“Kayaknya kita harus sering curi-curi waktu buat berduaan kayak gini,” ucap Arif saat bersiap untuk pulang.“Tapi tak perlu di hotel seperti ini. Aku serasa kembali ke masa lalu jadinya.”Arif terkekeh. Hani benar, dengan berada di sebuah hotel bersama, ia merasa sedang mengenang masa lalu yang begitu kelam. Namun kini, ia berjanji tak akan kembali ke masa itu dan akan mulai fokus menata masa depan dengan wanita yang kini telah berhasil ia perjuangkan.Sejauh ini, Arif tak pernah mengira akan sampai di sebuah titik di mana ia mau berkomitmen secara resmi dengan seorang wanita karena sebelumnya ia lebih memilih bebas dan tak mau terikat. Namun pada kenyataannya takdir telah mengubah semuanya. Dengan hadirnya Hani dalam hidupnya, membuat ia sadar jika seseorang lelaki juga butuh seseorang untuk bersandar. Tak hanya untuk dirinya tapi untuk anak semata wayangnya. Dan pilihan itu jatuh kepada Hani.“Terima kasih, Sayang.”Arif mengecup pipi
“Kamu kenapa?” tanya Nara sembari meletakkan Amel ke pangkuan Rahman.“Enggak apa-apa. Capek aja.” “Enggak nyangka, ya, kalo Arif serius sama Hani. Tapi pas juga mereka, sama-sama pemain jadi enggak akan ada masalah tentang masa lalu,” jelas Nara.Rahman hanya berdehem mengiyakan. Dengan hadirnya Hani di komunitasnya, tentu akan memaksanya selalu menahan rasa cemburu saat melihatnya berdekatan dan bermesraan dengan Arif. Dan hal itu tak menutup kemungkinan jika ia bisa kembali berbuat nekat untuk menjauhkan mereka lagi.Meski sudah berkali-kali Rahman mencoba meyakinkan diri jika Hani bukan miliknya, namun ia tak bisa serta merta membuang perasaan yang tumbuh begitu subur dihatinya. Terlebih jika ia melihat Amel, yang semakin lama makin mirip dengan Hani seolah menunjukkan dari mana anak itu berasal.“Kamu enggak lagi cemburu, kan?” tanya Nara.“Cemburu sama siapa?”“Hanilah, siapa lagi? Aku tahu kamu punya rasa sama
“Danish, kamu tega banget sama Papa,” gerutu Arif sembari memandang wajah bocah kecil yang kini terlelap di sampingnya.Sudah hampir tiga malam Arif menginap di Vila namun ia sama sekali belum pernah berdekatan dengan Hani. Wanita itu telah diklaim sepenuhnya menjadi milik anak sematan wayangnya yaitu Danish. Selain masalah Danish, keluarganya yang masih berkumpul juga menjadi salah satu alasan ia belum bisa mendekati Hani dan hal itu cukup membuatnya begitu tersiksa.Terkadang Arif begitu cemburu dengan Danish yang bisa melakukan apa saja pada Hani. Setiap hari bocah itu bebas memeluk, mencium serta tidur berpelukan bersama Hani. Sedangkan nasibnya masih sama dengan sebelumnya, hanya saja sekarang ia bisa tidur bertiga bersama Hani dan anaknya.“Ini uang yang saya janjikan, Pak. Terima kasih telah memenuhi permintaan kami.”Arif menyerahkan sebuah amplop coklat tebal pada Hartono yang kini telah resmi menjadi ayah mertuanya. Hari ini Hartono dan Wak Tini sudah bersiap untuk pulang k
“Udah nangisnya?” tanya Arif.Hani mendongak memandang wajah lelaki masih setia mendekapnya. Bukannya menunjukkan rasa penyesalan, lelaki itu malah tersenyum lebar.“Dasar cengeng!” kata Arif lagi.Sekuat tenaga Hani mendorong tubuh Arif hingga ia terlepas. Percuma saja menangis, nyatanya lelaki itu memang tak memedulikan perasaannya. Mungkin saja selama ini ia hanya dijadikan pelampiasan karena Karin tak kunjung pulang. Dan sekarang saat wanita itu kembali, perasaan Arif pun berubah. “Maaf, sudah bikin kamu salah paham. Sebenarnya kami tak punya hubungan spesial. Hanya saja sikapku memang begitu saja dia. Kalo saja aku tahu status hubungan kalian, aku pasti akan menjaga jarak.”Karin yang sedari tadi memperhatikan perseteruan dua sejoli di depannya akhirnya angkat bicara. Ia tak mau terus terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang bisa saja menimbulkan kemarahan.“Ma
Hari sudah menjelang pagi namun Hani tak bisa memejamkan mata sedikitpun. Entah berapa puluh kali ia menyibak tirai berharap melihat ada mobil masuk, namun hingga langit mulai terang, orang yang ditunggu tak kunjung pulang.Hani mematut wajahnya dalam cermin, tangannya terulur mengusap bagian bawah matanya yang bengkak karena menangis semalaman. Sebegitu pentingkah seorang Arif Pratama baginya hingga ia rela berderai-derai saat memikirkan lelaki itu. Dulu, Hani begitu pantang mengeluarkan air mata. Saat ia dimarahi bapak atau saat banyak orang memaki karena belum bisa membayar hutang, ia tetap kuat dan tegar. Bahkan saat kehilangan keperawanan ia hanya menangis sebentar. Tapi mengapa kali ini ia begitu cengeng? Apa seperti ini rasanya dibutakan cinta?“Wajah mama pucat, mama sakit?” tanya Danish yang ikut berdiri di sampingnya.“Enggak, Sayang. Mama cuma sedikit capek, banyak PR soalnya.” “Kalo aja Danish udah gede, pasti Danish bantuin mama nger
Jika ada makhluk yang paling tidak peka, maka makhluk itu bernama lelaki. Bagaimana tidak, sehari semalam didiamkan, Arif tak kunjung sadar akan kesalahannya. Bukan hanya itu, yang membuat Hani geram adalah lelaki itu dengan santainya menceritakan hubungannya dengan wanita itu.“Dia Karin , teman lamaku. Dia baru pulang dari luar negeri.”Hani hanya mengangguk mendengar perkataan Arif. Memang ia sengaja tak bertanya sejak awal karena melihat itikad baik Arif untuk menjelaskan siapa wanita itu. Namun penjelasan seperti itu sebenarnya tak penting, karena yang ia butuh kan bukan siapa wanita itu melainkan apa hubungan mereka."Dulu kita sekolah bareng, dari SD, SMP, SMA kuliah pun ditempat yang sama dan ambil jurusan sama.""Hem ...""Mama juga akrab sama mamanya Karin. Dulu kita sering liburan bareng."Hani hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada Danish yang sedang belajar. Untung saja saat ini Danish menjalani homeschooling jadi Hani bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk me