaca pikiranku.
Aku menoleh ke arahnya.
Padangan Rizal menerawang, seolah memikirkan hal yang menyisakan sebuah kedukaan.
Aku tak mau bertanya lebih jauh. Apalagi ada Sasti di sampingnya. Anak kecil akan meskipun tidak mengerti, kadang ia dapat merekam pembicaraan orang dewasa.
Aku hanya mengangguk, lalu mengalihkan dengan kembali menanggapi ocehan Sasti hingga panggilan kami harus masuk ke pesawat terdengar.
Dalam pesawat, kami duduk terpisah, karena memang tak ada rencana untuk pulang bareng. Namun, saat pesawat tiba di kota tujuan, rupanya Sasti sengaja menungguku di jalur keluar setelah masuk ke area bandara, hingga membuat kami bertiga kembali berjalan beringan menuju area luar bandara.
“Ada yang jemput?” tanya Rizal saat kami sudah di luar. Keluarga Rizal sudah terlihat menjemputnya.
“Gampang, lah. Masih ada urusan.” Aku sedikit beralasan untuk menghindari kalau-kalau dia tidak enak kalau tak menawariku serta. Apalagi sebenarnya rumah kami masih searah.
“Sampai ketemu nanti siang,” ujar Rizal sesaat sebelum kami berpisah.
Aku menggernyikan dahi kembali. Nanti siang? Apakah dia akan menjadi tamu lamaran Dini?
Aku segera melupakan ucapan Rizal setelah mobil mereka hilang dari pandangan.Sementara, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan taksi online. Orang-orang rumah sepertinya sibuk dengan acara lamaran Dini, sehingga aku tak enak jika minta dijemput.
--
“Lho, ini yang mau dilamar kok baru datang,” seloroh Pakde, kakaknya ibu, saat aku turun dari taksi.
Suasana rumah sudah ramai. Ada beberapa tetangga yang mulai membantu memasak terlihat mondar-mandir.
Meski hanya lamaran, tapi beberapa saudara ibu dan bapak juga datang. Maklum, ini lamaran pertama di keluarga kami. Tak lupa juga Bapak meminta beberapa perangkat desa untuk menjadi juru bicara keluarga pada acara seperti ini.
“Lha yang mau dilamar Dini kok, Pakde. Bukan saya,” balasku setelah mencium punggung tangan lelaki yang sudah seperti ayahku juga ini.
“Lho, piye tho? Kamu iya. Adikmu juga iya,” sahut Budhe, istri dari Pakde, dari dalam rumah.
Aku hanya mencebik.
Memang keluarga besarku meskipun dekat, suka usil. Apalagi tentang jodoh. Meskipun hanya candaan, tak urung sering aku merasa sakit hati juga.
Namun, aku mencoba menanggapinya dengan santai. Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Jika aku terus menanggapi dengan tegang, yang ada justru malah tidak baik. Buatku, dan juga hubungan keluarga besar.
Saat masuk rumah, Dini terlihat sudah rapi dengan kebayanya. Bahkan, aku takt ahu, kapan dia menyiapkan semuanya.
“Duh, cantiknya yang mau dilamar,” godaku, setelah menemui Bapak dan Ibu.
Adik bungsuku itu duduk di depan meja rias di kamar ibu. Karena hanya kamar ibu yang ada meja riasnya.
“Mbak Ratih pake baju kembaran sama aku. Jadi, pas difoto biar kembar,” ujar Dini sambil terus di poles make up oleh Bulik. Dia tidak menoleh.
Aku menyalami Bulik, lalu duduk di sisi ranjang, melihat adikku yang sedang berdandan. Badanku masih penat perjalanan dari Jakarta, meski menggunakan pesawat.
“Lho, kalau kembar, nanti bisa ketuker, gimana?” candaku.
Bulik menatapku sekilas seraya mengerutkan kening. Terlihat dari raut mukanya, sepertinya Bulik agak heran dengan jawabanku yang ngawur.
“Lho, Nduk. Kamu kan juga mau dilamar,” sela Bulik. Tangannya masih bergerak memoles make up di wajah Dini.
“Ah, Bulik ini. Ngomong apa. Yang mau dilamar itu Dini.” Aku menjelaskan dengan percaya diri, seperti ucapanku pada Dini di telepon kemarin.
Mendadak, Bulik menghentikan gerakan tangannya, dan tatapannya beralih padaku, membuatku mencurigai sesuatu.
“Bentar, Din. Apa maksud Bulik?” Aku menatap bulik dan Dini bergantian. Aku rasa ada yang tidak beres.
Dini menoleh saat Bulik menghentikan sapuan bedak di wajahnya. Gadis itu menatapku dengan kening yang berkerut, seolah ingin mengatakan, gimana sih? Kan aku sudah ngasih tau!
