Share

BAB 4A

Suasana area ruang tunggu bandara pelan-pelan mulai ramai, karena jadwal keberangkatan semakin mendekat. Banyak penumpang mulai masuk memenuhi ruang tunggu.

Gadis kecil di sebelahku ini berceloteh dengan riang, seolah kita sudah lama saling mengenal. 

Sebenarnya aku termasuk orang yang sulit akrab dengan anak-anak. Aku sering kehabisan bahan ngobrol dengan anak kecil. Namun, Sasti sangat pandai membuat rasa canggungku hilang. Aku hanya cukup menanggapi celotehannya. 

“Dia tak punya teman di rumah. Jadi, dia suka sekali mendapatkan teman bicara,” jelas Rizal. 

Lelaki itu duduk di sisi kanan Sasti. Sementara aku berada di sisi kirinya. Orang yang tak tahu, bisa saja menyangka kami adalah suami istri yang bahagia. 

Ingin rasanya aku mengorek dimana mamanya Sasti. Tapi, rasanya tak pantas aku tanyakan saat ada Sasti di sini. Mungkin, nanti saat anak itu sedang tidak bersama kami. 

Yang aku tahu dari Nadia, Rizal sudah menduda selama dua tahun. 

“Mamanya sudah menikah lagi.” Rizal seperti membaca pikiranku. 

Aku menoleh ke arahnya.

Padangan Rizal menerawang, seolah memikirkan hal yang menyisakan sebuah kedukaan. 

Aku tak mau bertanya lebih jauh. Apalagi ada Sasti di sampingnya. Anak kecil akan meskipun tidak mengerti, kadang ia dapat merekam pembicaraan orang dewasa. 

Aku hanya mengangguk, lalu mengalihkan dengan kembali menanggapi ocehan Sasti hingga panggilan kami harus masuk ke pesawat terdengar. 

Dalam pesawat, kami duduk terpisah, karena memang tak ada rencana untuk pulang bareng. Namun, saat pesawat tiba di kota tujuan, rupanya Sasti sengaja menungguku di jalur keluar setelah masuk ke area bandara, hingga membuat kami bertiga kembali berjalan beringan menuju area luar bandara.

“Ada yang jemput?” tanya Rizal saat kami sudah di luar. Keluarga Rizal sudah terlihat menjemputnya.

“Gampang, lah. Masih ada urusan.” Aku sedikit beralasan untuk menghindari kalau-kalau dia tidak enak kalau tak menawariku serta. Apalagi sebenarnya rumah kami masih searah. 

“Sampai ketemu nanti siang,” ujar Rizal sesaat sebelum kami berpisah. 

Aku menggernyikan dahi kembali. Nanti siang? Apakah dia akan menjadi tamu lamaran Dini? 

Aku segera melupakan ucapan Rizal setelah mobil mereka hilang dari pandangan.Sementara, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan taksi online. Orang-orang rumah sepertinya sibuk dengan acara lamaran Dini, sehingga aku tak enak jika minta dijemput. 

--

“Lho, ini yang mau dilamar kok baru datang,” seloroh Pakde, kakaknya ibu, saat aku turun dari taksi.

Suasana rumah sudah ramai. Ada beberapa tetangga yang mulai membantu memasak terlihat mondar-mandir. 

Meski hanya lamaran, tapi beberapa saudara ibu dan bapak juga datang. Maklum, ini lamaran pertama di keluarga kami. Tak lupa juga Bapak meminta beberapa perangkat desa untuk menjadi juru bicara keluarga pada acara seperti ini. 

“Lha yang mau dilamar Dini kok, Pakde. Bukan saya,” balasku setelah mencium punggung tangan lelaki yang sudah seperti ayahku juga ini. 

“Lho, piye tho? Kamu iya. Adikmu juga iya,” sahut Budhe, istri dari Pakde, dari dalam rumah. 

Aku hanya mencebik.

Memang keluarga besarku meskipun dekat, suka usil. Apalagi tentang jodoh. Meskipun hanya candaan, tak urung sering aku merasa sakit hati juga. 

Namun, aku mencoba menanggapinya dengan santai. Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Jika aku terus menanggapi dengan tegang, yang ada justru malah tidak baik. Buatku, dan juga hubungan keluarga besar. 

Saat masuk rumah, Dini terlihat sudah rapi dengan kebayanya. Bahkan, aku takt ahu, kapan dia menyiapkan semuanya.

“Duh, cantiknya yang mau dilamar,” godaku, setelah menemui Bapak dan Ibu.

Adik bungsuku itu duduk di depan meja rias di kamar ibu. Karena hanya kamar ibu yang ada meja riasnya. 

“Mbak Ratih pake baju kembaran sama aku. Jadi, pas difoto biar kembar,” ujar Dini sambil terus di poles make up oleh Bulik. Dia tidak menoleh.

Aku menyalami Bulik, lalu duduk di sisi ranjang, melihat adikku yang sedang berdandan. Badanku masih penat perjalanan dari Jakarta, meski menggunakan pesawat.

“Lho, kalau kembar, nanti bisa ketuker, gimana?” candaku. 

Bulik menatapku sekilas seraya mengerutkan kening. Terlihat dari raut mukanya, sepertinya Bulik agak heran dengan jawabanku yang ngawur. 

“Lho, Nduk. Kamu kan juga mau dilamar,” sela Bulik. Tangannya masih bergerak memoles make up di wajah Dini.

“Ah, Bulik ini. Ngomong apa. Yang mau dilamar itu Dini.” Aku menjelaskan dengan percaya diri, seperti ucapanku pada Dini di telepon kemarin. 

Mendadak, Bulik menghentikan gerakan tangannya, dan tatapannya beralih padaku, membuatku mencurigai sesuatu.

“Bentar, Din. Apa maksud Bulik?” Aku menatap bulik dan Dini bergantian. Aku rasa ada yang tidak beres.

Dini menoleh saat Bulik menghentikan sapuan bedak di wajahnya. Gadis itu menatapku dengan kening yang berkerut, seolah ingin mengatakan, gimana sih? Kan aku sudah ngasih tau! 

Mendadak aku teringat ucapan Rizal sebelum kami berpisah tadi. Sampai ketemu nanti siang? Aku bergumam menirukan ucapan Rizal.

Apa dia juga mau melamar? Kenapa mereka semua tidak memberitahukanku? Mengapa justru memberiku kejutan seperti ini? Apa mereka sudah tak mempercayaiku? Apa aku terlalu tua untuk memutuskan sendiri kapan aku menikah. 

Tiba-tiba lututku terasa lemah. Aku merosot ke lantai. 

“Mbak Ratih!” Samar kudengar teriakan Dini, sesaat sebelum semuanya terasa gelap. 

BERSAMBUNG…

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
ortunyabterlalu egois memaksakan kehendak pada Ratih.. Rizal juga begitu ga sabaran... harusnya nunggu Ratih mau memaafkan dulu baru rencanakan masa depan
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Jadi.,ternyata bukan hanya Dini saja yg akan dilamar kekasihnya Ternyata,Rstih pun akan akan dilamar oleh Rizal.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status