Share

BAB 5

Tak dapat kupungkiri. Dadaku masih bergetar jika bertemu dengan Rizal. Dia memang cinta pertamaku. Dan setelahnya, aku tak pernah membuka hati untuk pria lain. 

Dia memang jahat padaku. Dia kejam padaku. Tapi tanpa aku menyadari, rasa ini masih ada. Masih sama dengan saat aku berseragam putih abu-abu.

Hatiku memang terluka. Hatiku memang tercabik dengan penolakannya kala itu. Tepatnya bukan penolakan karena aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi, dia secara tak langsung menyalahkanku sebagai penyebab ditolaknya cintanya kepada Dewi. 

Kini, dia datang padaku. Apakah ini yang dinamakan takdir cinta? 

“Kamu masih ragu?” tanya Nadia. 

Aku dan Nadia janjian di salah satu resto di pusat kota. Tengah-tengah antara tempatku dan tempat Nadia.

Aku sedang mencoba memantapkan hati. Tak mungkin aku menemui Dewi. Dia tinggal di kota lain. Sementara, Nadia tinggal di kota yang sama denganku. Makanya, Nadialah yang awalnya menjodohkan aku dengan Rizal. 

“Entahlah, Nad. Jauh di lubuk hatiku masih bercampur antara rasa kesal dengan rasa yang lain. Mungkin aku harus berdamai dengan keadaan sekarang,” ujarku sambil menyesap jus jeruk di hadapanku. 

“Bagus. Kita sudah dewasa, Tih. Bukan ABG labil. Jadi, ya sekarang saatnya berdamai dengan keadaan. Rizal juga bukan anak kemaren sore juga. Dia minta ke kamu pun juga pasti punya pertimbangan. Ngomong-ngomong kalian pernah ngobrol serius ga?” Tiba-tiba pertanyaan Nadia menyadarkanku. 

Benar juga. Sejak Nadia mengutarakan niat Rizal melamarku, aku dan Rizal tak pernah mengobrol serius. Aku terlalu fokus dengan perang batinku. Bahkan, sebab dia bercerai dengan istrinya pun, hingga sekarang masih misteri bagiku. 

“Sebaiknya, kamu sempatin ngobrol sama Rizal. Dari hati ke hati. Nggak pake emosi lagi. Bicarakan rencana ke depan kalian. Ingat kalian bukan ABG. Jangan kalah sama anak-anak muda yang mau nikah.” Nadia mengingatkan.

Ya, penting juga aku mendengarkan nasehat darinya. Nadia sudah menikah lima tahun yang lalu. Meskipun dia wanita karir, tapi dia juga seorang ibu. Tak heran, jika nasehat pernikahan seperti ini penting juga kudengar darinya. 

Meski kami dulu tidak akrab saat SMA. Tinggal di kota yang sama seperti ini, menjadikan kami dekat. Dulu, kami sering hang out berdua sejak jaman dia belum menikah. Tapi, setelah dia berkeluarga, hanya sesekali saja kami bertemu.

“Kalau kamu tidak nyaman bertemu Rizal sendiri, aku bisa menemanimu. Tidak perlu sungkan. Suamiku sudah mengijinkan,” tukas Nadia lagi. Dia tahu aku memang kaku untuk berinteraksi dengan laki-laki. 

Menurut Nadia, kalau urusan pernikahan, kita tidak perlu kaku. Asal tahu Batasan. Artinya, untuk hal-hal penting memang harus dikomunikasikan sebelum menikah. Agar kelak, setelah memasuki jenjang berumah tangga, tidak ada lagi ganjalan ataupun salah paham. 

Mungkin, karena Nadia sudah berpengalaman, nasehatnya memang mudah aku pahami. Hanya saja, aku masih sungkan untuk memulai. Aku takut jika dikira agresif. Bagaimanapun masa laluku adalah akulah yang menyukai Rizal bukan sebaliknya. 

Dalam hatiku, tetap ada ganjalan. Aku khawatir jika Rizal masih menyangka aku masih menyimpan perasaan padanya, sehingga aku sekarang menjadi agresif dan menuntut banyak hal. Apalagi, aku belum resmi jadi istrinya. 

Hatiku menjadi bimbang. Antara menyetujui kata-kata Nadia dengan keraguanku sendiri. Ragu bagaimana aku harus melangkah, meski Nadia sudah menawariku bantuan. 

“Yang jelas, jika kamu masih ragu, istikharahlah untuk mendapatkan kemantapan hati. Masih ada waktu,” tukas Nadia menenangkan gundahku. 

Aku mengangguk menyetujui sarannya. 

Memang, semua berjalan begitu cepat. Bahkan tanpa prediksi. Kadang ini pula yang membuatku marah karena aku merasa tidak dianggap. 

Tapi, kalau aku pikir ulang, harusnya aku bersyukur. Aku tak perlu repot berfikir, orang tua dan adikku sudah berinisiatif. Mereka tahu betul, jika menungguku, semua akan berjalan lambat. Aku adalah orang yang peragu. Butuh pertimbangan yang masak setiap memutuskan suatu hal. 

Aku kembali berfikir, bagaimana aku bisa bertemu dengan Rizal untuk menyampaikan semua hal yang masih mengganjal di hatiku. Jika dia mengajak Sasti, pasti kami tak dapat bicara lepas. Karena banyak hal yang tidak bisa di dengar Sasti. Jika aku mengajak Nadia, aku takut Rizal menjadi tak nyaman. 

“Tih, udah sore. Aku mesti pulang. Ada janji dengan suamiku. Ingat ya, kamu harus bicara dengan Rizal sebelum hari H. Ungkapkan apa yang masih menjadi ganjalanmu. Tidak apa-apa. Itu tidak tabu. Aku yakin, kamu tahu batasannya. Kamu bukan anak kemaren sore, kan. Pokoknya, kalau kamu butuh aku temani, kamu tinggal kontak saja,” ujar Nadia sambil memelukku, sesaat sebelum meninggalkanku. 

Aku hanya mengangguk. Lalu kutinggalkan resto itu setelah Nadia menghilang dari pandangan. 

Aku bergegas menghilangkan penat. Mungkin berbelanja di mall tempat aku dan Nadia baru saja bertemu, bisa menjadi pilihan. Sudah lama aku tidak membeli baju baru, batinku.

Aku menyisir rak-rak berisi baju yang cantik-cantik di salah satu outlet. Niatku memang hanya cuci mata. Siapa tahu aku mendapatkan ide membeli sesuatu yang menarik. 

Beginilah seorang jomblo. Di akhir pekan selalu tak ada kerjaan. Jika tak pulang ke Yogya, aku biasa hanya keluar ke mall atau supermarket sekedar berbelanja mingguan, tau cuci mata membeli sesuatu yang kadang tidak terlalu mendesak. 

Usia sepertiku memang menyedihkan. Tak banyak teman yang bisa kuajak nongkrong jika akhir pekan begini. Rata-rata mereka sudah berkeluarga dan sibuk dengan keluarganya. Aku pun harus menerima keadaan. Hingga aku mulai terbiasa jalan-jalan ke mall begini seorang diri. 

Tak jarang aku jalan dengan teman sekosan atau teman kantor. Tapi, usia mereka jauh lebih muda. Kadang, aku sendiri merasa tak nyaman meskipun dalan satu kesempatan juga biasa saja. 

Kadang, pembicaraan menjadi tidak nyambung. Masa mereka dengan masaku jauh berbeda. tema pembicaraan pun juga berbeda. 

Jika aku bergabung dengan yang seumuran dan mereka sudah menikah, aku pun tidak nyambung dengan pembicaraan mereka. Mereka sering membicarakan keluh kesah menjadi ibu rumah tangga. Dan akhirnya, aku tersisih. 

Tiba-tiba langkahku terhenti saat aku mendengar suara yang tak asing bagiku. Suara Sasti!

Kusibak rak baju yang ada di hadapanku. Pandanganku mengintip pada gadis mungil yang ada di gandengan seorang wanita muda. 

Ya, wanita muda dan cantik. Usianya masih di bawahku. Atau sebenarnya seumuran denganku, tapi karena dia menjalani perawatan dan memakai pakaian yang modis, hingga terlihat sangat muda. 

Tak sadar aku terus mengamatinya. Gadis kecil itu berceloteh manja, meski wanita dewasa itu hanya sesekali menanggapinya. 

Aku menghela nafas. Memang Sasti gadis kecil yang baik. Benar saja dia pun cepat dekat denganku yang sejatinya aku tak begitu bisa dekat dengan anak kecil. Bahkan wanita muda yang terkesan cuek ini, Sasti pun tetap hangat berceloteh. 

“Mama, aku mau pipis,” rengek Sasti. 

Mama? Jadi…jadi…wanita ini adalah mamanya Sasti? 

Tiba-tiba lidahku tercekat. Aku hanya bisa melongo memindai wanita itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

Cantik sekali!

Tiba-tiba jantungku berdegup. Aku merasa insecure

Ya, sejak dulu selera Rizal tak berubah. Wanita yang cantik. Dewi cantik. Dan, mama Sasti? Jangan tanya! Dia tinggi semampai, kulit putih bersih terawatt bak seorang model. Oh, tidak!

Tiba-tiba hatiku berontak. 

“Mama, aku sudah tidak tahan!” Teriakan Sasti sontak membuyarkan lamunanku. 

Kulihat wanita muda yang sedari tadi sibuk memilih baju itu menjadi panik. Dengan langkah tergesa dia mencari toilet. 

Sementara aku masih berdiri mematung, hingga tepukan halus menyadarkanku. 

“Ratih?!” 

BERSAMBUNG...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Siapa yg menepuk pundak Ratih?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status