“Selamat nambah cucu, Ma,” bisik Arif tepat di telinga Bu Rohmah begitu ia sampai di rumah.“Beneran Sayang?” tanya Bu Rohmah setengah tak percaya.“Iya, Ma, dan kemungkinan kembar,” jawab Hani.“Ke-kembar?” Hani mengangguk. “Selamat ya, Sayang.” Bu Rohmah meraih tubuh Hani dan memeluknya erat.Tak ada hal yang paling membahagiakan bagi orang tua selain berita hadirnya seorang cucu. Membayangkan rumahnya akan ramai oleh tangis bayi akan memberikan energi tersendiri bagi seorang yang sudah hampir memasuki lanjut usia. Bu Rohmah sangat bersyukur karena dimasa tuanya ia tak pernah kesepian. Apalagi sebentar lagi anggota keluarganya yang akan bertambah dua orang pasti akan membuat rumahnya semakin hangat.“Jangan capek-capek ya, Sayang. Katanya hamil kembar itu tenaganya harus ekstra. Kuat-kuat ya, Sayang. Nenek udah enggak sabar kepengin ketemu kalian.” Bu Rohmah mengelus perut Hani yang masih rata.“Aku enggak pernah capek, Ma.” Hani menyunggingkan senyum. “Kalo perlu kamu enggak usa
“Tidakkah kau ingat saat kita berbagi kehangatan dulu.” Rahman mengelus lembut wajah wanita yang memenuhi layar ponselnya. Terhitung lebih dari seratus pose wanita itu tersimpan rapi di folder rahasia yang ia sendiri yang dapat membukanya.“Cantik.”Lagi-lagi Rahman memuji wanita cantik yang terlihat tengah tertawa renyah dengan salah satu temannya.Seperti biasa, disela kesibukan pekerjaannya, Rahman selalu menyempatkan diri bersua dengan wanita yang kini berhasil memorak-porandakan dunianya meski hanya sebatas gambar dan dunia maya. Hanya di kantor inilah Rahman bisa bebas mengekspresikan perasaannya pada wanita itu karena setelah pulang ke rumah nanti, ia harus berubah menjadi ayah sekaligus suami yang baik untuk anak dan istrinya.Rahman mengakui jika dirinya sudah setengah gila karena terus mengharapkan Hani. Meski wanita itu hanya hadir sesaat dalam hidupnya tapi telah berhasil meninggalkan bekas yang begitu dalam hingga ia tak dapat menghapusnya.[Jangan lupa makan, Sayang.]
“Hani?”“Caca?”Hani berlari kecil menghampiri salah satu teman seperjuangan dulu. Layaknya sebuah keluarga, mereka pernah bersama merasakan suka duka menjadi seorang wanita penghibur hingga Hani memutuskan untuk mengakhiri semuanya.“Kamu apa kabar? Denger-denger kamu udah nikah sama Mas Arif, ya? Selamat, ya,” ucap anita berpakaian minim itu terus memeluk Hani.“Makasih ya, Ca. Kamu sama siapa?” Hani melepaskan pelukannya, melihat penampilan Caca kali ini ia seperti melihat dirinya di masa lalu yang juga sering berpakaian seperti itu.“Aku sama Papi, Cuma dia ketemu klien bentar jadi aku jalan-jalan dulu, deh.”Hani mengangguk, ia tahu siapa yang Caca maksud sebagai Papi yaitu sebutan seorang klien yang umurnya sudah mendekati senja namun tak ingat dosa sehingga masih bermain-main dengan seorang wanita. Sebagian besar temannya memang malas dan malu jika berhubungan dengan seorang kakek-kakek namun jika ingat uangnya mereka langsung mengesampingkan rasa itu dan mau tak mau harus mene
Rahman menggeliat kan bada untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Berbulan mencoba, akhirnya ia bisa menemukan cara untuk sedikit melupakan Hani. Dengan banyak bekerja ia bisa sedikit mengalihkan perhatian agar bayangan wanita itu tak masuk dalam pikirannya. Hampir setiap hari Rahman kerja sejak pagi hingga larut malam selain hari minggu yang khusus ia sediakan untuk anak semata wayangnya."Cantik." Rahman tersenyum melihat foto yang terpajang di meja kerjanya.Sebuah foto anak kecil berbaju pink bunga-bunga dipadukan dengan topi lebar dan sepatu kets berwarna putih seolah tengah tersenyum padanya. Foto itu ia ambil saat mereka berdua sedang berlibur ke luar negeri beberapa minggu yang lalu.Setelah Hani dan Arif melaksanakan syukuran bersama gengnya. Rahman memboyong keluarganya untuk berlibur ke luar negeri untuk sedikit menenangkan pikiran. Memang selama satu minggu di negeri tetangga, ia merasa sedikit tenang, namun setelah kembali r
Sudah seharian Hani mendiamkan suaminya. Sejak Arif pulang kemarin sore, ia terus berusaha menghindar agar tak terlalu sering berinteraksi dengannya. Meski ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri, namun sebisa mungkin ia bersikap dingin berharap lelaki itu tahu jika ia sedang dalam masalah.“Kamu sakit?” tanya Arif yang sudah mulai merasa berbeda dengan sikap istrinya.“Enggak,” jawab Hani singkat.“Perasaan dari kemarin diam aja. Kamu pengen sesuatu? Mau jalan-jalan atau makan di luar?” “Enggak.”“Terus? Uang belanja kurang?”Hani menggeleng.“Terus kenapa? Bilang dong! Aku bukan dukun. Aku salah apa?” Arif menarik tangan Hani yang hendak beranjak, ia paling sebal menghadapi wanita yang sedang dalam mode senyap seperti ini.“Kalo aku bilang, kamu mau jujur?” lirih Hani.“Iya, Sayang.”Hani melepaskan tangannya, ia berjalan menuju laci nakas tempat ia menyimpan nota yang ia temukan
“Kayaknya kita harus sering curi-curi waktu buat berduaan kayak gini,” ucap Arif saat bersiap untuk pulang.“Tapi tak perlu di hotel seperti ini. Aku serasa kembali ke masa lalu jadinya.”Arif terkekeh. Hani benar, dengan berada di sebuah hotel bersama, ia merasa sedang mengenang masa lalu yang begitu kelam. Namun kini, ia berjanji tak akan kembali ke masa itu dan akan mulai fokus menata masa depan dengan wanita yang kini telah berhasil ia perjuangkan.Sejauh ini, Arif tak pernah mengira akan sampai di sebuah titik di mana ia mau berkomitmen secara resmi dengan seorang wanita karena sebelumnya ia lebih memilih bebas dan tak mau terikat. Namun pada kenyataannya takdir telah mengubah semuanya. Dengan hadirnya Hani dalam hidupnya, membuat ia sadar jika seseorang lelaki juga butuh seseorang untuk bersandar. Tak hanya untuk dirinya tapi untuk anak semata wayangnya. Dan pilihan itu jatuh kepada Hani.“Terima kasih, Sayang.”Arif mengecup pipi