Share

BAB 6

“Ratih?!” 

Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. 

“Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.

Pria itu tersenyum simpul. 

Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. 

Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. 

Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. 

Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. 

“Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. 

Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. 

“Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?” Aku mendahului bertanya sebelum ia mengajukan pertanyaan padaku. 

“Nganter Sasti belanja sama mamanya,” sahutnya datar. 

Aku menarik nafas dalam-dalam. Saat dia menyebut kata “mama” dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang menindih dalam dadaku. 

Apakah aku tak ikhlas jika dia menyebut mama untuk anaknya pada wanita lain, meski faktanya memang wanita itu mama dari anaknya? Apakah aku egois? Bahkan, aku belum menjadi istrinya. Mengapa rasanya bisa seperih ini? Apakah aku cemburu? 

“Sambil minum, yuk,” ajak Rizal. 

Dia mendahului langkahku. Bahkan dia tak bertanya apakah aku sedang mencari sesuatu? Ah, mengapa aku jadi seperti ini? Apakah aku penting bagi dia? Mengapa aku mengharapkan dia bertanya sesuatu padaku? Bisa jadi, memang lelaki seperti itu. 

Rizal memasuki sebuah cafe yang tak jauh dari pusat busana tempat kami tadi bertemu. 

“Dia mantan istrimu?” tanyaku saat kulihat wanita cantik itu lewat menggandeng Sasti. 

Mereka kembali ke tempat busana tadi. Sepertinya wanita itu belum puas mencari baju. 

“Iya. Tepatnya, mamanya Sasti,” ujarnya penuh penekanan. Sepertinya dia lebih suka menyebutnya sebagai mama Sasti dibanding mantan istrinya. 

“Cantik,” tukasku. 

Aku memang harus jujur mengakuinya jika dia cantik. 

Rizal merespon ucapanku dengan tersenyum simpul. 

Aku tak mengerti maksudnya. Apa dia merasa bangga karena aku memuji mantannya. Atau justru menyembunyikan sesuatu yang mungkin belum saatnya diceritakan. Aku tak mengerti. Kadang lelaki sukar dipahami. 

Aku punya adik lelaki. Menurutku, Hasan memang susah dipahami. Bicaranya irit. Yang penting-penting saja. Ia tidak suka membicarakan orang lain. Dia hanya suka membicarakan hal-hal yang berfaedah. 

Sampai detik ini pun aku tak terlalu tahu, bahan pembicaraan apa yang pantas untuk dibicarakan dengan makhluk bernama lelaki. 

Selama ini, baik jaman kuliah maupun saat aku sudah bekerja, aku hanya bisa bicara dengan lelaki untuk masalah yang terbatas masalah tugas kuliah, atau masalah pekerjaan. Hampir aku tak pernah membahas hal privasi. 

Mengenai pesan Nadia? Tentu aku bingung harus berkata apa. Apalagi, jika Rizal tak memancing membuka pembicaaan. 

“Kamu yakin tak keberatan menikah denganku?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. 

“Aku sudah melamarmu. Buat apa aku meragukan lagi. Bagiku, tak ada kamus buat mundur jika sudah melangkah ke depan. Setiap langkah, sudah kupertimbangkan dengan matang,” tukasnya mantap. 

“Aku takut kamu kecewa. Aku tak secantik mantanmu. Atau, orang yang pernah kamu taksir.” Aku ragu untuk menyebut nama Dewi. Aku rasa tak elok membuka masa lalu. Tapi, aku harus mengatakannya, seperti pesan Nadia. 

Semua ganjalan harus diungkapkan sebelum mengambil keputusan lebih lanjut. Aku rasa, inilah waktunya, sebelum kami melanjutkan jenjang lebih serius. 

“Kamu juga cantik. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Cantik yang dimiliki orang lain, kalau belum jodohku, aku bisa apa?” jawabnya datar. 

Awalnya aku seperti melayang dengan ucapannya, kalau aku cantik. Belakangan, dengan penjelasannya, dia seolah menjatuhkanku ke lembah terdalam.

Ah, begitulah Rizal. Dari dulu, ucapannya masih saja pedas padaku, tak berubah. Padahal Bulik dan Paklik bilang kalau Rizal pemuda yang baik. 

Aku menghela nafas. Apa itu memang kharakternya, dan aku harus berdamai, atau bagaimana? Aku masih bingung.

“Rizal, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku memberanikan diri. 

Aku masih penasaran dengan berpisahnya dia dengan istrinya. Aku takut jika ternyata berpisahnya disebabkan oleh sesuatu yang bisa saja menimpa terhadapku. Jadi, mumpung tidak ada Sasti, sebaiknya aku tanyakan saja.

Rizal mengangguk, “Silahkan!” 

“Mengapa kalian berpisah?” Kuberanikan diri untuk bertanya, setelah sesaat menimbang. Ini kesempatan. Bisa jadi, esok aku tak ada waktu bertanya. 

Rizal terdiam sejenak. Dia menarik nafas panjang. Sepertinya cukup berat untuk menceritakannya padaku. 

Aku menunggu jawaban darinya. Bagiku, jika dia tak mau menjawab pun, sudah cukup jawaban bagiku untuk tidak melanjutkan proses ini. Meskipun dia sudah melamarku, toh aku masih punya waktu untuk menolaknya. 

Aku sudah berumur, tapi bukan artinya posisiku lemah, yang harus menerima siapa saja yang akan melamarku. Aku tetap punya hak untuk memilih dan menolak. 

“Dia sudah tak mencintaiku. Dia mencintai orang lain. Jadi, pernikahan kami tak bisa dipertahankan lagi.” ujar Rizal datar. Ada luka di sudut mata yang coba dia tutupi. Ya sudahlah. Berarti masalahnya orang ketiga. Aku menyimpulkan.

"Maksud kamu, dia...." Aku tak sampai hati menyebutkan. Kalau hanya tidak mencintai, bukannya pernikahan tak melulu atas nama cinta? Tak cukupkah dengan tanggungjawab jika cinta itu tlah tiada?

Tapi, Rizal mengatakan, dia mencintai orang lain? Artinya....

“Lalu, Sasti? Biasanya bukannya anak dibawah umur akan bersama ibunya?” Aku mencoba mengkorek dengan cara lain. 

Bukan aku tak mau mengasuh Sasti jika aku menikah dengan Rizal. Tapi, ini seperti hal yang aneh bagiku.

Bapak-bapak itu, maksudku Rizal. Dia harus kemana-mana menggandeng gadis mungil itu. Meskipun menurutku, dia semakin tampak macho dan menawan dengan membawa Sasti kemana-mana. Apalagi dengan menenteng tas anak perempuan di tangannya.

Kadang aku ingin tertawa geli melihatnya, tapi kutahan. Khawatir dia tersinggung. 

“Tak bisa kuceritakan. Tapi, aku memang memenangkan hak asuh anak. Bukankah itu menunjukkan aku bapak yang baik?” selorohnya. 

Meski aku tak seluruhnya menangkap maksudnya, ada senyum terbit di bibirnya, membuat hatiku kembali bergetar.

Tatapan matanya yang bertumbukan dengan tatapanku, sontak mengoyak hatiku.

Getar cinta itu masih sama. Sama dengan sebelas tahun lalu. Ah, sudah begitu lama ternyata. 

Ya, memang lama. Teman-teman sebayaku hampir semua sudah berkeluarga. Mereka telah memiliki anak-anak yang lucu. Bahkan, sebagian dari mereka, anaknya sudah bersekolah. Sedang aku? Masih memikirkan diriku sendiri. Bahkan kini, masih merasakan getar cinta pertama. Cinta yang datang terlambat. 

Tak lama, nada panggil ke ponsel Rizal membuat kami menatap pada titik yang sama. Sebuah nama tertera di sana.

Rizal mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Lalu ia mengusap dan mengangkat panggilan itu. 

“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Rizal menitahkan pada si penelpon.

Aku bisa menebak, pasti itu dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? 

“Mungkin, aku duluan?” ujarku sambil menyesap jus jeruk di hadapanku. Tak enak kalau keberadaanku menganggu acara mereka.

“Aku kenalkan kamu pada Desti dulu.” Rizal mencoba menahanku. 

BERSAMBUNG...

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Sepertinya Rizal tak menyukai sikap mantan istrinya....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status