“Ratih?!”
Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?” Aku mendahului bertanya sebelum ia mengajukan pertanyaan padaku. “Nganter Sasti belanja sama mamanya,” sahutnya datar. Aku menarik nafas dalam-dalam. Saat dia menyebut kata “mama” dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang menindih dalam dadaku. Apakah aku tak ikhlas jika dia menyebut mama untuk anaknya pada wanita lain, meski faktanya memang wanita itu mama dari anaknya? Apakah aku egois? Bahkan, aku belum menjadi istrinya. Mengapa rasanya bisa seperih ini? Apakah aku cemburu? “Sambil minum, yuk,” ajak Rizal. Dia mendahului langkahku. Bahkan dia tak bertanya apakah aku sedang mencari sesuatu? Ah, mengapa aku jadi seperti ini? Apakah aku penting bagi dia? Mengapa aku mengharapkan dia bertanya sesuatu padaku? Bisa jadi, memang lelaki seperti itu. Rizal memasuki sebuah cafe yang tak jauh dari pusat busana tempat kami tadi bertemu. “Dia mantan istrimu?” tanyaku saat kulihat wanita cantik itu lewat menggandeng Sasti. Mereka kembali ke tempat busana tadi. Sepertinya wanita itu belum puas mencari baju. “Iya. Tepatnya, mamanya Sasti,” ujarnya penuh penekanan. Sepertinya dia lebih suka menyebutnya sebagai mama Sasti dibanding mantan istrinya. “Cantik,” tukasku. Aku memang harus jujur mengakuinya jika dia cantik. Rizal merespon ucapanku dengan tersenyum simpul. Aku tak mengerti maksudnya. Apa dia merasa bangga karena aku memuji mantannya. Atau justru menyembunyikan sesuatu yang mungkin belum saatnya diceritakan. Aku tak mengerti. Kadang lelaki sukar dipahami. Aku punya adik lelaki. Menurutku, Hasan memang susah dipahami. Bicaranya irit. Yang penting-penting saja. Ia tidak suka membicarakan orang lain. Dia hanya suka membicarakan hal-hal yang berfaedah. Sampai detik ini pun aku tak terlalu tahu, bahan pembicaraan apa yang pantas untuk dibicarakan dengan makhluk bernama lelaki. Selama ini, baik jaman kuliah maupun saat aku sudah bekerja, aku hanya bisa bicara dengan lelaki untuk masalah yang terbatas masalah tugas kuliah, atau masalah pekerjaan. Hampir aku tak pernah membahas hal privasi. Mengenai pesan Nadia? Tentu aku bingung harus berkata apa. Apalagi, jika Rizal tak memancing membuka pembicaaan. “Kamu yakin tak keberatan menikah denganku?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. “Aku sudah melamarmu. Buat apa aku meragukan lagi. Bagiku, tak ada kamus buat mundur jika sudah melangkah ke depan. Setiap langkah, sudah kupertimbangkan dengan matang,” tukasnya mantap. “Aku takut kamu kecewa. Aku tak secantik mantanmu. Atau, orang yang pernah kamu taksir.” Aku ragu untuk menyebut nama Dewi. Aku rasa tak elok membuka masa lalu. Tapi, aku harus mengatakannya, seperti pesan Nadia. Semua ganjalan harus diungkapkan sebelum mengambil keputusan lebih lanjut. Aku rasa, inilah waktunya, sebelum kami melanjutkan jenjang lebih serius. “Kamu juga cantik. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Cantik yang dimiliki orang lain, kalau belum jodohku, aku bisa apa?” jawabnya datar. Awalnya aku seperti melayang dengan ucapannya, kalau aku cantik. Belakangan, dengan penjelasannya, dia seolah menjatuhkanku ke lembah terdalam.Ah, begitulah Rizal. Dari dulu, ucapannya masih saja pedas padaku, tak berubah. Padahal Bulik dan Paklik bilang kalau Rizal pemuda yang baik. Aku menghela nafas. Apa itu memang kharakternya, dan aku harus berdamai, atau bagaimana? Aku masih bingung.“Rizal, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku memberanikan diri. Aku masih penasaran dengan berpisahnya dia dengan istrinya. Aku takut jika ternyata berpisahnya disebabkan oleh sesuatu yang bisa saja menimpa terhadapku. Jadi, mumpung tidak ada Sasti, sebaiknya aku tanyakan saja.Rizal mengangguk, “Silahkan!” “Mengapa kalian berpisah?” Kuberanikan diri untuk bertanya, setelah sesaat menimbang. Ini kesempatan. Bisa jadi, esok aku tak ada waktu bertanya. Rizal terdiam sejenak. Dia menarik nafas panjang. Sepertinya cukup berat untuk menceritakannya padaku. Aku menunggu jawaban darinya. Bagiku, jika dia tak mau menjawab pun, sudah cukup jawaban bagiku untuk tidak melanjutkan proses ini. Meskipun dia sudah melamarku, toh aku masih punya waktu untuk menolaknya. Aku sudah berumur, tapi bukan artinya posisiku lemah, yang harus menerima siapa saja yang akan melamarku. Aku tetap punya hak untuk memilih dan menolak. “Dia sudah tak mencintaiku. Dia mencintai orang lain. Jadi, pernikahan kami tak bisa dipertahankan lagi.” ujar Rizal datar. Ada luka di sudut mata yang coba dia tutupi. Ya sudahlah. Berarti masalahnya orang ketiga. Aku menyimpulkan."Maksud kamu, dia...." Aku tak sampai hati menyebutkan. Kalau hanya tidak mencintai, bukannya pernikahan tak melulu atas nama cinta? Tak cukupkah dengan tanggungjawab jika cinta itu tlah tiada?Tapi, Rizal mengatakan, dia mencintai orang lain? Artinya....