Tak dapat kupungkiri. Dadaku masih bergetar jika bertemu dengan Rizal. Dia memang cinta pertamaku. Dan setelahnya, aku tak pernah membuka hati untuk pria lain.
Dia memang jahat padaku. Dia kejam padaku. Tapi tanpa aku menyadari, rasa ini masih ada. Masih sama dengan saat aku berseragam putih abu-abu.
Hatiku memang terluka. Hatiku memang tercabik dengan penolakannya kala itu. Tepatnya bukan penolakan karena aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi, dia secara tak langsung menyalahkanku sebagai penyebab ditolaknya cintanya kepada Dewi.
Kini, dia datang padaku. Apakah ini yang dinamakan takdir cinta?
“Kamu masih ragu?” tanya Nadia.
Aku dan Nadia janjian di salah satu resto di pusat kota. Tengah-tengah antara tempatku dan tempat Nadia.
Aku sedang mencoba memantapkan hati. Tak mungkin aku menemui Dewi. Dia tinggal di kota lain. Sementara, Nadia tinggal di kota yang sama denganku. Makanya, Nadialah yang awalnya menjodohkan aku dengan Rizal.
“Entahlah, Nad. Jauh di lubuk hatiku masih bercampur antara rasa kesal dengan rasa yang lain. Mungkin aku harus berdamai dengan keadaan sekarang,” ujarku sambil menyesap jus jeruk di hadapanku.
“Bagus. Kita sudah dewasa, Tih. Bukan ABG labil. Jadi, ya sekarang saatnya berdamai dengan keadaan. Rizal juga bukan anak kemaren sore juga. Dia minta ke kamu pun juga pasti punya pertimbangan. Ngomong-ngomong kalian pernah ngobrol serius ga?” Tiba-tiba pertanyaan Nadia menyadarkanku.
Benar juga. Sejak Nadia mengutarakan niat Rizal melamarku, aku dan Rizal tak pernah mengobrol serius. Aku terlalu fokus dengan perang batinku. Bahkan, sebab dia bercerai dengan istrinya pun, hingga sekarang masih misteri bagiku.
“Sebaiknya, kamu sempatin ngobrol sama Rizal. Dari hati ke hati. Nggak pake emosi lagi. Bicarakan rencana ke depan kalian. Ingat kalian bukan ABG. Jangan kalah sama anak-anak muda yang mau nikah.” Nadia mengingatkan.
Ya, penting juga aku mendengarkan nasehat darinya. Nadia sudah menikah lima tahun yang lalu. Meskipun dia wanita karir, tapi dia juga seorang ibu. Tak heran, jika nasehat pernikahan seperti ini penting juga kudengar darinya.
Meski kami dulu tidak akrab saat SMA. Tinggal di kota yang sama seperti ini, menjadikan kami dekat. Dulu, kami sering hang out berdua sejak jaman dia belum menikah. Tapi, setelah dia berkeluarga, hanya sesekali saja kami bertemu.
“Kalau kamu tidak nyaman bertemu Rizal sendiri, aku bisa menemanimu. Tidak perlu sungkan. Suamiku sudah mengijinkan,” tukas Nadia lagi. Dia tahu aku memang kaku untuk berinteraksi dengan laki-laki.
Menurut Nadia, kalau urusan pernikahan, kita tidak perlu kaku. Asal tahu Batasan. Artinya, untuk hal-hal penting memang harus dikomunikasikan sebelum menikah. Agar kelak, setelah memasuki jenjang berumah tangga, tidak ada lagi ganjalan ataupun salah paham.
Mungkin, karena Nadia sudah berpengalaman, nasehatnya memang mudah aku pahami. Hanya saja, aku masih sungkan untuk memulai. Aku takut jika dikira agresif. Bagaimanapun masa laluku adalah akulah yang menyukai Rizal bukan sebaliknya.
Dalam hatiku, tetap ada ganjalan. Aku khawatir jika Rizal masih menyangka aku masih menyimpan perasaan padanya, sehingga aku sekarang menjadi agresif dan menuntut banyak hal. Apalagi, aku belum resmi jadi istrinya.
Hatiku menjadi bimbang. Antara menyetujui kata-kata Nadia dengan keraguanku sendiri. Ragu bagaimana aku harus melangkah, meski Nadia sudah menawariku bantuan.
“Yang jelas, jika kamu masih ragu, istikharahlah untuk mendapatkan kemantapan hati. Masih ada waktu,” tukas Nadia menenangkan gundahku.
Aku mengangguk menyetujui sarannya.
