Bagian 1
Lelaki BengisLelaki berpakaian serba hitam bernama Ivan duduk di kursi agungnya. Ia membaca peta, di sana ada beberapa wilayah yang telah dilingkar dengan spidol merah. Pertanda wilayah itu harus segera ia bumi hanguskan umat islamnya. Salah satunya merupakan wilayah Hazakh, berbatasan langsung dengan negaranya, Balrus.“Sedikit lagi, setelah ini pangkatku akan naik dengan cepat. Aku akan mendapatkan banyak uang dan tunjangan berkali-kali lipat.” Ivan menyentuh dagunya yang licin. Tak ia izinkan beberapa helai janggut tumbuh di sana, sebab hal demikian terlarang di negaranya.Ponselnya berdering ketika ia tengah fokus pada strategi di depan laptopnya. Ia melirik sesaat, panggilan yang berasal dari istrinya tercinta. Lelaki itu mengabaikannya, ia tak punya waktu hanya sekedar basa-basi untuk menjawab pertanyaan yang sama setiap hari.Tak menyerah, ponselnya terus berkedip. Ivan lantas mereject panggilan dan hendak mematikan ponselnya. Namun, pesan masuk dari Sintia harus ia baca walau sesaat. [Jangan lupa makan. Jangan terlalu larut dalam pekerjaan. Ingat kesehatanmu nomor 1. Aku dan dua anak lelakimu masih memerlukanmu.]Ivan matikan alat komunikasinya tanpa menjawab apa pun. Ia melihat kalender, tanggal hari itu ia lingkar dengan spidol. Hari di mana pernikahannya telah menginjak angka ke 8. Seharusnya ia dan istrinya pergi makan malam di tepi pantai dengan romantis, seperti tahun-tahun sebelumnya.“Maaf, Sayang. Tugas ini juga penting untuk kenaikan jabatanku. Setelah ini kita tak perlu pusing lagi memikirkan cicilan rumah dan mobil setiap bulannya,” gumam Ivan sembari memandang layar laptopnya.Lelaki itu berdiri, mengambil alat komunikasi khusus dari kesatuannya. Pergi menuju barak dan memerintahkan seluruh bawahannya berkumpul di lapangan. Ia harus menuntaskan target sesegera mungkin agar terhindar dari tekanan atasannya.Ivan memberikan pidato singkat di depan bawahannya. Dengan penuh pengorbanan ia dapatkan pangkat dan jabatan tinggi itu. Telah banyak darah umat muslim yang tumpah di tangannya. Telah banyak pula wilayah yang ia berhasil taklukkan. Lelaki itu pun telah bersumpah, hidup dan matinya hanya untuk kejayaan negaranya.Usai memberi pidato singkat dan mengobarkan semangat juang bawahan yang berjumlah ratusan. Ia diberi hormat oleh semua anak muda yang mengagumi, tak hanya lelaki, beberapa tentara wanita pun kagum bahkan menaruh hati padanya. Tak sedikit yang rela menjatuhkan harga diri dan kehormatan demi mendapatkan cinta Ivan. Namun, lelaki itu terlampau dingin, ia walau kejam hanya mencintai Sintia seorang. Tak mudah membuat Ivan jatuh cinta, hingga datang seorang wanita cantik dan berhati penyayang yang berhasil menaklukkannya.Ivan menaiki helikopter Ka-52 Alligator, sedangkan ratusan anak buahnya menaiki truk dan tank dengan berbagai macam senjata di dalamnya. Lelaki dengan tinggi lebih dari 180 cm itu membawa senapan laras pendek dan juga laras panjang sebagai perlengkapannya hari itu.Beberapa saat memutar di atas langit, Ivan memperhatikan sasarannya dari atas angkasa, terlihat wilayah perbatasan di jaga oleh beberapa orang lelaki dengan senjata yang kalah jauh dari milik kesatuannya.“Ekspektasi mereka terlalu tinggi. Mereka pikir dengan senapan murahan itu bisa menghalau penjajahan kita. Mimpi!” cemooh Ivan dari atas helikopter. Beberapa bawahannya hanya tersenyum mendengar perkataannya. Angkuh telah menjadi sahabat sejati mereka. Kemenangan yang berlangsung terus-menerus membuat semua tentara Balrus lupa diri.“Aku akan mencari gadis muda yang paling cantik di salah satu wilayah, untuk menghangatkan malam yang sebentar lagi turun salju,” ujar salah satu bawahan Ivan dengan sedikit keras. Udara di dekat helikopter berlalu dengan kencang.“Kau harusnya mencari salah satu wanita lain, Bos. Bukankan terasa membosankan jika hanya terikat dengan satu wanita saja seumur hidupmu. Apa Bos tak penasaran dengan rasa perempuan lain?” Lelaki yang duduk disebelah Ivan mulai memprovokasinya.