“Lalu, Sasti? Biasanya bukannya anak dibawah umur akan bersama ibunya?” Aku mencoba mengkorek dengan cara lain. Bukan aku tak mau mengasuh Sasti jika aku menikah dengan Rizal. Tapi, ini seperti hal yang aneh bagiku.Bapak-bapak itu, maksudku Rizal. Dia harus kemana-mana menggandeng gadis mungil itu. Meskipun menurutku, dia semakin tampak macho dan menawan dengan membawa Sasti kemana-mana. Apalagi dengan menenteng tas anak perempuan di tangannya.Kadang aku ingin tertawa geli melihatnya, tapi kutahan. Khawatir dia tersinggung. “Tak bisa kuceritakan. Tapi, aku memang memenangkan hak asuh anak. Bukankah itu menunjukkan aku bapak yang baik?” selorohnya. Meski aku tak seluruhnya menangkap maksudnya, ada senyum terbit di bibirnya, membuat hatiku kembali bergetar.Tatapan matanya yang bertumbukan dengan tatapanku, sontak mengoyak hatiku.Getar cinta itu masih sama. Sama dengan sebelas tahun lalu. Ah, sudah begitu lama ternyata. Ya, memang lama. Teman-teman sebayaku hampir semua sudah berkeluarga. Mereka telah memiliki anak-anak yang lucu. Bahkan, sebagian dari mereka, anaknya sudah bersekolah. Sedang aku? Masih memikirkan diriku sendiri. Bahkan kini, masih merasakan getar cinta pertama. Cinta yang datang terlambat. Tak lama, nada panggil ke ponsel Rizal membuat kami menatap pada titik yang sama. Sebuah nama tertera di sana.Rizal mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Lalu ia mengusap dan mengangkat panggilan itu. “Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Rizal menitahkan pada si penelpon.Aku bisa menebak, pasti itu dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku sambil menyesap jus jeruk di hadapanku. Tak enak kalau keberadaanku menganggu acara mereka.“Aku kenalkan kamu pada Desti dulu.” Rizal mencoba menahanku. BERSAMBUNG...“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru
Hari menjelang senja, Aku kembali ke kosan. Kosanku berada di gang sempit di belakang kantor. Kira-kira 700 meter dari kantor. Tapi, jalanannya hanya bisa dilalui motor atau bajaj. Kalau pun bisa dilalui mobil, tapi hanya satu arah dan tidak bisa bersimpangan. Biasanya, bagi yang bertamu menggunakan mobil harus parkir jauh dari kosan. Parkir di pinggir jalan sebelum masuk gang. Kosku itu berada di lantai dua. Lantai satu dihuni oleh pemilik rumah. Kamarku berada tepat di ujung paling depan. Kalau membuka jendela, maka aku bisa mengintip orang yang lalu lalang di jalanan depan kosan. Termasuk juga melihat penjual nasi uduk yang kadang buka dasaran di pagi dan sore hari. Aku sendiri penghuni paling baru di kosan. Semua rata-rata sudah menghuni kosan lebih dari setahun. Kabarnya, penghuni yang paling sering bergantian ya penghuni kamarku ini. Entah mengapa, meski aku pikir kamarku paling nyaman, karena ventilasi langsung masuk udara luar, buktinya tak ada yang mau pindah ke sini. Mungk
“Sepupuku. Dia yang ngasuh Sasti,” jelas Rizal. “Oh.” Aku sedikit lega. Ternyata anak Rizal diasuh oleh orang yang masih punya hubungan kerabat. Pantas saja, dia seperti tak ada beban. "Belum makan, kan?" Rizal kembali mengingatkan kalau tujuannya mau ngajak makan aku.Aku sedikit ragu. Belum satu jam aku makan ayam bakar madu dengan Desti. Meski sebenarnya aku belum kenyang. Ayam itu lebih banyak nyangkut di tenggorokan karena mendengarkan ucapan Desti. Kini, Rizal menawarkan makan bersamanya. Hati siapa tak girang. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu kesempatan itu. Bagaimana bisa aku melewatkannya. "Kok, malah bengong." Tanpa kusadari, aku menatap Rizal yang sedang menahan senyum. Kentara sekali kalau dia sedang menertawaiku. Namun, aku bisa apa. Aku hanya bisa menjadi ABG yang sedang berbunga-bunga dilanda asmara. "Oh, iya. Ayuk." "Makan dimana?" Rizal menaikkan satu alisnya. Pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu selera Rizal. Aku pun tak tahu tempat makan yang enak sekita