Mendadak aku teringat ucapan Rizal sebelum kami berpisah tadi. Sampai ketemu nanti siang? Aku bergumam menirukan ucapan Rizal.
Apa dia juga mau melamar? Kenapa mereka semua tidak memberitahukanku? Mengapa justru memberiku kejutan seperti ini? Apa mereka sudah tak mempercayaiku? Apa aku terlalu tua untuk memutuskan sendiri kapan aku menikah.
Tiba-tiba lututku terasa lemah. Aku merosot ke lantai.
“Mbak Ratih!” Samar kudengar teriakan Dini, sesaat sebelum semuanya terasa gelap.
BERSAMBUNG…
Mataku mengerjap. Aroma minyak kayu putih tercium di sekitarku. Sudah lama aku tak pernah pingsan. Aku benar-benar shock mengetahui kenyataan kalau aku pun hendak dilamar. Bagiku pernikahan itu menentukan masa depan seseorang. Aku tak boleh gegabah. Mungkin itu juga yang menyebabkan hingga usia mendekati kepala tiga aku masih memilih sendiri. Setiap ada lelaki yang mendekat, aku memilih untuk menjaga jarak. Dan entahlah, sampai kapan itu akan terus terjadi, aku tak tahu. “Nduk, tamunya sebentar lagi datang. Kamu sebaiknya segera bersiap,” tutur Bulik dengan lembut, saat aku masih terbaring di kasur.Aku mengangguk, lalu berusaha bangkit. “Kamu tidak usah mikir macem-macem. Paklikmu sudah tahu siapa Nak Rizal itu. Anaknya baik. Rajin ke masjid. Nggak bakal jahat sama kamu,” terang Bulik di sela-sela merias wajahku. Aku hanya menurut saja. Rumah Paklik dengan rumah Rizal memang cukup dekat. Tak heran kalau Paklik mengenal Rizal dengan baik.Mendengar kata jahat, tiba-tiba hatiku
Tak dapat kupungkiri. Dadaku masih bergetar jika bertemu dengan Rizal. Dia memang cinta pertamaku. Dan setelahnya, aku tak pernah membuka hati untuk pria lain. Dia memang jahat padaku. Dia kejam padaku. Tapi tanpa aku menyadari, rasa ini masih ada. Masih sama dengan saat aku berseragam putih abu-abu.Hatiku memang terluka. Hatiku memang tercabik dengan penolakannya kala itu. Tepatnya bukan penolakan karena aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi, dia secara tak langsung menyalahkanku sebagai penyebab ditolaknya cintanya kepada Dewi. Kini, dia datang padaku. Apakah ini yang dinamakan takdir cinta? “Kamu masih ragu?” tanya Nadia. Aku dan Nadia janjian di salah satu resto di pusat kota. Tengah-tengah antara tempatku dan tempat Nadia.Aku sedang mencoba memantapkan hati. Tak mungkin aku menemui Dewi. Dia tinggal di kota lain. Sementara, Nadia tinggal di kota yang sama denganku. Makanya, Nadialah yang awalnya menjodohkan aku dengan Rizal. “Entahlah, Nad. Jauh di lubuk hatiku masih ber
“Ratih?!” Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?”
“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru
Hari menjelang senja, Aku kembali ke kosan. Kosanku berada di gang sempit di belakang kantor. Kira-kira 700 meter dari kantor. Tapi, jalanannya hanya bisa dilalui motor atau bajaj. Kalau pun bisa dilalui mobil, tapi hanya satu arah dan tidak bisa bersimpangan. Biasanya, bagi yang bertamu menggunakan mobil harus parkir jauh dari kosan. Parkir di pinggir jalan sebelum masuk gang. Kosku itu berada di lantai dua. Lantai satu dihuni oleh pemilik rumah. Kamarku berada tepat di ujung paling depan. Kalau membuka jendela, maka aku bisa mengintip orang yang lalu lalang di jalanan depan kosan. Termasuk juga melihat penjual nasi uduk yang kadang buka dasaran di pagi dan sore hari. Aku sendiri penghuni paling baru di kosan. Semua rata-rata sudah menghuni kosan lebih dari setahun. Kabarnya, penghuni yang paling sering bergantian ya penghuni kamarku ini. Entah mengapa, meski aku pikir kamarku paling nyaman, karena ventilasi langsung masuk udara luar, buktinya tak ada yang mau pindah ke sini. Mungk
“Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti,” jelas Rizal. “Oh.” Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban. "Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti. Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya. "Kok, malah bengong." Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara. "Oh, iya. Ayuk." "Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya. Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekita
“Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!”Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi. Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan. Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali. "Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf? "Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda. Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya. "Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih." Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan