“Hani, kamu kerja di sini?”
“Kenapa enggak balik aja sih, Han?” “Jangan sok suci, deh!” Hani sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari beberapa teman lamanya yang tak sengaja melihat pekerjaan barunya. Semenjak bertemu Mami Can tempo hari, banyak teman-temannya yang penasaran dengan perubahan hidup Hani. Ada yang datang untuk bertemu dan da beberapa yang sengaja datang hanya untuk melihat atau menunjukkan rasa peduli dengan menawarkan bantuan. “Cantik sih, tapi murahan.” Kasak-kusuk mulai terdengar dari teman kerja yang kini mulai tahu jika Hani adalah mantan wanita malam. Wanita berpakaian minim yang akhir-akhir ini sering datang cukup menunjukkan jati diri Hani yang sebenarnya. Belum lagi masalah Rahman dan Arif yang beberapa kali berusaha menemuinya dijadikan bahan gosip terhangat yang hampir di bahas setiap jam istirahat atau pulang. “Apa rumor yang beredar itu benar?” tanya seorang lelaki berusia cukup muda yang kini duduk tepat di hadapan Hani. “Ya, benar” jawab Hani. Berhadapan dengan manajer toko secara langsung membuat nyali Hani sedikit menciut. Ia paham jika semua ini akibat rumor yang santer beredar di kalangan karyawan. Ia juga sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi termasuk dipecat. “Sekarang masih?” “Enggak, Pak. Saya sedang berusaha memulai hidup baru.” Hani mencoba jujur. “Tapi jika ada pelanggan yang tahu, itu bisa mengancam nama baik toko. Apa lagi banyak lelaki yang sengaja mencari kamu di sini.” “Enggak banyak, pak, Cuma dua.” Seingat Hani hanya Rahman dan Arif yang pernah datang ke sini. Selain itu tak ada. Lagi pula itu di luar jam kerja jadi tidak mengganggu pekerjaannya sedikit pun. “Tapi bisa saja istri dari lelaki itu tiba-tiba datang dan membuat keributan di sini. Itu bisa merugikan toko,” ucap lelaki yang biasa dipanggil Pak Bam itu tegas. “Saya paham, saya minta maaf.” “Kalo berita ini semakin ramai apalagi sampai merambah ke kalangan pelanggan, kamu terancam di pecat.” “Tak apa, Pak. Saya akan terima.” Ternyata benar, berubah baik memang sangat sulit. Masa lalu yang hina pasti akan menjadi masalah sepanjang hidupnya. Imej wanita penggoda dan wanita kotor tetap melekat dalam dirinya meski ia mencoba sekuat hati berubah dan menapaki jalan yang benar. Mungkin mulai besok Hani harus pergi sejauh-jauhnya ke tempat tak ada satu pun orang yang mengenalnya. “Tapi semua itu bisa dibicarakan kalo kamu mau ... “ Lelaki itu menatap Hani dengan tatapan menggoda sebari mengetuk-ngetukkan ujung kedua jari telunjuknya. Hani yang sudah paham maksudnya hanya tersenyum sinis. Mungkin lelaki itu mengira ia mau melakukan apa pun demi mempertahankan pekerjaannya. “Bapak punya uang berapa? Terakhir bekerja saya dibayar dua milyar lebih ditambah bonus rumah dua lantai dan mobil seharga lebih dari lima ratus juta untuk kontrak satu tahun, itu pun belum termasuk tas hadiah-hadiah kecil seperti tas dan sepatu branded juga ponsel keluaran terbaru,” jelas Hani lantang sembari menatap tajam lelaki yang ia yakin bergaji tak genap sepuluh juta setiap bulan. “Dasar wanita muharan!” “Bilang aja enggak sanggup bayar. Mulai hari ini saya mengundurkan diri.” “Silakan saja, tapi gajimu bulan ini enggak akan di bayar,” ancam Pak Bam. “Tak masalah, tapi siap-siap saja toko ini viral gara-gara enggak mau membayar kewajibannya pada pegawainya atau seorang manajer yang meminta syarat khusus agar karyawannya enggak jadi di pecat, gimana?” ancam Hani. “Kamu!” Hani memilih pergi dan tak menghiraukan Pak Bam yang masih merepet mengatainya banyak hal. Hani mengembuskan nafas pelan sesaat setelah keluar dari toko. Ia melangkah pelan sembari memikirkan pekerjaan apa lagi yang akan dicarinya esok hari. Untung saja, gajinya tak jadi ditahan, paling tidak itu cukup untuk makan beberapa minggu ke depan. Setelah ini Hani berniat pulang kampung untuk mengurus tanah yang pernah ia tinggali. Meski tak ada harta yang tersisa, paling tidak ia masih punya pengakuan atas tanah tersebut dan bisa jual untuk merintis usaha atau yang lainnya. Baru beberapa meter melangkah, Hani dikejutkan oleh suara klakson dari mobil yang tiba-tiba memepetnya dan langsung berhenti di depannya. “Sopan! Jalan masih lebar!” teriak Hani yang geram oleh sikap sang pemilik mobil berwarna hitam itu. “Enggak usah marah-marah, ayo ikut, aku mau ngomong,” ucap Rahman yang hanya menurunkan kaca. “Enggak! Kita enggak ada urusan apa-apa lagu.” “Naik, Hani!” “Enggak mau! Kamu aja yang turun, kita bicara di situ.” Hani menunjuk sebuah kedai es jus dan seblak yang tepat berada di seberang jalan tempatnya berdiri. Tanpa menjawab, Rahman langsung menepikan mobilnya dan turun mengikuti Hani. Untung saja kali ini ia berpakaian santai, jadi tak terlihat mencolok untuk duduk di kedai pinggir jalan seperti yang Hani inginkan. Belum juga mulai bicara, Hani terlebih dahulu memesan segelas jus melon dan semangkuk seblak tulang level dua lima. Mungkin dengan menikmati makanan pedas itu, ia bisa sedikit menenangkan hatinya dan melupakan kejadian menyebalkan hari ini. “Mau pesan apa?” tawar Hani pada Rahman yang terlihat ragu untuk duduk di kedai yang sebagian besar pengunjungnya adalah remaja dan anak sekolah. “Kopi ada?” “Ini bukan warung kopi, kalo pun ada itu hanya kopi saset dan aku yakin enggak bakal pas di lidah kamu.” “Kalo begitu air putih saja.” Hani mengangguk. Lama tinggal bersama membuat dirinya sedikit tahu selera Rahman yang biasa meminum kopi yang secangkir harganya paling murah dua puluh lima ribu. Tak berapa lama pesanan Hani datang, dan seketika itu juga ia langsung menikmati makanan bercita rasa pedas, gurih dengan sedikit aroma cikur. Berbeda dengan Hani yang antusias menghabiskan semangkuk penuh seblak di depannya, Rahman malah bergidik ngeri melihat potongan tulang ayam yang bercampur kuah berwarna orange yang terlihat sangat pedas. Giginya seketika ngilu saat menyaksikan Hani dengan santainya mengunyah tulang lunak dan menyeruput kuah yang masih mengepulkan asap itu. “Enak?” tanya Rahman penasaran. “Mau?” Hani menyodorkan sendok yang dipegangnya. Rahman dengan cepat menggeleng dan menjauhkan wajahnya. Dari aromanya saja, ia sudah tahu kalo makanan itu pasti bisa membuat perutnya sakit. “Mau ngomong apa?” tanya Hani setelah menyelesaikan makannya. “Kamu yakin akan terus bekerja di situ?” Rahman mulai bicara serius. “Aku sudah dipecat, baru saja.” “Baguslah kalo begitu, mulai besok kamu bekerja di kantorku.” Seketika Hani terbatuk, bagaimana mungkin lulusan SMP seperti dia bisa bekerja di kantor? Kalaupun sebagai cleaning service biasanya mereka tetap mematok paling rendah lulusan menegah atas. “Enggak usah mengada-ngada, deh! Aku enggak mau. Aku mau pulang kampung.” “Aku antar,” jawab Rahman cepat. “Tak usah, tolong jangan recoki hidupku lagi. Aku enggak mau Nara salah paham.” “Kalo begitu terima ini. Paling tidak kamu bisa menghubungiku saat benar-benar memerlukan bantuan.” Rahman mengeluarkan benda pipih dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. Ia tahu Hani tak memiliki ponsel saat ini. “Simpan saja.” Hani mendorong ponsel itu menjauh darinya. “Terima atau aku akan terus menguntitmu.” Hani mengangguk lalu mengambil ponsel itu dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Ia tak mau ambil risiko terus berurusan dengan Rahman yang bisa nekat berbuat apa saja. Lagi pula jika ponsel itu tak dinyalakan, lelaki itu tak akan bisa menghubunginya. “Di situ sudah ada nomor ponselku dan kartu itu tak akan pernah hangus.” “Iya, ada lagi?” “Kembalilah, Han, aku enggak bisa tenang kalo kamu hidup lontang-lantung seperti ini. Bagaimanapun kita pernah ... “ “Jawabannya tetap tidak, Paham! Aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi jangan mengacau!” sahut Hani. “Tapi ... “ “Tak ada tapi, seribu kali kamu meminta, seribu kali pula aku menolak. Kalo tak ada lagi yang mau dibicarakan, aku mau pulang.” Hani beranjak dari duduknya, mendekati meja kasih lalu pergi. Sikap Hani yang seperti inilah yang membuat Rahman semakin penasaran dengan wanita itu. Sejak awal kenal, Hani memang tegas dan berpendirian kuat sehingga membuat Rahman merasakan sensasi yang berbeda jika berada di dekatnya. Meski tak mudah, ia yakin bisa meluluhkan hati Hani suatu saat nanti. Hani melangkah cepat menuju rumah kontrakannya, ia tak mau ambil pusing dengan kedatangan Rahman barusan juga ponsel yang lelaki itu berikah. Ia hanya berpikir suatu saat nanti ponsel itu bisa di jual untuk membantu seseorang yang kesulitan seperti sebelumnya. Baru saja melewati pintu gerbang, Hani dikejutkan oleh seorang lelaki yang kini tengah berdiri di depan pintu, dari kejauhan ia bisa melihat raut wajahnya yang terlihat gelisah. Sempat terbesit pikiran untuk kabur namun ternyata otaknya tak sejalan dengan hatinya sehingga tanpa sadar Hani malah berjalan mendekat. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Hani ketus. “Syukurlah kamu udah pulang, aku nyariin kamu ke toko, tapi katanya kamu udah berhenti kerja,” jawab Arif dengan raut wajah yang berubah lega. “Aku baru saja di pecat. Tumben enggak sama Danish?” Lagi-lagi Hani merasa otaknya sedikit oleng sehingga tak bisa mengontrol mulutnya untuk tak menanyakan anak yang selalu membuatnya pusing. “Tolong aku, Han, udah tiga hari Danish dirawat di rumah sakit, dia nanyain kamu terus dan aku enggak tahu harus berbuat apa lagi. Segala cara udah aku lakukan untuk memberinya pengertian tapi dia tetap mencari kamu. Tolong aku, kalo perlu aku akan bersujud di kakimu, agar kamu mau menemui Danish. Mungkin aku lelaki brengsek, tapi aku lemah jika berurusan dengan anak, bagiku dia lebih berharga dari apa pun,” jelas Arif dengan wajah memelas. Hani terdiam memperhatikan wajah yang biasanya tampan kini terlihat begitu berantakan. Di satu sisi ia tak ingin lagi berurusan dengan Arif, namun apakah ia bisa tega dengan seorang anak yang begitu menginginkan kehadirannya. “Danish,” gumam Hani. Membayangkan wajah polos dan senyum lucu yang selalu anak itu tunjukkan membuatnya merasa bersalah jika sampai tega tak menemuinya. Selama ini hati Danish mungkin terguncang dengan kepergian mamanya, ia pun tahu betapa sakitnya kehilangan. Akankah ia berdosa saat membiarkan hati Danish patah untuk kedua kalinya dan bisa saja hancur saat tak ia mau menolongnya?“Masih pusing?” Arif meletakkan segelas susu hangat dan semangkuk bubur ayam di atas nakas.“Sedikit.” Hani yang tadinya berbaring kini berusaha duduk.Sejak semalam Hani demam dan tubuhnya terasa lemas. Sebenarnya bukan karena kelelahan namun beberapa hari ini ia terlalu memikirkan mimpinya bertemu istri Arif hingga membuatnya kurang tidur dan tak berselera makan yang membuatnya jatuh sakit.“Mama, cepat sembuh, ya. Danish pengin jalan-jalan sama mama.” Danish naik ke ranjang dan langsung mencium kedua pipi Hani.Tak bisa dipungkiri, Hani merasa bahagia diperlakukan seperti ini oleh anak itu. Beberapa bulan berpura-pura, ia benar-benar bisa menikmati perannya sebagai orang tua. Meski begitu ia selalu berusaha sadar jika semua itu hanya sebuah sandiwara dan ia tak boleh terlena karena semua pasti akan ada akhirnya.Hani kembali memutuskan untuk tidur setelah menghabiskan sarapannya. Ia tak boleh bersikap manja agar tubuhnya cepat pulih seperti sedia kala. Hal itu sangat berbeda denga
“Lakukan semua yang terbaik, dok, kalo perlu kita bawa ke luar negeri,” tegas Rahman pada seorang dokter yang baru saja memeriksa Amel.“Tak perlu, pak, anak bapak hanya demam dan sekarang sudah berangsur turun.”Rahman mengangguk, namun pikirannya tetap tak tenang melihat bayi yang baru mulai belajar merangkak itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya yang mungkin akan menjadi yang pertama dan satu-satunya anak yang memanggil dirinya dengan sebutan ayah.Tak hanya Rahman, Nara pun merasakan hal yang sama. Ia begitu panik saat tahu jika Amel demam dan beberapa kali muntah. Ia bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi saat melihat bayi itu terus menjerit seperti menahan sakit. Meski bukan ibu kandungnya, tapi Nara tetap berusaha menyayangi Amel sepenuh hati. Bagaimanapun juga anak itu telah menyelamatkan pernikahan serta harga dirinya sebagai seorang menantu keluarga Sanjaya. Sebenarnya ia bisa saja mengadopsi bayi lainnya tanpa proses sewa rahim,
“Selamat jalan, Hani, semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Jangan lupa hubungi aku kalo nanti kamu sudah punya ponsel.”Ica melepas kepergian Hani dengan derai air mata. Meski baru kenal sebentar tapi Hani telah memberinya banyak pelajaran hidup dan bantuan yang sangat bermanfaat untuk keluarganya. Mengetahui wanita itu akan segera pindah, Ica sengaja mampir untuk sekedar mengucapkan selamat jalan dan berterima kasih.“Salah buat keluarga kamu, ya. Tetap semangat, oke! Yakinlah semua akan indah pada waktunya.” Hani memeluk Ica sekilas kemudian berjalan menyeret kopernya.Di tepi jalan, Arif sudah berdiri di samping mobilnya menyambut Hani yang berjalan semakin mendekat. Ia benar-benar sangat bahagia karena akhirnya Hani memutuskan untuk mau berpura-pura menjadi mama Danish juga tinggal bersamanya meski hanya sebagai pengasuh.“Siap?” tanya Arif setelah duduk dibalik kemudi sembari memandang wajah Hani yang kini duduk di sebelahnya.
Hani berjalan pelan melewati lorong rumah sakit yang penuh orang berlalu-lalang. Dia jan besuk seperti sekarang ini biasanya area rumah sakit cenderung ramai karena banyak orang yang datang untuk menjenguk sanak saudaranya. Setelah berpikir semalaman, Hani memutuskan untuk memenuhi permintaan Arif menemui Danish demi kesembuhan anak tersebut. Arif memang tak pernah memaksa hanya saja ia akan merasa berdosa jika sampai keadaan Danish terus memburuk bahkan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Setelah menanyakan pada resepsionis perihal kamar yang ditempati Danish, kini Hani melangkah pasti menuju area beberapa ruang perawatan VVIP yang harga per malamnya setara dengan setengah gajinya kerja di toko tempat kerjanya kemarin.Hani berdiri sejenak di depan pintu setelah menemukan ruangan yang ia cari. Keraguan mendadak datang saat tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Ia takut kehadirannya di sini akan membawa masalah baru dalam hidupnya yang kini sudah sangat rumit. Belum juga
“Hani, kamu kerja di sini?”“Kenapa enggak balik aja sih, Han?”“Jangan sok suci, deh!”Hani sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari beberapa teman lamanya yang tak sengaja melihat pekerjaan barunya. Semenjak bertemu Mami Can tempo hari, banyak teman-temannya yang penasaran dengan perubahan hidup Hani. Ada yang datang untuk bertemu dan da beberapa yang sengaja datang hanya untuk melihat atau menunjukkan rasa peduli dengan menawarkan bantuan. “Cantik sih, tapi murahan.”Kasak-kusuk mulai terdengar dari teman kerja yang kini mulai tahu jika Hani adalah mantan wanita malam. Wanita berpakaian minim yang akhir-akhir ini sering datang cukup menunjukkan jati diri Hani yang sebenarnya. Belum lagi masalah Rahman dan Arif yang beberapa kali berusaha menemuinya dijadikan bahan gosip terhangat yang hampir di bahas setiap jam istirahat atau pulang.“Apa rumor yang beredar itu benar?” tanya seorang lelaki berusia cukup muda yang kini duduk tepat di hadapan Hani.“Ya, be
Hari-hari Hani berjalan seperti biasa, berangkat kerja di pagi hari, bekerja sepanjang siang dan pulang menjelang petang sangat berbeda dengan pekerjaannya sebelumnya. Namun ada hal yang paling ia suka sekarang yaitu setiap hari bisa tidur dengan puas sepanjang malam. Ditempat kerja Hani juga merasa senang karena bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang ada seseorang pembeli yang baik dan ramah hingga tak mau menerima uang kembalian atau malah bertemu tante-tante judes yang selalu memarahinya dan hal itu cukup membuat hidupnya sedikit berwarna. Semua itu sangat berbeda dengan pekerjaannya dulu yang setiap hari bertemu orang-orang sok manis namun mempunyai tujuan terselubung.“Yakin enggak mau balik? Om Hari sering nanyain kamu.”Hani mengingat perkataan Mami Can-mantan bosnya dua hari yang lalu saat mereka tak sengaja bertemu di toko. Meski Hani memilih merantau di berbeda kota, namun dunia ini terlalu sempit untuk menghindari orang-orang dari masa lalunya. Nyata