공유

BIMBANG

작가: Putri putri
last update 최신 업데이트: 2025-07-08 19:59:37

“Hani, kamu kerja di sini?”

“Kenapa enggak balik aja sih, Han?”

“Jangan sok suci, deh!”

Hani sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari beberapa teman lamanya yang tak sengaja melihat pekerjaan barunya. Semenjak bertemu Mami Can tempo hari, banyak teman-temannya yang penasaran dengan perubahan hidup Hani. Ada yang datang untuk bertemu dan da beberapa yang sengaja datang hanya untuk melihat atau menunjukkan rasa peduli dengan menawarkan bantuan.

“Cantik sih, tapi murahan.”

Kasak-kusuk mulai terdengar dari teman kerja yang kini mulai tahu jika Hani adalah mantan wanita malam. Wanita berpakaian minim yang akhir-akhir ini sering datang cukup menunjukkan jati diri Hani yang sebenarnya. Belum lagi masalah Rahman dan Arif yang beberapa kali berusaha menemuinya dijadikan bahan gosip terhangat yang hampir di bahas setiap jam istirahat atau pulang.

“Apa rumor yang beredar itu benar?” tanya seorang lelaki berusia cukup muda yang kini duduk tepat di hadapan Hani.

“Ya, benar” jawab Hani.

Berhadapan dengan manajer toko secara langsung membuat nyali Hani sedikit menciut. Ia paham jika semua ini akibat rumor yang santer beredar di kalangan karyawan. Ia juga sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi termasuk dipecat.

“Sekarang masih?”

“Enggak, Pak. Saya sedang berusaha memulai hidup baru.” Hani mencoba jujur.

“Tapi jika ada pelanggan yang tahu, itu bisa mengancam nama baik toko. Apa lagi banyak lelaki yang sengaja mencari kamu di sini.”

“Enggak banyak, pak, Cuma dua.”

Seingat Hani hanya Rahman dan Arif yang pernah datang ke sini. Selain itu tak ada. Lagi pula itu di luar jam kerja jadi tidak mengganggu pekerjaannya sedikit pun.

“Tapi bisa saja istri dari lelaki itu tiba-tiba datang dan membuat keributan di sini. Itu bisa merugikan toko,” ucap lelaki yang biasa dipanggil Pak Bam itu tegas.

“Saya paham, saya minta maaf.”

“Kalo berita ini semakin ramai apalagi sampai merambah ke kalangan pelanggan, kamu terancam di pecat.”

“Tak apa, Pak. Saya akan terima.”

Ternyata benar, berubah baik memang sangat sulit. Masa lalu yang hina pasti akan menjadi masalah sepanjang hidupnya. Imej wanita penggoda dan wanita kotor tetap melekat dalam dirinya meski ia mencoba sekuat hati berubah dan menapaki jalan yang benar.

Mungkin mulai besok Hani harus pergi sejauh-jauhnya ke tempat tak ada satu pun orang yang mengenalnya.

“Tapi semua itu bisa dibicarakan kalo kamu mau ... “ Lelaki itu menatap Hani dengan tatapan menggoda sebari mengetuk-ngetukkan ujung kedua jari telunjuknya.

Hani yang sudah paham maksudnya hanya tersenyum sinis. Mungkin lelaki itu mengira ia mau melakukan apa pun demi mempertahankan pekerjaannya.

“Bapak punya uang berapa? Terakhir bekerja saya dibayar dua milyar lebih ditambah bonus rumah dua lantai dan mobil seharga lebih dari lima ratus juta untuk kontrak satu tahun, itu pun belum termasuk tas hadiah-hadiah kecil seperti tas dan sepatu branded juga ponsel keluaran terbaru,” jelas Hani lantang sembari menatap tajam lelaki yang ia yakin bergaji tak genap sepuluh juta setiap bulan.

“Dasar wanita muharan!”

“Bilang aja enggak sanggup bayar. Mulai hari ini saya mengundurkan diri.”

“Silakan saja, tapi gajimu bulan ini enggak akan di bayar,” ancam Pak Bam.

“Tak masalah, tapi siap-siap saja toko ini viral gara-gara enggak mau membayar kewajibannya pada pegawainya atau seorang manajer yang meminta syarat khusus agar karyawannya enggak jadi di pecat, gimana?” ancam Hani.

“Kamu!”

Hani memilih pergi dan tak menghiraukan Pak Bam yang masih merepet mengatainya banyak hal.

Hani mengembuskan nafas pelan sesaat setelah keluar dari toko. Ia melangkah pelan sembari memikirkan pekerjaan apa lagi yang akan dicarinya esok hari. Untung saja, gajinya tak jadi ditahan, paling tidak itu cukup untuk makan beberapa minggu ke depan.

Setelah ini Hani berniat pulang kampung untuk mengurus tanah yang pernah ia tinggali. Meski tak ada harta yang tersisa, paling tidak ia masih punya pengakuan atas tanah tersebut dan bisa jual untuk merintis usaha atau yang lainnya.

Baru beberapa meter melangkah, Hani dikejutkan oleh suara klakson dari mobil yang tiba-tiba memepetnya dan langsung berhenti di depannya.

“Sopan! Jalan masih lebar!” teriak Hani yang geram oleh sikap sang pemilik mobil berwarna hitam itu.

“Enggak usah marah-marah, ayo ikut, aku mau ngomong,” ucap Rahman yang hanya menurunkan kaca.

“Enggak! Kita enggak ada urusan apa-apa lagu.”

“Naik, Hani!”

“Enggak mau! Kamu aja yang turun, kita bicara di situ.” Hani menunjuk sebuah kedai es jus dan seblak yang tepat berada di seberang jalan tempatnya berdiri.

Tanpa menjawab, Rahman langsung menepikan mobilnya dan turun mengikuti Hani. Untung saja kali ini ia berpakaian santai, jadi tak terlihat mencolok untuk duduk di kedai pinggir jalan seperti yang Hani inginkan.

Belum juga mulai bicara, Hani terlebih dahulu memesan segelas jus melon dan semangkuk seblak tulang level dua lima. Mungkin dengan menikmati makanan pedas itu, ia bisa sedikit menenangkan hatinya dan melupakan kejadian menyebalkan hari ini.

“Mau pesan apa?” tawar Hani pada Rahman yang terlihat ragu untuk duduk di kedai yang sebagian besar pengunjungnya adalah remaja dan anak sekolah.

“Kopi ada?”

“Ini bukan warung kopi, kalo pun ada itu hanya kopi saset dan aku yakin enggak bakal pas di lidah kamu.”

“Kalo begitu air putih saja.”

Hani mengangguk. Lama tinggal bersama membuat dirinya sedikit tahu selera Rahman yang biasa meminum kopi yang secangkir harganya paling murah dua puluh lima ribu.

Tak berapa lama pesanan Hani datang, dan seketika itu juga ia langsung menikmati makanan bercita rasa pedas, gurih dengan sedikit aroma cikur.

Berbeda dengan Hani yang antusias menghabiskan semangkuk penuh seblak di depannya, Rahman malah bergidik ngeri melihat potongan tulang ayam yang bercampur kuah berwarna orange yang terlihat sangat pedas. Giginya seketika ngilu saat menyaksikan Hani dengan santainya mengunyah tulang lunak dan menyeruput kuah yang masih mengepulkan asap itu.

“Enak?” tanya Rahman penasaran.

“Mau?” Hani menyodorkan sendok yang dipegangnya.

Rahman dengan cepat menggeleng dan menjauhkan wajahnya. Dari aromanya saja, ia sudah tahu kalo makanan itu pasti bisa membuat perutnya sakit.

“Mau ngomong apa?” tanya Hani setelah menyelesaikan makannya.

“Kamu yakin akan terus bekerja di situ?” Rahman mulai bicara serius.

“Aku sudah dipecat, baru saja.”

“Baguslah kalo begitu, mulai besok kamu bekerja di kantorku.”

Seketika Hani terbatuk, bagaimana mungkin lulusan SMP seperti dia bisa bekerja di kantor? Kalaupun sebagai cleaning service biasanya mereka tetap mematok paling rendah lulusan menegah atas.

“Enggak usah mengada-ngada, deh! Aku enggak mau. Aku mau pulang kampung.”

“Aku antar,” jawab Rahman cepat.

“Tak usah, tolong jangan recoki hidupku lagi. Aku enggak mau Nara salah paham.”

“Kalo begitu terima ini. Paling tidak kamu bisa menghubungiku saat benar-benar memerlukan bantuan.” Rahman mengeluarkan benda pipih dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. Ia tahu Hani tak memiliki ponsel saat ini.

“Simpan saja.” Hani mendorong ponsel itu menjauh darinya.

“Terima atau aku akan terus menguntitmu.”

Hani mengangguk lalu mengambil ponsel itu dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Ia tak mau ambil risiko terus berurusan dengan Rahman yang bisa nekat berbuat apa saja. Lagi pula jika ponsel itu tak dinyalakan, lelaki itu tak akan bisa menghubunginya.

“Di situ sudah ada nomor ponselku dan kartu itu tak akan pernah hangus.”

“Iya, ada lagi?”

“Kembalilah, Han, aku enggak bisa tenang kalo kamu hidup lontang-lantung seperti ini. Bagaimanapun kita pernah ... “

“Jawabannya tetap tidak, Paham! Aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi jangan mengacau!” sahut Hani.

“Tapi ... “

“Tak ada tapi, seribu kali kamu meminta, seribu kali pula aku menolak. Kalo tak ada lagi yang mau dibicarakan, aku mau pulang.” Hani beranjak dari duduknya, mendekati meja kasih lalu pergi.

Sikap Hani yang seperti inilah yang membuat Rahman semakin penasaran dengan wanita itu. Sejak awal kenal, Hani memang tegas dan berpendirian kuat sehingga membuat Rahman merasakan sensasi yang berbeda jika berada di dekatnya. Meski tak mudah, ia yakin bisa meluluhkan hati Hani suatu saat nanti.

Hani melangkah cepat menuju rumah kontrakannya, ia tak mau ambil pusing dengan kedatangan Rahman barusan juga ponsel yang lelaki itu berikah. Ia hanya berpikir suatu saat nanti ponsel itu bisa di jual untuk membantu seseorang yang kesulitan seperti sebelumnya.

Baru saja melewati pintu gerbang, Hani dikejutkan oleh seorang lelaki yang kini tengah berdiri di depan pintu, dari kejauhan ia bisa melihat raut wajahnya yang terlihat gelisah. Sempat terbesit pikiran untuk kabur namun ternyata otaknya tak sejalan dengan hatinya sehingga tanpa sadar Hani malah berjalan mendekat.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Hani ketus.

“Syukurlah kamu udah pulang, aku nyariin kamu ke toko, tapi katanya kamu udah berhenti kerja,” jawab Arif dengan raut wajah yang berubah lega.

“Aku baru saja di pecat. Tumben enggak sama Danish?” Lagi-lagi Hani merasa otaknya sedikit oleng sehingga tak bisa mengontrol mulutnya untuk tak menanyakan anak yang selalu membuatnya pusing.

“Tolong aku, Han, udah tiga hari Danish dirawat di rumah sakit, dia nanyain kamu terus dan aku enggak tahu harus berbuat apa lagi. Segala cara udah aku lakukan untuk memberinya pengertian tapi dia tetap mencari kamu. Tolong aku, kalo perlu aku akan bersujud di kakimu, agar kamu mau menemui Danish. Mungkin aku lelaki brengsek, tapi aku lemah jika berurusan dengan anak, bagiku dia lebih berharga dari apa pun,” jelas Arif dengan wajah memelas.

Hani terdiam memperhatikan wajah yang biasanya tampan kini terlihat begitu berantakan. Di satu sisi ia tak ingin lagi berurusan dengan Arif, namun apakah ia bisa tega dengan seorang anak yang begitu menginginkan kehadirannya.

“Danish,” gumam Hani.

Membayangkan wajah polos dan senyum lucu yang selalu anak itu tunjukkan membuatnya merasa bersalah jika sampai tega tak menemuinya. Selama ini hati Danish mungkin terguncang dengan kepergian mamanya, ia pun tahu betapa sakitnya kehilangan. Akankah ia berdosa saat membiarkan hati Danish patah untuk kedua kalinya dan bisa saja hancur saat tak ia mau menolongnya?

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • DILEMA WANITA PENDOSA   KEMBALI

    Hani terdiam mengamati kerlap kerlip lampu jalan yang kini dilewatinya. Semenjak berangkat beberapa saat yang lalu, jantungnya terus berdebar tak karuan memikirkan tentang pertemuan keluarga yang akan dilakukan nanti. Saat ini Hani dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk memenuhi undangan Amel dan keluarganya. Meski hanya makan malam biasa namun Hani merasa ini pertemuan tak biasa. Arif menggandeng Hani menelusuri lorong yang dihiasi banyak lampu cantik berwarna-warni memasuki restoran bertema outdoor dengan banyak kolam di areanya. “Itu mereka di sana, Pa, ma.” Danish menunjuk ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dengan kaca. Amel dan Danish sengaja memilih ruangan itu agar mereka bisa nyaman mengobrol. Keduanya juga tahu pertemuan ini pasti akan dijadikan ajang reuni oleh orang tua mereka. Hani terkesiap saat pandangan matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat

  • DILEMA WANITA PENDOSA   MENGAPA

    “Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susah

  • DILEMA WANITA PENDOSA   PERMINTAAN TERAKHIR

    “Sayang, aku besok pergi ke luar kota dua hari kamu mau ikut?” tanya Arif sambil menikmati sarapannya.“Em .... mungkin enggak. Besok Danish ujian jadi aku harus standby buat dia.”“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan aku tinggal? Soalnya ini penting banget dan gak bisa diwakilkan.”“Iya, Mas, aku baik-baik aja. Paling kamu yang sebentar-sebentar telepon aku bilang kangen.” Hani mengerlingkan matanya.“Aku memang selalu kangen kamu.” Arif menjentikkan jarinya hingga berbentuk hatiSeperti biasa, obrolan hangat selalu tercipta setiap pagi di meja makan. Hani yang sudah menemukan kembali semangat hidupnya, kini sudah beraktivitas penuh menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.“Sayang, ayo sarapan!” Sambil menata makanan di meja, Hani memanggil Danish agar cepat turun.“Jangan terlalu capek, Nak. Kalo repot, kamu bisa langganan catering untuk sarapan atau kami bisa makan roti setiap hari.” Bu Rohmah yang baru sa

  • DILEMA WANITA PENDOSA   KESEPAKATAN

    Tak ada yang spesial pada hari-hari Hani saat ini. Rumah mewah, makanan lezat serta uang yang ia miliki sudah tak berarti lagi. Wanita itu seakan kehilangan setengah jiwanya semenjak dinyatakan tak bisa hamil untuk selamanya.“Sayang, aku mau nongkrong. Ikut, yuk!” ajak Arif yang langsung bergelendot manja pada Hani yang kini duduk ranjang.“Aku lagi enggak pengen kemana-mana, Mas,” jawab Hani lirih.“Jangan begini terus, yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku sayang kamu dan selamanya akan seperti itu. Aku bisa menerima masa lalumu jadi aku pasti bisa menerima keadaanmu sekarang. Aku dan kamu dulu memang pendosa jadi kita harus terima jika tuhan memberi karma.”Mendengar kata karma membuat air mata Hani perlahan luruh. Ya, dia kini memang tengah mendapatkan karma. Tapi jujur saja ia belum siap menanggung semuanya. Ketakutan jika Arif memilih menikah lagi terus saja terngiang di kepalanya.“Tapi seharusnya kamu tak perlu ikut menanggung karmaku, Mas! Biar aku saja yang menanggungnya.

  • DILEMA WANITA PENDOSA   TABUR TUAI

    “Kamu sudah sadar, Sayang? Jangan seperti ini lagi, aku takut.”Arif terus meracau sembari menggenggam erat tangan Hani dan berkali-kali mengecupnya. Ia sangat bahagia karena istrinya akhirnya membuka mata. Meski keadaannya masih sangat lemah, tapi bagi Arif hal itu sudah cukup membuatnya tenang.“Danish mana?” lirih Hani dengan suara yang hampir tak terdengar.“Seperti biasa, dia selalu menanyakanmu. Cepatlah sembuh, kami merindukanmu.”“Maafkan aku, maaf karena tak bisa menjaga diri.” Suara Hani terdengar parau.“Sttt ... jangan berpikir macam-macam. Aku hampir gila melihatmu begini.”“Bagaimana keadaan anak kita?”“Mereka—“Lidah Arif mendadal kelu, sebelum Hani dinyatakan koma, dokter telah memberitahu jika bayi dalam kandungan Hani tidak bisa diselamatkan. Bukan hanya itu, dokter juga terpaksa mengangkat rahim Hani karena luka akibat benturan keras dan ditakutkan bisa terkena infeksi jika tak segera di angkat.“Jawab, Mas!” Hani membentak meski suaranya masih terdengar lemah.“Me

  • DILEMA WANITA PENDOSA   SITUASI SULIT

    “Maaf, aku hanya mengecek. Tadi perawat bilang kalo Hani menunjukkan pergerakan dan aku di suruh masuk karena mereka pikir aku suaminya,” bohong Rahman.“Hani sadar?” tanya Arif antusias.Rahman menggeleng.“Terus?”“Mungkin dia kecewa karena bukan kamu yang masuk, Maaf.” Rahman menunduk, dadanya sedikit bergetar karena takut alasannya terlihat mengada-ngada.Tanpa pikir panjang, Arif bergegas masuk. Ia sudah tak sabar untuk menemui istrinya berharap Hani bisa segera membuka mata seperti apa yang baru saja dikatakan Rahman.“Kamu sadar, Sayang?” tanya Arif yang sudah berdiri disamping Hani.Raut wajah Arif berubah kecewa saat mendapati wanita yang begitu dicintainya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Istrinya masih dalam posisi yang sama dan matanya tetap terpejam.“Maaf, Sayang. Tadi aku nganterin Danish dulu. Danish berharap kamu segera pulang. Anak itu akan susah tidur kalo kamu tak ada di rumah.”“Jangan siksa aku seperti ini, Say

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status