“Sudah aku bilang, buang kartu nama Desti!”Padahal ini nggak ada sangkut pautnya dengan kartunama Desti, karena Desti memanggilku dan kami bertemu usai pertemuan siang tadi. Terlihat jelas wajah Rizal yang memerah, meski kami hanya tersorot lampu jalan. Langkahku pun ikut terhenti. Aku tak berani menatapnya. memoriku seolah berputar kembali. "Ck. Sudah lah. Ayo kita makan." Rizal terlihat berusaha menguasai diri. Mungkin dia takut kalau-kalau aku trauma melihatnya seperti itu. Atau, dia ingin membuktikan ucapan Nadia, kalau dia sudah berubah dan minta maaf? "Kamu nggak papa, makan di pinggir jalan?" tanyaku saat dia mengajakku sedikit berjalan untuk membaca menu-menu di tenda. Aku yakin, dia tak kunjung memilih, mungkin karena belum sreg dengan menunya, atau lokasinya. "Kamu ngomong apa, sih. Aku bisa makan dimana saja, Ratih." Ingin aku mengatakan, kalau mungkin tidak higienis, mana tahu, istrinya selama ini mengaturnya dan menerapkan pola hidup sehat, lantas dia harus makan
Warung tenda tempat kami makan sudah lebih ramai dibanding tadi saat kami datang. Meskipun tempat ini hanya menyajikan penyetan, namun sangat berarti buat penduduk urban sepertiku yang tempat tinggalnya tidak dilengkapi dapur. “Sasti butuh seorang ibu. Dan ibu kandung jauh lebih baik dari ibu sambung,” sambungku karena Rizal tak juga mengeluarkan penjelasannya. Ini terdengar sok bijak. Namun, aku sering mendengar penjelasan serupa, meski aku belum berpengalaman.Aku menatap Rizal yang sibuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia lapar, karena sama sekali tak memberi jeda untuk berbicara. Atau, dia perlu energi untuk memberi penjelasan padaku?“Sebenarnya tak semuanya harus kuceritakan. Tapi, baiklah.” Rizal menyudahi makan pecel ayamnya. Rizal menumpuk piring nasi dan piring bekas pecelnya menjadi satu, sehingga meja di hadapannya terlihat bersih. Sementara, aku masih berusaha melanjutkan makananku yang belum habis. “Sebenarnya aku sudah melupakan semuanya. Dia adalah mamanya Sasti.
Ibu bagi Sasti? Sebenarnya dia mencari istri, apa pengasuh anak? Aku nggak tahu, kenapa aku yang dipilih? Aku nggak punya pengalaman dalam mengasuh anak. Kalau benar dia menginginkan ibu bagi putrinya, harusnya memilih yang berpengalaman. Bukan sepertiku, bahkan cinta dunia anak-anak pun tidak. Aku masuk ke dalam kosan. "Cie, siapa tuh, Tih?" Mbak Femy, salah satu senior di kosan yang tadi lewat saat aku bersama Rizal, kini menyembulkan kepala di pintu kamarku yang memang belum tertutup. "Kayaknya kamar ini beneran mengundang jodoh, ya?" Mbak Femy masuk ke kamar. Dia langsung duduk di sisi ranjang. "Semua yang menempati kamar ini, akan keluar saat dia nikah. Dan hampir tiap tahun itu," ucap Mbak Femy. Aku memang penghuni baru di kosan ini. Sebelumnya, aku tinggal beberapa gang dari sini. Sayangnya, kosan yang sudah membuatku nyaman itu harus direnovasi, sehingga aku pindah ke tempat ini. "Alhamdulillah. Rejeki berarti ya, aku pindah ke sini. Kalau gitu, Mbak Femy pindah s
"Mbak, undangannya sudah aku kirim kemarin ya. Nanti kurir langsung antar ke kantor Mbak Ratih." Pesan Dini masuk ke ponselku Dini memang adik yang dapat diandalkan. Saat aku malas-malasan mengurus semuanya, tangannya terbuka melakukan semua untukku. Bahkan, dia juga tak minta uang seperser pun untuk ganti biayanya. "Gampang lah, Mbak, itungannya. Kan pesennya juga sekalian di teman aku. Jadi harga juga bisa miring," ucap Dini saat aku minta slip tagihannya, mau aku transfer sejumlah uang padanya. "Mas Rizal udah transfer aku. Ntar kalau kurang, baru aku bilang sama kamu." "Apa?" Aku melotot membaca pesan dari Dini. Bisa-bisanya Dini dan Rizal berkomunikasi di belakangku? Apa aku cemburu? Sebenarnya bukan ke cemburu, tapi, semacam merasa dilangkahi saja. Tapi, ini semua juga salahku. Aku yang cuek dan tak mau tahu urusan pernikahan ini. Jadi, mungkin Dini yang ambil inisiatif. "Tenang Mbak. Calon Kakak Iparku baik kok. Nggak neko-neko. Semua diserahin padaku, asal tahu bere