Rahman menggeliat kan bada untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Berbulan mencoba, akhirnya ia bisa menemukan cara untuk sedikit melupakan Hani. Dengan banyak bekerja ia bisa sedikit mengalihkan perhatian agar bayangan wanita itu tak masuk dalam pikirannya. Hampir setiap hari Rahman kerja sejak pagi hingga larut malam selain hari minggu yang khusus ia sediakan untuk anak semata wayangnya.
"Cantik." Rahman tersenyum melihat foto yang terpajang di meja kerjanya.Sebuah foto anak kecil berbaju pink bunga-bunga dipadukan dengan topi lebar dan sepatu kets berwarna putih seolah tengah tersenyum padanya. Foto itu ia ambil saat mereka berdua sedang berlibur ke luar negeri beberapa minggu yang lalu.Setelah Hani dan Arif melaksanakan syukuran bersama gengnya. Rahman memboyong keluarganya untuk berlibur ke luar negeri untuk sedikit menenangkan pikiran. Memang selama satu minggu di negeri tetangga, ia merasa sedikit tenang, namun setelah kembali r“Hani?”“Caca?”Hani berlari kecil menghampiri salah satu teman seperjuangan dulu. Layaknya sebuah keluarga, mereka pernah bersama merasakan suka duka menjadi seorang wanita penghibur hingga Hani memutuskan untuk mengakhiri semuanya.“Kamu apa kabar? Denger-denger kamu udah nikah sama Mas Arif, ya? Selamat, ya,” ucap anita berpakaian minim itu terus memeluk Hani.“Makasih ya, Ca. Kamu sama siapa?” Hani melepaskan pelukannya, melihat penampilan Caca kali ini ia seperti melihat dirinya di masa lalu yang juga sering berpakaian seperti itu.“Aku sama Papi, Cuma dia ketemu klien bentar jadi aku jalan-jalan dulu, deh.”Hani mengangguk, ia tahu siapa yang Caca maksud sebagai Papi yaitu sebutan seorang klien yang umurnya sudah mendekati senja namun tak ingat dosa sehingga masih bermain-main dengan seorang wanita. Sebagian besar temannya memang malas dan malu jika berhubungan dengan seorang kakek-kakek namun jika ingat uangnya mereka langsung mengesampingkan rasa itu dan mau tak mau harus mene
Rahman menggeliat kan bada untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Berbulan mencoba, akhirnya ia bisa menemukan cara untuk sedikit melupakan Hani. Dengan banyak bekerja ia bisa sedikit mengalihkan perhatian agar bayangan wanita itu tak masuk dalam pikirannya. Hampir setiap hari Rahman kerja sejak pagi hingga larut malam selain hari minggu yang khusus ia sediakan untuk anak semata wayangnya."Cantik." Rahman tersenyum melihat foto yang terpajang di meja kerjanya.Sebuah foto anak kecil berbaju pink bunga-bunga dipadukan dengan topi lebar dan sepatu kets berwarna putih seolah tengah tersenyum padanya. Foto itu ia ambil saat mereka berdua sedang berlibur ke luar negeri beberapa minggu yang lalu.Setelah Hani dan Arif melaksanakan syukuran bersama gengnya. Rahman memboyong keluarganya untuk berlibur ke luar negeri untuk sedikit menenangkan pikiran. Memang selama satu minggu di negeri tetangga, ia merasa sedikit tenang, namun setelah kembali r
Sudah seharian Hani mendiamkan suaminya. Sejak Arif pulang kemarin sore, ia terus berusaha menghindar agar tak terlalu sering berinteraksi dengannya. Meski ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri, namun sebisa mungkin ia bersikap dingin berharap lelaki itu tahu jika ia sedang dalam masalah.“Kamu sakit?” tanya Arif yang sudah mulai merasa berbeda dengan sikap istrinya.“Enggak,” jawab Hani singkat.“Perasaan dari kemarin diam aja. Kamu pengen sesuatu? Mau jalan-jalan atau makan di luar?” “Enggak.”“Terus? Uang belanja kurang?”Hani menggeleng.“Terus kenapa? Bilang dong! Aku bukan dukun. Aku salah apa?” Arif menarik tangan Hani yang hendak beranjak, ia paling sebal menghadapi wanita yang sedang dalam mode senyap seperti ini.“Kalo aku bilang, kamu mau jujur?” lirih Hani.“Iya, Sayang.”Hani melepaskan tangannya, ia berjalan menuju laci nakas tempat ia menyimpan nota yang ia temukan
“Kayaknya kita harus sering curi-curi waktu buat berduaan kayak gini,” ucap Arif saat bersiap untuk pulang.“Tapi tak perlu di hotel seperti ini. Aku serasa kembali ke masa lalu jadinya.”Arif terkekeh. Hani benar, dengan berada di sebuah hotel bersama, ia merasa sedang mengenang masa lalu yang begitu kelam. Namun kini, ia berjanji tak akan kembali ke masa itu dan akan mulai fokus menata masa depan dengan wanita yang kini telah berhasil ia perjuangkan.Sejauh ini, Arif tak pernah mengira akan sampai di sebuah titik di mana ia mau berkomitmen secara resmi dengan seorang wanita karena sebelumnya ia lebih memilih bebas dan tak mau terikat. Namun pada kenyataannya takdir telah mengubah semuanya. Dengan hadirnya Hani dalam hidupnya, membuat ia sadar jika seseorang lelaki juga butuh seseorang untuk bersandar. Tak hanya untuk dirinya tapi untuk anak semata wayangnya. Dan pilihan itu jatuh kepada Hani.“Terima kasih, Sayang.”Arif mengecup pipi
“Kamu kenapa?” tanya Nara sembari meletakkan Amel ke pangkuan Rahman.“Enggak apa-apa. Capek aja.” “Enggak nyangka, ya, kalo Arif serius sama Hani. Tapi pas juga mereka, sama-sama pemain jadi enggak akan ada masalah tentang masa lalu,” jelas Nara.Rahman hanya berdehem mengiyakan. Dengan hadirnya Hani di komunitasnya, tentu akan memaksanya selalu menahan rasa cemburu saat melihatnya berdekatan dan bermesraan dengan Arif. Dan hal itu tak menutup kemungkinan jika ia bisa kembali berbuat nekat untuk menjauhkan mereka lagi.Meski sudah berkali-kali Rahman mencoba meyakinkan diri jika Hani bukan miliknya, namun ia tak bisa serta merta membuang perasaan yang tumbuh begitu subur dihatinya. Terlebih jika ia melihat Amel, yang semakin lama makin mirip dengan Hani seolah menunjukkan dari mana anak itu berasal.“Kamu enggak lagi cemburu, kan?” tanya Nara.“Cemburu sama siapa?”“Hanilah, siapa lagi? Aku tahu kamu punya rasa sama
“Danish, kamu tega banget sama Papa,” gerutu Arif sembari memandang wajah bocah kecil yang kini terlelap di sampingnya.Sudah hampir tiga malam Arif menginap di Vila namun ia sama sekali belum pernah berdekatan dengan Hani. Wanita itu telah diklaim sepenuhnya menjadi milik anak sematan wayangnya yaitu Danish. Selain masalah Danish, keluarganya yang masih berkumpul juga menjadi salah satu alasan ia belum bisa mendekati Hani dan hal itu cukup membuatnya begitu tersiksa.Terkadang Arif begitu cemburu dengan Danish yang bisa melakukan apa saja pada Hani. Setiap hari bocah itu bebas memeluk, mencium serta tidur berpelukan bersama Hani. Sedangkan nasibnya masih sama dengan sebelumnya, hanya saja sekarang ia bisa tidur bertiga bersama Hani dan anaknya.“Ini uang yang saya janjikan, Pak. Terima kasih telah memenuhi permintaan kami.”Arif menyerahkan sebuah amplop coklat tebal pada Hartono yang kini telah resmi menjadi ayah mertuanya. Hari ini Hartono dan Wak Tini sudah bersiap untuk pulang k