“Jangan memulai. Hari ini seharusnya kami makan malam bersama. Ulang tahun pernikahan.” Ivan menunjukkan cincin kawin di jari manisnya. Ikatan sakral yang ia jalin penuh dengan janji suci.“Sekali saja, apa salahnya. Nanti aku carikan yang paling cantik untukmu.” Ivan tak lagi menghiraukan perkataan pria dengan pangkat lebih rendah di sampingnya. Ia terus mengingat pesan Sintia agar tak melirik wanita lain, sebab hati wanita itu rapuh dan tak mampu menanggung pengkhianatan.Ivan berpegangan pada besi helikopter. Ia melirik ke bawah, mereka akan mendarat di dekat perbatasan. Menunggu beberapa truk dan tank datang dan membantunya menaklukkan wilayah yang didominasi bukit dan sungai deras.“Wilayah ini benar-benar subur. Kita bisa membuang mayat dengan mudah, tanpa repot-repot menguburnya.” Bawahan Ivan melihat sungai yang aliran dan bebatuannya sama kerasnya.Namun, saat akan mendarat helikopternya mendapat tembakan RPG 7 dari bawah. Pilot melakukan manuver, ia sempat menghindar dari ledakan dengan skala kerusakan yang cukup besar meski menggunakan senjata murah.“Saatnya bermain api.” Ivan menyiagakan senapan khusunya dari atas helikopter. Ia menggunakan tutup telinga agar fokus membidik lawan. Lelaki itu melihat beberapa pejuang, ia memerintahkan pilot untuk sedikit turun.“Tapi wilayahnya dekat bukit, Bos.”“Lakukan saja. Kalian akan tahu kehebatanku seperti apa nanti.”Dengan kecepatan yang telah diatur, sang pilot berbelok dan sedikit menurun di wilayah perbukitan. Jelas saja kedatangan mereka disambut dengan rentetan peluru dari para penjaga yang berusaha mempertahankan wilayah. Namun, bukan Ivan namanya jika ia tak bisa mempertahankan julukan singa bertangan besi.Lelaki itu membidik sasaran, rekan di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Ivan melihat seorang lelaki dengan identitas muslim di kepalanya, membidikkan RPG 7 ke arahnya. Dengan penuh perhitungan Ivan melesatkan pelurunya, hingga pada saat misil hendak ditembakkan, peluru lelaki itu telah terlebih dahulu mengenai moncong senjata lawan. Terang saja RPG 7 itu meledak dan langsung menewaskan beberapa mujahidin di perbatasan yang berusaha mempertahankan wilayahnya.“Yes!” pekik pilot ketika melihat komandannya berhasil.Belum cukup sampai di sana, lelaki dengan kepala plontos itu terus menembakkan senapannya. Tembakannya akurat, beberapa tentara ribath yang mencoba melawan terkena di bagian vital dan langsung tewas di tempat.Dari atas helikopternya, Ivan melihat kedatangan truk dan tank berjumlah puluhan, ia menyeringai. Membayangkan jerit kesakitan laki-laki dan pekik keperihan wanita yang kehilangan suami dan putra-putra mereka. Belum lagi anak-anak kecil yang akan mereka culik dan masukkan dalam camp konsentrasi dan dicuci otaknya untuk terus membenci Islam.Semua pasukan Ivan yang datang langsung mengambil posisi siap tempur. Beberapa sniper yang sebagiannya perempuan, menaiki pepohonan, lalu berjaga-jaga demi menghalau musuh yang mengendap-endap datang. Beberapa lelaki mulai mengisi ulang senjata di dalam tank. Di siang hari yang terik usai salat Jum’at wilayah Hazakh mendapatkan gempuran luar biasa. Beberapa mujahidin memang telah siaga, meski demikian mereka tetap kalah jumlah. Namun, mereka tetap menantikan kematian dengan senyuman, sebab mereka mati dalam jalan peperangan.Peluru dengan daya lesat dan ledakan dahsyat dilepaskan dari sebuah tank. Mereka menyasar markas di perbatasan. Tempat segala senjata dan orang-orang yang bertaruh nyawa menjalankan semua rencananya. Peluru itu berubah menjadi kobaran api, tak ada jerit yang terdengar. Siapa pun yang melihat dengan jelas bisa menilai orang-orang yang ada di dalam sana telah mati hangus terbakar.Bersambung …Nama negara dan organisasi apa pun di dalamnya, tidak menyinggung siapa pun. Novel ini konfliknya lebih berat daripada novel-novel sebelumnya, so please jangan baper sama otornya. Tetap tenang and stay readGadis berambut keriting bernama Gulaisha Amira itu mengemas perlengkapan kesehatannya. Ia baru saja memberikan obat pada penduduk di desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Gu, ia kerap dipanggil demikian. Gadis itu ramah dan murah senyum dengan lesung pipinya. Tak sedikit pula lelaki yang mudah jatuh cinta padanya. Namun, ia pun termasuk gadis yang pemilih. Tak ingin menerima lamaran, sebab ia sedang melanjutkan jenjang pendidikan kedokterannya yang lebih tinggi.“Gu, cepat pergi dari sini wilayah perbatasan sedang digempur habis-habisan. Rumah kita pasti jadi sasaran?” Fani sahabat Gu datang tergesa-gesa. Ia baru saja mendapatkan laporan langsung dari saudaranya yang tinggal di dekat ribath. “Apa?” Oh, tidak keluargaku.” Gegas Gu berlari, kerudung ala kadar terlepas dan rambutnya terurai mengikuti arah angin. Gadis itu bersama Fani memasuki mobil putih fasilitas dari tempat mereka kuliah. “Apa saja berita yang kau dapat?” tanya Gu ketika mobil berjalan di antara rimbunan pepohon
Rambut Gu ditarik paksa oleh Ivan ke dalam kamar miliknya. Beberapa tentara wanita memandang atasannya dengan tatapan sarat makna. Mereka ingin berada di posisi Gu saat itu. Merupakan kehormatan jika bisa berada dalam situasi yang begitu mereka impikan. Namun, lelaki tersebut lebih memilih gadis muslim sebagai mangsanya. Bayangan wajah Sintia terlintas beberapa kali di benak Ivan, lalu lelaki berkepala plontos itu tepis secepat mungkin. Baginya tak ada masalah mencoba wanita lain seperti yang diutarakan oleh bawahannya di atas helikopter. Ia berhak sebagai pemimpin. Dan sudah biasa jika wanita selalu menjadi pelampiasan. Tentara bawahannya sudah sering melakukan itu. Lelaki berwajah bengis itu saja yang terlalu sayang dan menuruti perkataan istrinya. Ivan mengunci pintu kamar. Ia melempar Gu ke atas ranjang. Kamar di mana seumur hidup gadis itu jadikan tempat bernaung kini menjadi saksi bisu terenggut kehormatannya. Namun, gadis berambut keriting itu masih mencoba menyelamatkan diri
Gu yang masih lemah diseret oleh Ivan dengan kasar, tubuhnya dililit selimut. Gadis itu dipecundangi habis-habisan usai kehormatannya direnggut paksa berkali-kali. Namun, ia kini tengah tak berdaya. Tak ada pula yang datang menolong. Gadis itu pun bertanya di dalam hati, ke mana Rabb-nya? Mengapa tak menolong hamban yang sedang ditimpa kezaliman? Ivan membawanya masuk Gu ke helikopter. Ia dipertontonkan bagaimana wilayah Hazakh telah hampir separuhnya dikuasai. Terbukti dari berkibarnya bendera negara tempat lelaki bengis itu mengabdi. Dari atas helikopter Gu melihat bagaimana sebagian wilayahnya dibumi hanguskan. Tak sedikit pula ia lihat eksekusi mati bagi yang berani memberontak. Hatinya hancur dan terluka entah untuk yang keberapa kalinya. Ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya demi meluapkan perasaannya. “Lemah!” hardik Ivan. “Bedebah. Penghuni neraka jahanam!” Gadis itu berteriak ke wajah Ivan. “Turunkan helikopter ke dekat sungai deras. Biar dia rasakan dinginnya air sung
Ivan turun dari helikopternya, tergesa-gesa ia berlari sembari menabrak kerumunan lainnya. Rumahnya telah hangus seperti yang digambarkan oleh bawahannya. Letak kediaman lelaki itu yang agak masuk ke dalam dan diantara dereten pohon pinus membuat orang-orang terlambat memanggil pemadam kebaran dan menolong. Ivan memperhatikan tiga jenazah di hadapannya, semuanya tertutup selimut putih. Ia buka perlahan-lahan sembari menguatkan hatinya. Sintia dan dua anaknya telah hangus di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang ia bangun dengan susah payah. Lelaki itu kemudian pergi, tak kuat menahan pedih hati kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Semua khayalannya tentang hidup mewah bergelimangan harta bersama keluarganya, musnah sudah. Ivan tak lagi punya tempat untuk pulang dan melepaskan lelah. *** Lelaki berwajah bengis itu memperhatikan sisa rumahnya. Ia berjalan ke arah rumah yang diberi garis batas keamanan. Foto-foto keluarganya hangus. Semua barang mahal yang ia beli pun lenyap tak bers
Mata abu-abu milik Ivan nyaris sama dengan mata milik anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Lelaki bernama Hamis itu mencari keberadaan putranya yang dibawa tentara musuh, saat wilayahnya diserang ia dan istrinya berhasil menyelamatkan diri sedangkan sang putra semata wayang berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam mobil. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki mata berwarna abu-abu, hanya 1% dari total penduduk dunia. Namun, Hamis tak mau berharap banyak, sebab kebengisan sangat tergambar jelas di mata Ivan. “Akan kami apakan anak-anak itu? Pedulimu apa, Pak Tua? Lebih baik kau urus saja hidupmu sebentar lagi. Eksekusi matimu sudah ditetapkan sejak seminggu lalu. Aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Lalu kau temui bidadari-bidadari surga yang akan menyambutmu dengan tubuh gemulai. Dasar pemuja nafsu!” ketus Ivan sambil menenggelamkan kepalanya. Ia masih berusaha sekuat tenaga menepis bayangan Gu yang terus menuding dirinya. Lelaki berkepala plontos itu sudah kehilanga
Ivan melirik, ia bisa melihat dengan kedua mata abu-abu itu, lelaki tua di sebelahnya sedang melantunkan ayat suci. Namun, tidak sedikit pun bibirnya bergerak untuk meminta Hamis berdiri. Ivan teramat lelah, rasa kehilangan dalam dirinya telah menciptakan duka luar biasa. “Apa ini yang dialami oleh mereka ketika aku merenggut kehidupan yang tengah mereka jalani?” gumam Ivan. Ia meringkuk lagi, membiarkan Hamis terus mengaji hingga lelaki bengis itu kembali terlelap. Kali ini ia benar-benar berharap agar Gu tak lagi mengganggu tidurnya. Dihantui terus-menerus itu bisa membuatnya nyaris gila. Hamis berhenti mengaji, ia benar-benar tak bisa menampik perasaan ketika gaya tidur Ivan mirip dengan Sarah—istri yang telah lama ia tinggalkan. Hamis sendiri tak tahu apa istrinya masih setia menunggu. Namun, jika wanita yang ia sayangi itu memutuskan menyerah lalu memilih menikah lagi pun, ia tak akan marah. Wajar, tidak hanya lelaki saja yang butuh pendamping. Perempuan pun demikian, butuh din
Ivan tinggal di kantornya selama belum jelas akan ia kemanakan dirinya sendiri. Hanya beberapa helai baju yang ia beli, tak banyak, sebab biasanya Sintia yang akan mengurus semua kebutuhannya. Mulai detik ini ia harus membiasakan diri untuk mempersiapakan semuanya sendirian. Entah sampai kapan. Ia menyesal, bukan karena banyaknya darah umat muslim tumpah di tangannya. Namun, karena mengkhianati kesetiaan sang istri padanya, hingga berakibat pada tewas seluruh anggota keluarga Ivan bahkan yang masih di dalam perut. Sesekali lelaki berkepala plontos itu mengunjungi penjara, ia sedang menghitung di mana tak sampai lima hari kemudian Hamis akan dieksekusi mati. Setiap kali Ivan mengunjungi lelaki tua itu, amarahnya mereda. Ia tak ingin memperlakuan Hamis dengan buruk, tapi tak juga terlalu baik. Ia tetap saja menghardik lelaki yang sudah puluhan tahun di dalam sana setiap kali Ivan dipanggil dengan kata Nak. Anehnya, Ivan masih suka berkunjung. Bahkan sampai di tiga hari menjelang ekseku
Hari yang ditunggu tiba. Ivan sudah bersiap dengan pakaian lengkap layaknya menghadapi seorang teroris dengan persenjataan tak kalah mematikan pula. Dua hari menjelang eksekusi mati ia bagai dikejar masa lalu yang sungguh tak ingin lelaki itu ketahui. Masa di mana ia masih dipanggil dengan nama Adhilzan. “Bawa keluar lelaki tua itu!” perintah Ivan pada bawahannya. Enam orang tentara memasuki penjara itu. Membuka kunci jeruji besi. Hamis baru saja menyudahi lantunan terakhir ayat sucinya. Ia senang sebab menghadapi kematian sesegera mungkin. Dan ia bahagia juga atas hadiah kecil yang diberikan Rabb padanya. Masa-masa indah dulu ketika baru saja menikah dengan Sarah, punya anak lelaki dan hidup saling melengkapi, semua terulang lagi dalam mimpinya. Sedikitnya hati Hamis tak terlalu merasa bersalah meninggalkan istrinya selama puluhan tahun. Enam orang tentara berpakaian hitam itu membawa tubuh ringkih Hamis. Bak penjahat yang sudah tak terampuni lagi kejahataannya. Padahal lelaki itu