“Lakukan semua yang terbaik, dok, kalo perlu kita bawa ke luar negeri,” tegas Rahman pada seorang dokter yang baru saja memeriksa Amel.“Tak perlu, pak, anak bapak hanya demam dan sekarang sudah berangsur turun.”Rahman mengangguk, namun pikirannya tetap tak tenang melihat bayi yang baru mulai belajar merangkak itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya yang mungkin akan menjadi yang pertama dan satu-satunya anak yang memanggil dirinya dengan sebutan ayah.Tak hanya Rahman, Nara pun merasakan hal yang sama. Ia begitu panik saat tahu jika Amel demam dan beberapa kali muntah. Ia bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi saat melihat bayi itu terus menjerit seperti menahan sakit. Meski bukan ibu kandungnya, tapi Nara tetap berusaha menyayangi Amel sepenuh hati. Bagaimanapun juga anak itu telah menyelamatkan pernikahan serta harga dirinya sebagai seorang menantu keluarga Sanjaya. Sebenarnya ia bisa saja mengadopsi bayi lainnya tanpa proses sewa rahim,
“Selamat jalan, Hani, semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Jangan lupa hubungi aku kalo nanti kamu sudah punya ponsel.”Ica melepas kepergian Hani dengan derai air mata. Meski baru kenal sebentar tapi Hani telah memberinya banyak pelajaran hidup dan bantuan yang sangat bermanfaat untuk keluarganya. Mengetahui wanita itu akan segera pindah, Ica sengaja mampir untuk sekedar mengucapkan selamat jalan dan berterima kasih.“Salah buat keluarga kamu, ya. Tetap semangat, oke! Yakinlah semua akan indah pada waktunya.” Hani memeluk Ica sekilas kemudian berjalan menyeret kopernya.Di tepi jalan, Arif sudah berdiri di samping mobilnya menyambut Hani yang berjalan semakin mendekat. Ia benar-benar sangat bahagia karena akhirnya Hani memutuskan untuk mau berpura-pura menjadi mama Danish juga tinggal bersamanya meski hanya sebagai pengasuh.“Siap?” tanya Arif setelah duduk dibalik kemudi sembari memandang wajah Hani yang kini duduk di sebelahnya.
Hani berjalan pelan melewati lorong rumah sakit yang penuh orang berlalu-lalang. Dia jan besuk seperti sekarang ini biasanya area rumah sakit cenderung ramai karena banyak orang yang datang untuk menjenguk sanak saudaranya. Setelah berpikir semalaman, Hani memutuskan untuk memenuhi permintaan Arif menemui Danish demi kesembuhan anak tersebut. Arif memang tak pernah memaksa hanya saja ia akan merasa berdosa jika sampai keadaan Danish terus memburuk bahkan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Setelah menanyakan pada resepsionis perihal kamar yang ditempati Danish, kini Hani melangkah pasti menuju area beberapa ruang perawatan VVIP yang harga per malamnya setara dengan setengah gajinya kerja di toko tempat kerjanya kemarin.Hani berdiri sejenak di depan pintu setelah menemukan ruangan yang ia cari. Keraguan mendadak datang saat tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Ia takut kehadirannya di sini akan membawa masalah baru dalam hidupnya yang kini sudah sangat rumit. Belum juga
“Hani, kamu kerja di sini?”“Kenapa enggak balik aja sih, Han?”“Jangan sok suci, deh!”Hani sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari beberapa teman lamanya yang tak sengaja melihat pekerjaan barunya. Semenjak bertemu Mami Can tempo hari, banyak teman-temannya yang penasaran dengan perubahan hidup Hani. Ada yang datang untuk bertemu dan da beberapa yang sengaja datang hanya untuk melihat atau menunjukkan rasa peduli dengan menawarkan bantuan. “Cantik sih, tapi murahan.”Kasak-kusuk mulai terdengar dari teman kerja yang kini mulai tahu jika Hani adalah mantan wanita malam. Wanita berpakaian minim yang akhir-akhir ini sering datang cukup menunjukkan jati diri Hani yang sebenarnya. Belum lagi masalah Rahman dan Arif yang beberapa kali berusaha menemuinya dijadikan bahan gosip terhangat yang hampir di bahas setiap jam istirahat atau pulang.“Apa rumor yang beredar itu benar?” tanya seorang lelaki berusia cukup muda yang kini duduk tepat di hadapan Hani.“Ya, be
Hari-hari Hani berjalan seperti biasa, berangkat kerja di pagi hari, bekerja sepanjang siang dan pulang menjelang petang sangat berbeda dengan pekerjaannya sebelumnya. Namun ada hal yang paling ia suka sekarang yaitu setiap hari bisa tidur dengan puas sepanjang malam. Ditempat kerja Hani juga merasa senang karena bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang ada seseorang pembeli yang baik dan ramah hingga tak mau menerima uang kembalian atau malah bertemu tante-tante judes yang selalu memarahinya dan hal itu cukup membuat hidupnya sedikit berwarna. Semua itu sangat berbeda dengan pekerjaannya dulu yang setiap hari bertemu orang-orang sok manis namun mempunyai tujuan terselubung.“Yakin enggak mau balik? Om Hari sering nanyain kamu.”Hani mengingat perkataan Mami Can-mantan bosnya dua hari yang lalu saat mereka tak sengaja bertemu di toko. Meski Hani memilih merantau di berbeda kota, namun dunia ini terlalu sempit untuk menghindari orang-orang dari masa lalunya. Nyata
“Jadi kamu mantan wanita penghibur?” tanya Ica antusias.“Ya bisa dibilang seperti itu,” jawab Hani santai.“Udah dapet apa aja kerja begituan?”“Uang, mobil, rumah, jalan ke luar negeri dan banyak lagi.”Mata Ica membelalak saat mendengar semua hal yang disebutkan oleh teman barunya. Ia bahkan tak percaya gadis berwajah manis nan lugu seperti Hani pernah melakoni pekerjaan hina seperti itu.“Kenapa berhenti? Biasanya wanita seperti itu akan berhenti saat berhasil menemukan lelaki yang bisa menerimanya dan membuatnya bahagia.”Hani tersenyum kecut, omongan Ica memang tak sepenuhnya salah. Rata-rata temannya pensiun setelah berhasil menikah dengan lelaki kaya yang atau lelaki yang benar-benar menerimanya. Bahkan tak jarang mereka mau dijadikan istri kedua, ketiga bahkan keempat asalkan orang itu kaya dan mampu memenuhi kebutuhannya. Namun itu hanya sebagian besar, karena banyak juga yang memilih tak menikah sampai akhir hayat mereka dan Hani merasa ia akan menjadi golongan itu.“Apa