Memang, semua berjalan begitu cepat. Bahkan tanpa prediksi. Kadang ini pula yang membuatku marah karena aku merasa tidak dianggap.
Tapi, kalau aku pikir ulang, harusnya aku bersyukur. Aku tak perlu repot berfikir, orang tua dan adikku sudah berinisiatif. Mereka tahu betul, jika menungguku, semua akan berjalan lambat. Aku adalah orang yang peragu. Butuh pertimbangan yang masak setiap memutuskan suatu hal.
Aku kembali berfikir, bagaimana aku bisa bertemu dengan Rizal untuk menyampaikan semua hal yang masih mengganjal di hatiku. Jika dia mengajak Sasti, pasti kami tak dapat bicara lepas. Karena banyak hal yang tidak bisa di dengar Sasti. Jika aku mengajak Nadia, aku takut Rizal menjadi tak nyaman.
“Tih, udah sore. Aku mesti pulang. Ada janji dengan suamiku. Ingat ya, kamu harus bicara dengan Rizal sebelum hari H. Ungkapkan apa yang masih menjadi ganjalanmu. Tidak apa-apa. Itu tidak tabu. Aku yakin, kamu tahu batasannya. Kamu bukan anak kemaren sore, kan. Pokoknya, kalau kamu butuh aku temani, kamu tinggal kontak saja,” ujar Nadia sambil memelukku, sesaat sebelum meninggalkanku.
Aku hanya mengangguk. Lalu kutinggalkan resto itu setelah Nadia menghilang dari pandangan.
Aku bergegas menghilangkan penat. Mungkin berbelanja di mall tempat aku dan Nadia baru saja bertemu, bisa menjadi pilihan. Sudah lama aku tidak membeli baju baru, batinku.
Aku menyisir rak-rak berisi baju yang cantik-cantik di salah satu outlet. Niatku memang hanya cuci mata. Siapa tahu aku mendapatkan ide membeli sesuatu yang menarik.
Beginilah seorang jomblo. Di akhir pekan selalu tak ada kerjaan. Jika tak pulang ke Yogya, aku biasa hanya keluar ke mall atau supermarket sekedar berbelanja mingguan, tau cuci mata membeli sesuatu yang kadang tidak terlalu mendesak.
Usia sepertiku memang menyedihkan. Tak banyak teman yang bisa kuajak nongkrong jika akhir pekan begini. Rata-rata mereka sudah berkeluarga dan sibuk dengan keluarganya. Aku pun harus menerima keadaan. Hingga aku mulai terbiasa jalan-jalan ke mall begini seorang diri.
Tak jarang aku jalan dengan teman sekosan atau teman kantor. Tapi, usia mereka jauh lebih muda. Kadang, aku sendiri merasa tak nyaman meskipun dalan satu kesempatan juga biasa saja.
Kadang, pembicaraan menjadi tidak nyambung. Masa mereka dengan masaku jauh berbeda. tema pembicaraan pun juga berbeda.
Jika aku bergabung dengan yang seumuran dan mereka sudah menikah, aku pun tidak nyambung dengan pembicaraan mereka. Mereka sering membicarakan keluh kesah menjadi ibu rumah tangga. Dan akhirnya, aku tersisih.
Tiba-tiba langkahku terhenti saat aku mendengar suara yang tak asing bagiku. Suara Sasti!
Kusibak rak baju yang ada di hadapanku. Pandanganku mengintip pada gadis mungil yang ada di gandengan seorang wanita muda.
Ya, wanita muda dan cantik. Usianya masih di bawahku. Atau sebenarnya seumuran denganku, tapi karena dia menjalani perawatan dan memakai pakaian yang modis, hingga terlihat sangat muda.
Tak sadar aku terus mengamatinya. Gadis kecil itu berceloteh manja, meski wanita dewasa itu hanya sesekali menanggapinya.
Aku menghela nafas. Memang Sasti gadis kecil yang baik. Benar saja dia pun cepat dekat denganku yang sejatinya aku tak begitu bisa dekat dengan anak kecil. Bahkan wanita muda yang terkesan cuek ini, Sasti pun tetap hangat berceloteh.
“Mama, aku mau pipis,” rengek Sasti.
Mama? Jadi…jadi…wanita ini adalah mamanya Sasti?
Tiba-tiba lidahku tercekat. Aku hanya bisa melongo memindai wanita itu, dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Cantik sekali!
Tiba-tiba jantungku berdegup. Aku merasa insecure.
Ya, sejak dulu selera Rizal tak berubah. Wanita yang cantik. Dewi cantik. Dan, mama Sasti? Jangan tanya! Dia tinggi semampai, kulit putih bersih terawatt bak seorang model. Oh, tidak!
Tiba-tiba hatiku berontak.
“Mama, aku sudah tidak tahan!” Teriakan Sasti sontak membuyarkan lamunanku.
Kulihat wanita muda yang sedari tadi sibuk memilih baju itu menjadi panik. Dengan langkah tergesa dia mencari toilet.
Sementara aku masih berdiri mematung, hingga tepukan halus menyadarkanku.
“Ratih?!”
BERSAMBUNG...
“Ratih?!” Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?”
“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru
Hari menjelang senja, Aku kembali ke kosan. Kosanku berada di gang sempit di belakang kantor. Kira-kira 700 meter dari kantor. Tapi, jalanannya hanya bisa dilalui motor atau bajaj. Kalau pun bisa dilalui mobil, tapi hanya satu arah dan tidak bisa bersimpangan. Biasanya, bagi yang bertamu menggunakan mobil harus parkir jauh dari kosan. Parkir di pinggir jalan sebelum masuk gang. Kosku itu berada di lantai dua. Lantai satu dihuni oleh pemilik rumah. Kamarku berada tepat di ujung paling depan. Kalau membuka jendela, maka aku bisa mengintip orang yang lalu lalang di jalanan depan kosan. Termasuk juga melihat penjual nasi uduk yang kadang buka dasaran di pagi dan sore hari. Aku sendiri penghuni paling baru di kosan. Semua rata-rata sudah menghuni kosan lebih dari setahun. Kabarnya, penghuni yang paling sering bergantian ya penghuni kamarku ini. Entah mengapa, meski aku pikir kamarku paling nyaman, karena ventilasi langsung masuk udara luar, buktinya tak ada yang mau pindah ke sini. Mungk
“Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti,” jelas Rizal. “Oh.” Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban. "Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti. Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya. "Kok, malah bengong." Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara. "Oh, iya. Ayuk." "Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya. Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekita
“Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!”Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi. Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan. Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali. "Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf? "Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda. Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya. "Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih." Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan
Warung tenda tempat kami makan sudah lebih ramai dibanding tadi saat kami datang. Meskipun tempat ini hanya menyajikan penyetan, namun sangat berarti buat penduduk urban sepertiku yang tempat tinggalnya tidak dilengkapi dapur. “Sasti butuh seorang ibu. Dan ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung,” sambungku karena Rizal tak juga mengeluarkan penjelasannya. Ini terdengar sok bijak. Namun, aku sering mendengar penjelasan serupa, meski aku belum berpengalaman.Aku menatap Rizal yang sibuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia lapar, karena sama sekali tak memberi jeda untuk berbicara. Atau, dia perlu energi untuk memberi penjelasan padaku?“Sebenarnya tak semuanya harus kuceritakan. Tapi, baiklah.” Rizal menyudahi makan pecel ayamnya. Rizal menumpuk piring nasi dan piring bekas pecelnya menjadi satu, sehingga meja di hadapannya terlihat bersih. Sementara, aku masih berusaha melanjutkan makananku yang belum habis. “Sebenarnya aku sudah melupakan semuanya. Dia adalah mamanya Sasti.
Ibu bagi Sasti? Sebenarnya dia mencari istri, apa pengasuh anak? Aku nggak tahu, kenapa aku yang dipilih? Aku nggak punya pengalaman dalam mengasuh anak. Kalau benar dia menginginkan ibu bagi putrinya, harusnya memilih yang berpengalaman. Bukan sepertiku, bahkan cinta dunia anak-anak pun tidak. Aku masuk ke dalam kosan. "Cie, siapa tuh, Tih?" Mbak Femy, salah satu senior di kosan yang tadi lewat saat aku bersama Rizal, kini menyembulkan kepala di pintu kamarku yang memang belum tertutup. "Kayaknya kamar ini beneran mengundang jodoh, ya?" Mbak Femy masuk ke kamar. Dia langsung duduk di sisi ranjang. "Semua yang menempati kamar ini, akan keluar saat dia nikah. Dan hampir tiap tahun itu," ucap Mbak Femy. Aku memang penghuni baru di kosan ini. Sebelumnya, aku tinggal beberapa gang dari sini. Sayangnya, kosan yang sudah membuatku nyaman itu harus direnovasi, sehingga aku pindah ke tempat ini. "Alhamdulillah. Rejeki berarti ya, aku pindah ke sini. Kalau gitu, Mbak Femy pindah s